Lock

2109 Words
Pertarunganku dengan Egor bukanlah jenis pertarungan yang adil. Bisa dikatakan ini pertarungan yang tidak imbang dan berat sebelah. Pertarungan dengan pedang dan tangan kosong. Ya, sejak aku mengenal manusia ini dia tak pernah sekalipun lengah terhadap lawannya. Meskipun aku notabene adalah seorang wanita. Tapi meski dengan kenyataan itu, aku juga tidak ingin dia mengalah padaku. aku tidak suka dikasihani. Untuk beberapa kesempatan yang bisa kulakukan hanyalah menghindar dan terus begitu. Karena tidak ada satu celah pun bagiku untuk mengelak. Senjata satu satunya yang kupunya hanyalah pistol yang tak cocok dengan pertarung jarak dekat begini. Mundur, menyamping, menunduk. Segala upaya atas keselamatan diriku adalah sebuah prioritas mutlak. Sebab jika aku berakhir disini maka Dhaffin juga tamat. Karena itulah aku tidak bisa sedikitpun melonggarkan pertahananku. Setidaknya aku beruntung karena musuh kami yang tersisa hanyalah mahluk bertubuh besar ini. Dalam kondisi ini aku bisa memastikan keamanan Dhaffin. Tapi tidak menutup kemungkinan pula jika musuh akan terus berdatangan dan menekan kami berdua. Ketika aku sibuk bertahan dari segala serangannya. Aku melihat ada celah kecil bagiku untuk paling tidak memberikan satu serangan. Namun ketika aku melakukannya aku kalah dalam hal timming waktu hingga perutku terkena hantaman. Oh tidak lebih tepatnya tendangan yang pria itu layangkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Tersungkur ke tanah, aku bisa merasakan adanya nyeri yang menjalar pada titik hantaman tadi. Aku kehilangan seluruh pertahananku sekarang. Segalanya berbalik arah. Tidak ada titik keseimbangan. Jelas ini bisa berubah menjadi kekalahan telak bagiku. Aku berusaha untuk bangkit, namun nyerinya makin terasa ketika aku menggerakan tubuhku. Ini gila. Bagaimana bisa Egor berkembang pesat sejauh ini? aku merasakan adanya jurang perbedaan besar yang ada diantara kami. “Kenapa Luxor? Kau kelelahan? Tidak seperti kau yang biasanya.” ejek Egor yang memainkan pedangnya dengan sebelah tangan. Tidak ada penyerangan yang kuperkirakan. Pria itu malah memilih untuk memutariku, memilih untuk mengejekku terlebih dahulu ketimbang menghabisiku dalam sekali tebas atau hal lain yang mungkin bisa menghemat waktu. “Kau tidak sehebat yang aku kira. Prajurit wanita terhebat apanya? Cih..” Komentarnya lagi diikuti oleh ludah menjijikan yang dia buang kearah tubuhku. Pria ini benar-benar sedang mengejekku. Apa dia sedang mencoba memberiku pilihan? Atau dia ingin menguji batas kesabaranku dan menerima amukanku? Kulirik Dhaffin dibelakang sana. Ekspresi yang tersirat dalam parasnya menyatakan bila pemuda itu sedang berusaha mati-matian untuk tidak menunjukan ketakutan meski hal tersebut tidak berguna. Dia mungkin sedang menghawatirkan hidupnya sendiri karena aku yang notabene ditugaskan sebagai seorang pengawal baginya malah berbaring tak berdaya mencium tanah yang berbau busuk. Apa dia menyesal karena telah menggantungkan harapan hidupnya pada perempuan sepertiku? Amplop coklat yang kutitipkan padanya telah kusut tak berbentuk. Dia sepertinya melampiaskan seluruh emosi dan perasaan yang dia rasakan kepada benda mati itu. Bercak garis mengkerut terlihat dipaksakan. Seakan dirinya tidak peduli lagi soal isinya yang sesungguhnya merupakan modal hidup bagi dirinya sendiri. Dia membutuhkan pegangan dan aku jelas bukan salah satu opsi yang bisa dia pilih. Ampolp coklat jelas juga bukan pilihan bagus sebagai tempat bergantung. Ah.. aku muak. Kupaksakan tubuhku untuk berdiri dan mengesampingkan rasa nyeri yang kurasakan. Melawan pria besar itu dengan segala hal yang aku bisa. Memukulnya dengan beberapa tinju keras dan cepat dari segala penjuru. Dan rupanya kecepatanku tak dapat dia imbangi dengan bagus. Saat itulah kusudutkan dia hingga