Cahaya matahari pagi menembus jendela kaca besar ruang kerja Ryan di lantai 32. Jakarta baru saja bangun, tapi ia sudah duduk tegak di belakang meja, membuka satu demi satu dokumen yang menumpuk sejak kemarin.
Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ryan merasa pikirannya tidak sepenuhnya ada di sini.
Di tangannya, laporan keuangan kuartal kedua terbuka. Tapi yang melintas di benaknya justru… senyum Karin saat memegang bunga matahari. Cara ia menoleh saat mendengar bel pintu toko berbunyi. Caranya menyentuh kelopak bunga seolah itu sesuatu yang hidup.
"pak Ryan?" Suara sekretarisnya terdengar di interkom. “Pak Adrian dari divisi ekspansi minta waktu untuk diskusi jam sebelas. Saya atur sekarang?”
Ryan butuh dua detik untuk kembali fokus. “Iya. Jam sebelas. Kirim undangan kalender.”
Ia menekan tombol mati, lalu menyandarkan tubuhnya. Tangannya menyentuh kancing kemeja, mencoba meredam rasa sesak yang bahkan ia sendiri tak mengerti asalnya.
Sudah berhari-hari sejak ia pertama kali mengajak Karin jalan-jalan ke bukit kecil itu. Namun, rasa damai dari sore itu masih membekas. Seolah meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus.
Ia tidak jatuh cinta—belum. Tapi ia tahu, perasaan itu bergerak. Pelan. Dalam. Seperti sesuatu yang tidak bisa ia kontrol.
Dan itu membuatnya… takut.
Ryan bukan pria yang suka kejutan. Selama ini hidupnya penuh rencana. Ia tahu ke mana harus melangkah, kapan harus menyerang, dan kapan harus bertahan. Ia dibesarkan dengan ambisi, bukan kelembutan. Diajari menilai orang lewat kinerja, bukan ketulusan.
Tapi Karin tidak masuk dalam perhitungan itu.
Ia bukan bagian dari strategi ekspansi. Bukan mitra bisnis. Ia bahkan tidak paham istilah ROI atau portofolio saham. Tapi Karin memiliki sesuatu yang tak bisa diukur: kehadiran yang membuat hati Ryan tenang—dan itu lebih membingungkan dari semua angka dalam laporan.
Ryan bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke jendela, menatap jalanan padat di bawah sana. Jakarta sibuk seperti biasa. Orang-orang mengejar waktu. Tapi dirinya… terjebak dalam keheningan yang aneh.
‘Apa yang kamu cari, Ryan?’ tanya dirinya sendiri.
Ia sudah punya segalanya. Perusahaan, reputasi, uang. Tapi sejak kematian ayahnya, ia merasa seperti berjalan sendirian di lorong panjang yang dingin. Tak ada suara, tak ada pelukan. Hanya formalitas, target, dan rutinitas.
Karin muncul seperti pintu kecil di ujung lorong itu. Membawa cahaya. Membawa aroma melati dan tawa pelan. Membawa pertanyaan-pertanyaan baru yang tidak bisa dijawab dengan logika.
“Mari kita saling mengenal. Tapi pelan-pelan saja. Seperti bunga. Biar mekar dengan caranya sendiri.”
Kalimat itu menghantam bagian dalam dirinya yang paling tersembunyi. Karena selama ini, Ryan selalu ingin sesuatu yang instan. Hasil cepat. Keputusan tegas. Tapi Karin mengajarkannya sesuatu yang berbeda: bahwa rasa butuh waktu. Dan waktu bukan musuh.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
“Masuk,” ucapnya pelan.
Seorang pria muda, Adrian dari divisi ekspansi, masuk dengan tablet di tangan. Ia tampak semangat. “Pak Ryan, kami ingin membahas pembukaan cabang baru di Bali dan Jepang. Ada investor baru yang tertarik kerja sama.”
Ryan mengangguk, lalu berjalan kembali ke meja. Tapi sebelum duduk, ia menatap Adrian dan berkata, “Tunda dulu pembahasan Jepang. Fokus ke Bali dulu. Aku ingin pastikan stabilitas sebelum ekspansi besar-besaran.”
Adrian terlihat terkejut. “Biasanya Bapak yang paling agresif soal ekspansi.”
Ryan tersenyum samar. “Dulu, mungkin. Sekarang aku belajar… tidak semua hal harus dikejar cepat-cepat. Kadang, pelan-pelan juga bisa sampai.”
Adrian mengangguk, meski masih bingung.
Setelah pria itu keluar, Ryan kembali duduk.
Ia membuka ponselnya. Di layar, ada pesan singkat dari Karin:
“Toko agak sepi hari ini. Tapi aku suka. Aku bisa ngobrol lebih lama sama bunga-bunga.”
Ryan membaca ulang pesan itu dua kali. Lalu mengetik balasan:
“Kalau hari ini kamu nggak sibuk, aku ingin datang. Nggak lama. Cuma ingin lihat toko yang katanya bisa buat orang lupa dunia.”
Ia menatap layar, lalu mengirimnya.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia menjabat sebagai CEO, Ryan menyisihkan satu jam di tengah jam kantor—bukan untuk rapat, bukan untuk wawancara media—tapi untuk duduk di antara bunga, di toko kecil yang mengubah cara ia melihat hidup.