menimbulkan bunyi bedebam keras yang merusak suasana hening beberapa saat lalu. Terus menyudutkan Egor hingga pria itu tidak memiliki pertahanan dan terus begitu hingga langkahnya terdorong kebelakang. Meski itu tidaklah sebuah usaha yang mudah. Karena pria itu terus berupaya menepis segala serangan yang kugencarkan padanya. Hingga kemudian kutemukan sebuah timming yang pas. Kusudutkan dia kesamping dan menggunakan dinding sebagai tempatku berpijak. Gaya tersebut nyaris membuatku terlihat seperti terbang. Meski sesungguhnya aku hanya memanfaatkan apa yang ada disekitarku. Hanya membuat diriku terlontar kearah Egor yang kala itu masih kelelahan karena staminanya telah terkuras habis juga pertahanan dirinya yang sama sekali tidak berarti. Kepalan tinjuku langsung kuarahkan kepada pelipis Egor. Membuatnya terhuyung mundur yang jelas pula memperlihatkan bila dirinya telah hilang keseimbangan. Saat itu pula kesempatan kedua datang. Kugunakan kakiku yang bebas untuk menendang tangannya yang menggenggam pedang sialan menyusahkan itu hingga terlepas bebas dari tangannya. Pedang itu jatuh dan terpelanting cukup jauh dari tempat pertarungan kami. “Mulutmu terlalu berisik dan banyak bicara Egor!” ucapku sengit, dan tentu saja dengan kedua tangan yang sibuk menghantam Egor dengan semua tinju yang kupunya. Egor yang masih bertahan dari segala serangan yang kuberikan, mulai kehilangan staminanya dan kelelahan. Satu dua kali wajahnya terkena pukulan dariku. “arrrgghhh..!!” tanpa sadar aku mengerang. Sesuatu yang tajam menggores kulitku. Tepat pada kakiku yang menjadi tumpuan dari seluruh seranganku. Kehilangan keseimbangan tentu saja. Secara spontan kembali diriku terantuk tanah. Darah. Cairan merah itu merembes deras keluar dari sobekan luka yang pria itu buat. “Ah.. meleset ya, semestinya belati ini bukan Cuma menggores. Tapi menancap disana.” Pisau lipat ditangannya memperlihatkan kilauan yang aneh, pantulan cahaya pada mata pisau serta warna merah pekat yang menyelimutinya. Ini tidak bagus untukku. Kugunakan lengan pakaianku untuk menahan pendarahannya sementara. Merobeknya asal dan membungkusnya secepat yang kubisa sambil terus menghindar dari Egor yang terus pula menodongkan pisau lipatnya untuk dapat melukaiku untuk yang kedua kalinya. Tapi karena rasa sakit yang kurasakan dan lemas karena kehilangan cukup banyak darah pada akhirnya aku tak bisa menghindar dari satu tendangan yang Egor layangkan padaku. Kembali aku tergeletak ditanah. “Jadi, dimana ya tempat yang bagus untuk menanamkan benda ini? oh.. kurasa aku perlu sekali menikmatimu dulu sebelum membunuhmu. Kau terlalu sombong sebagai perempuan. Paling tidak sebelum kau mati kau perlu sekali merasakan kenikmatan duniawi bersamaku.” Egor kembali memainkan pisau ditangannya, membuatku geram atas tingkahnya yang benar-benar merendahkanku melalu verbalisasinya yang teramat memuakan. Jika saja. Jika saja aku tidak diberi rasa sakit, kurasa aku akan mencabik cabik pria ini hingga puas. Merobek mulutnya paling tidak supaya dia tidak perlu menggunakan mulutnya lagi untuk berkata hal-hal yang tak perlu. “Jadi sayang, mari kita menari dibawah sinar rembulan disaksikan oleh pangeranmu.” Egor menjilat bibir bawahnya kemudian tangan laknat itu lantas mulai bergerak. Menghunuskan belatinya mengarah pada bagian atas tubuhku yang masih terbaring tak berdaya. Apa memang aku akan berakhir sebagai wanita yang kotor sebelum bisa menutup mata dan mati. Demi Tuhan aku lebih memilih untuk mati saja ketimbang dinodai lebih dulu. *** Dhaffin berfokus pada mata pisau yang diarahkannya pada Edna. Pria itu selain juga bengis rupanya memiliki tingkat kecabulan yang tinggi. Dipaksakannya langkah menuju tempat Edna berbaring disana. Jelas wanita itu sudah tiba pada batasnya dan jika Dhaffin tidak melakukan sesuatu bisa dipastikan bila Edna akan berakhir tragis. Dia tidak mengharapkan hal itu terjadi sedikitpun. Tidak selama dirinya masih mampu menghirup napas. Semenjak Egor membual dan memfokuskan dirinya pada Edna Dhaffin mengambil kesempatan itu untuk bergerak tanpa sepengetahuan pria itu. Melangkah maju tanpa berpikir apa yang akan dilakukan. Tepat saat pria itu menghunuskan belatinya untuk melukai Edna tangan pemuda itu terulur tepat waktu. Dhaffin berhasil menghentikan Egor dengan mencengkram tangannya dengan erat. Dan hal bodoh yang ada diotaknya saat itu adalah menggunakan giginya sebagai senjata. Ya, Dhaffin menggigit pria itu kuat-kuat sampai dirinya bisa merasakan adanya rasa asin yang merambah dalam indra pengecapnya. Dhaffin rasa dia menggigit pria itu hingga berdarah. Lolongan terdengar kembali, nyaring, marah, terhina. Dhaffin rasa ada semua dalam satu teriakan malam itu. Ketika dirinya berpikir telah menang, Dhaffin justru merasakan adanya sesuatu yang menyesakan yang menghantam tepat diperutnya. Tubuhnya sampai terpelanting kebelakang secara membabi buta. Sakit yang teramat sangat di perut juga tangan? Tunggu tangan? Kedua tanganya terasa seperti terbakar hebat, perih yang hebat. “Egor!” kali ini Dhaffin mendengar lolongan lain. Suara Edna satu satu nya perempuan dalam pertarungan ini. Dhaffin tak dapat lagi melihat sosoknya. Hanya mampu sekadar mendengar suaranya saja. Kemudian tembakan peluru terdengar menggema. Juga suara teriakan pula. Dhaffin tidak bisa memastikan itu siapa. Matanya terlalu berat untuk terbuka. Namun dia tahu jika itu jenis teriakan yang memilukan dan menyayat hati. Seperti seorang manusia yang sekarat. Tenggorokannya tercekat hebat, tegang juga mual mulai dia rasakan. Sementara tangannya sendiri terbujur kaku dan basah. Dengan cairan yang membasahinya. “Dhaffin!” seseorang memanggilnya seraya berusaha mengangkat dirinya untuk tidak staganan dalam posisi berbaring. Meski samar tapi Dhaffin masih bisa menangkap bayang bayang berupa Edna yang terlihat begitu khawatir padanya. mencemaskan dirinya. Seandainya dia bisa melihat lebih jelas lagi. Tidak terhalang oleh kabut macam ini. Nafas wanita itu memburu dan cepat, hangatnya menerpa wajah si pemuda. Menyapu kulit wajahnya yang sudah mulai terasa membeku dingin bagai es kutub utara. Wanita itu meraih tangan Dhaffin dan membelalakan matanya lebar-lebar. “Kau benar benar t***l Dhaffin! Tindakan konyol macam apa yang sudah kau lakukan?” bukan sebuah kata-kata manis yang teruar melainkan teriakan frustasi darinyalah yang Dhaffin dapatkan atas hasil kerja kerasnya untuk menyelamatkan Edna. Dhaffin melirik sebelah tangannya yang kini berada dalam tangkupan tangan wanita itu. Memberikan sedikit pemandangan mengerikan padanya. merah darah. Dan juga perih. Terbakar begitu panas. Apa ini pula yang dirasakan Edna saat kakinya tergores oleh belati dari si pria b******k? Dhaffin mulai merasakan bila nafasnya mulai naik turun terlampau cepat daripada biasanya. Kepanikan dan juga takut tercetak jelas pada ekspresi wajahnya. Air mata pun tiba-tiba berpartisipasi dan menggenang di ujung mata. Ketika dirinya menangkap begitu banyak darah detik ini. Tepatnya berada di paha Edna yang menjadi pusat luka pertamanya. Paha wanita itu terkena sayatan pisau dan darahnya begitu banyak keluar meski wanita itu sempat menekannya dengan ikatan kain. Seolah itu upaya sia –sia. Itu luka yang terdalam yang pernah Dhaffin lihat seumur hidupnya dan jujur saja dia ngeri memikirkan betapa sakitnya luka itu jika itu berada padanya. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sedikit goresan ditangannya. “Ka.. kakimu.. Edna..” ujaran yang tedengar terbata-bata itu tak sama sekali dihiraukan oleh Edna. Dia lebih memilih untuk memapah tubuhku untuk berdiri. Meski sebetulnya yang lebih membutuhkan bantuan adalah dirinya. “Kita harus segera pergi dari sini.” Langkahnya sedikit tersendat, Dhaffin tahu jika hal itu karena luka di kaki kanannya. Membuat secara tidak sengaja tangannya merambah untuk memeluk pinggangnya. Menjaga wanita itu untuk tetap seimbang. Dalam pelariannya Dhaffin sempat melirik tubuh seseorang yang telah terbujur kaku dengan mata yang terbuka lebar dan mulut yang menganga. Figur kematian yang mengerikan, ketika mayat nya terus saja mengeluarkan darah tanpa henti. Membiarkan tubuh kaku tersebut berkubang dalam genangan merah. Mual. Dhaffin merasa perutnya terkocok dari dalam. Jelas ini bukanlah jenis pemandangan yang enak dilihat. Sesuatu menghalangi pandangannya tiba-tiba tanpa diminta. Tangan hangat Edna. “Jangan melihat.” “Kau.. kau membunuhnya?” Dhaffin berkata dengan nada yang ngeri. Sambil terus berusaha berjalan disamping Edna yang tertatih-tatih. “Sepertinya begitu..” balasnya terdengar datar tanpa adanya sedikitpun emosi. “Seharusnya kulakukan sejak awal untuk memangkas waktu. Kita malah membuang banyak waktu disini untuk menghadapi sampah itu.” Dhaffin tak lagi memiliki niatan untuk membalas ujaran Edna yang terlampau mengerikan untuk dikatakan seorang perempuan seperti dirinya. Memilih untuk terus berjalan dalam diam menuju mobil yang telah terparkir diluar sana. Tinggal sedikit lagi. Namun yang membuat Dhaffin takut adalah dirinya merasakan ada napas yang tidak stabil dari diri Edna. Dia terlalu banyak kehilangan darah mungkin saja tubuh mungil ini ambruk seketika. Dan demi Tuhan Dhaffin tidak ingin hal buruk itu terjadi. Dia tidak ingin melihat Edna terluka, namun bodohnya dia malah membiarkan wanita itu bertarung sendirian tanpa ada upaya untuk menolongnya. Dia merasa menjadi beban bagi Edna. Wanita itu terlalu baik untuk mempertaruhkan hidupnya demi dirinya yang tidak begitu penting. Kenyataan yang menamparnya sekali lagi adalah bahwa jika luka yang Edna terima adalah luka yang diakibatkan oleh dirinya. Hatinya sakit. Mereka telah sampai didepan sebuah mobil hitam yang telah siap terparkir entah disiapkan oleh siapa. Dhaffin menuntun Edna untuk duduk dikursi penumpang. Membukakan pintu untuknya pula. Sementara dirinya menuju kursi kemudi. Sesaat setelah mereka berdua duduk didalam. Dia merasakan bila tubuhnya terasa bergetar hebat. Angin dingin tidak terasa sedikitpun dari sini, tapi anehnya giginya bergemeletak hebat oleh sesuatu yang tak kasat mata. “Kemarikan tanganmu.” Perintah Edna lagi. Dhaffin sempat melirik pada Edna yang sudah duduk dengan malas di kursinya sendiri, meski wajahnya sudah begitu terlihat pucat. Wanita itu benar-benar tak pernah sekalipun melonggarkan dirinya untuk barangkali terlihat lemah sedikit. Dirinya selalu saja begitu, so tegar dan hebat padahal kondisinya mengenaskan begini. Dhaffin menuruti apa yang wanita itu perintahkan. Dia menyodorkan tangannya sendiri dan mendapati Edna membalut luka ditangannya dengan lengan kemeja yang dia sobek dari bajunya sendiri. “Untuk bisa sedikit menahan pendarahanmu.” “Oy.. tapi lukamu sendiri saja...” Kata-kata terpotong begitu saja saat Edna mengikat dengan kuat sobekan bajunya di tangan Dhaffin. Membuat pria itu mengernyit sakit. Kini dia merasa tangannya terikat borgol. Sedikit kaku untuk digerakan. “Lukamu parah. Aku tidak apa-apa.” “Apanya yang tidak apa-apa? pahamu hampir tertusuk belati. Tergores sedalam itu. Lukamu jelas sangat dalam! A—apa kau tidak tahu jika saraf kakimu terluka kau akan—“ “Diamlah cerewet!” kali ini Dhaffin tidak lagi bisa berkata apa-apa saat wanita itu dengan seenaknya mencondongakn wajahnya terlampau dekat padanya. Deru napasnya terasa hangat. Dan bibirnya.. Dhaffin merasa tak ingin membuang kesempatan sedikitpun untuk dapat meraupnya. Tunggu.. darimana pikiran liarnya itu berasal? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD