Lock (2)

2089 Words
“Edna berhentilah menjadi pelindungku, semakin kesini aku semakin bisa melihat jika situasimu sama sekali tidak menguntungkan dirimu. Malah akulah yang menjadi penyebab dari seluruh luka ditubuhmu. Apa pentingnya semua ini bagimu sampai kau perlu mati-matian menjadi tameng untuk diriku? Apa gunanya?” katakan bila itu adalah jenis raungan emosi dari Dhaffin yang telah lama menanti kepastian namun tak kunjung mendapat jawaban memuaskan. Meski telah menyerukan apa yang selama ini berada dalam benaknya, aneh baginya sebab itu sama sekali tidak bisa menutupi banyak hal. Tidak ada rasa lega apalagi kepuasan batin setelah dia mengeluarkan unek-uneknya pada perempuan yang malah menatapnya dengan sorot mata datar tanpa segurat emosi pun. Namun pergerakannya memperbaiki luka goresan pada tangan Dhaffin terhenti. Dia menjadi terdiam kaku bagai robot. Meski begitu tatapannya masih belum sepenuhnya terlepas dari pandangan pemuda itu. Karena kecanggungan yang telah di buat, pada akhirnya Dhaffin mencari jalan keluar agar tak terlalu lama terjebak dalam jerat mata cantik Edna. Berusaha menghindar dari tatapannya yang dalam dan mampu membiusnya hingga tak bisa bernapas dengan benar. Sungguh bodoh baginya karena terlalu banyak ekspektasi yang tak sesuai dan mengecewakannya. Hingga dirinya malah bertindak kekanakan dan bodoh dalam situasi genting. Dia wanita yang kompleksitasnya rumit untuk dapat dipahami. Seluruh pemikiran yang tak mudah ditebak, entah bagaimana dia membunuh seluruh rasa dominannya sebagai feminime soul hingga menjadi wanita tanpa ekspresi seperti sekarang. Terlalu kaku dan percaya diri. Meski itu hal yang bagus, namun jika logika terlalu mendominasi dirinya. Edna menjadi pribadi menyebalkan yang tak bisa diterka jalan pikirannya. Tapi, Dhaffin tahu ada yang wanita itu coba mati-matian untuk sembunyikan keluar. sebuah rasa kasih juga sayang khas seorang wanita yang penuh kelembutan didalam seluruh kekerasan jurang pemisah yang dia bangun. Hanya saja sampai detik ini Dhaffin belum diberi kesempatan untuk dapat merasakannya. Atau bahkan mungkin tidak. Rasa itu kerap terpancarkan secara tidak sengaja ketika mereka terlibat argumentasi yang melibatkan rasa, dan hati. Namun Edna adalah wanita yang tangguh sehingga tidak ada tindakan apapun yang menyertai rasa itu. Sekali lagi Dhaffin harus ingat bila hubungannya dengan Edna hanyalah sebatas client dengan pelindung. Bukan jenis hubungan rekan, teman apalagi sahabat yang bisa berbagi banyak hal satu sama lain. Wanita itu adalah entitas asing yang begitu ngotot untuk melindungi dirinya hanya karena sebuah alasan menjalankan tugas. Tidak kurang dan tidak lebih. Namun ketika seluruh kecanggungan itu berada dalam mobil ini Dhaffin bisa merasakan jemari lentik nan lembut milik Edna menyentuh pipinya. Lalu berakhir di pelipis. Belum lagi tangan yang satunya aktif menjalar menjelajahi lehernya. Meminta sesuatu yang sama sekali asing atau bahkan tidak akan bisa dia pikirkan untuk diberikan atau tidak saking kalut. Apa ini sebuah isyarat tentang perhatian atau sebuah bentuk dari pendekatan emosional untuk bisa meningkatkan kepercayaan? Karena hal ini Dhaffin memaksa kedua netranya untuk berpaling, bertemu pandang dengan mata hitam Edna dan rambutnya yang halus hitam pula bak bulu gagak. Matanya kini lebih sedikit sayu, seperti ada rasa empati namun wanita itu tidak mengatakan apapun sebagai bentuk konfirmasi atas apa yang dia rasakan sendirian. Dhaffin pun tak tahu apa yang sebenarnya wanita itu coba sampaikan dari gerak geriknya sekarang. Meski sedikit risih namun gerakan halus yang Edna buat secara fisik padanya diam-diam mengundang rasa penasaran pula. Jari-jarinya menelusuri pipi, naik kedahi, mengusapnya pula dengan lembut. Lalu menyibakan rambutnya hingga disitulah dia berhenti. Matanya membelalak sedikit lebar. Kali ini ekspresinya jelas terbaca. “Darimana kau mendapatkan luka ini?” tanya yang menuntut lugas dengan nada bicaranya yang khas membuat Dhaffin sejenak tertegun. Apalagi ketika wanita itu menggerakan jemarinya untuk mengelus bekas luka yang Dhaffin miliki di pelipisnya. Sesuatu yang memuat kenangan samar namun dirasa buruk. Saksi bisu atas sebuah tragedi yang lama sudah tak dia ingat lagi. Dia lupakan dan hilangakan meski buktinya tak bisa lenyap di bagian tubuhnya. Seolah membekas dan berencana hinggap untuk selamanya sebagai bukti otentik. “Apa Egor juga yang—“ belum habis dia berkata, Dhaffin menepis tangan wanita itu. Tidak lagi membiarkanya lebih jauh memainkan dirinya sesuka hati. Apa yang dia tanyakan saat ini tidak ada hubungannya dengan dia. Dan lagi, Dhaffin sendiri tidak memiliki satu niatan pun untuk berbagi kisah masa lampaunya pada Edna. “Ini luka yang kudapat sewaktu masih kecil. Jadi, tidak ada hubungannya dengan masa sekarang.” Dhaffin menjawab dengan tegas. Seolah mengisyaratkan pada Edna untuk berhenti bertanya soal itu. “Aku tidak apa-apa.” Dhaffin menambahkan lagi seolah wanita itu akan bertanya soal kondisi luka yang dia miliki. Meski nyatanya Edna tidak sama sekali membuka mulutnya pasca mempertanyakan soal apa yang dia lihat. Apa Dhaffin harus berterimakasih karena kepekaan Edna pada salah satu aib yang coba dia tutupi hingga saat ini? Akhirnya wanita itu kembali menutup diri, dan kembali berdiam diri seperti detik pertama dirinya menjejakan kaki ke atas mobil ini. Dagunya kembali terangkat seolah tak membiarkan adanya satu titik kelemahanpun. Dalam jeda waktu yang ada Dhaffin menggunakannya untuk menyalakan mesin mobil hingga derunya terdengar dan menimbulkan getaran. Setelahnya mesin roda empat tersebut dia gunakan untuk menyusuri jalanan sesuai dengan petunjuk yang Edna katakan meski hanya berupa kata-kata singkat seperti ‘kanan’, ‘lurus’, ‘kiri’ dan begitu hingga pada akhirnya otak Dhaffin mulai bekerja mengingat sesuatu yang sempat dia lupakan. “Dior! Kita meninggalkannya Edna kita harus kembali kesana!” “Tetap kemudikan mobil ini sesuai intruksiku. Dia baik-baik saja, karena kaulah misiku saat ini.” Dhaffin tak menyangka jika Edna akan membiarkan begitu saja wakil kaptennya tertinggal dibelakang mereka. Dan satu kekecewaan muncul dalam benaknya. Penekanan kata misi terhadap dirinya, seolah menjadikan dirinya adalah benda mati yang tak memiliki perasaan. Sesuai dengan intruksi dari Edna. Dhaffin kembali memegang setir dengan erat sekalipun menurunkan rem tangan. Duduk dengan cara tak nyaman meskipun mengemudikan mobil sesuai dengan apa yang wanita itu pinta. Perasaan bersalah masih pula bergelayut dalam hati. Adapula campuran lain seperti kecemasan dan kekhawatiran pada Dior yang masih berada dibelakang sana. Meski memang seperti apa yang dikatakan Edna, bukan hal yang aneh jika Dior bisa kembali pulang dalam keadaan baik-baik saja. Karena dia adalah seorang pria yang tangguh dan kuat. Tapi tetap saja ada sesuatu lain yang terlupakan dibelakang sana. Sampai kemudian dia tiba pada satu kesimpulan. Apa mungkin— “Edna?” Dhaffin berbisik sedikit ngeri, melirik gelisah pada kursi penumpang yang tengah wanita itu duduki. Namun wanita itu tak menoleh sedikitpun seolah memang sengaja mengabaikannya. Tak ingin mendengar apapun dari dirinya. “Edna..” kali ini Dhaffin berupaya lagi menarik atensi wanita itu sepenuhnya. Sadar tidak sadar suaranya jadi lebih intens dan menuntut seakan dirinya sangat begitu haus akan perhatian dari Edna. “Apa ?” wanita itu menyahuti. Syukur baginya karena setidaknya wanita itu masih mau bertegur suara dengannya. Meski begitu Dhaffin masih berusaha mengontrol emosinya kembali dengan benar walaupun kedua giginya bergemetak sedikit kesal. “Anuu.. amplopnya— ku-kurasa aku meninggalkannya.” Pengakuan yang penuh rasa dosa dan bersalah. Setelah sejauh itu perjalanan mereka menggunakan mobil ini Dhaffin malah baru diingatkan soal hal penting itu sekarang. Terlebih dia telah dipinta untuk menjaga amplop coklat yang Edan pasrahkan padanya. bisa-bisanya dia malah menghilangkan benda yang dianggap penting bagi wanita itu. Wanita itu melirik kearah Dhaffin yang banyak sekali menampakan raut muka campur aduk dalam air mukanya. Edna tidak menanggapi diriku sebaliknya wanita itu malah merogoh sesuatu dibalik jok mobil. Lalu dia memperlihatkan amplop coklat yang telah lusuh kedepan pria itu. Dhaffin dibuat melotot kaget. Bagaimana bisa? Kapan Edna memungutnya? “Aku mengambilnya karena tergeletak begitu saja didekatmu.” Katanya datar. Membuat Dhaffin menundukan kepalanya sedikit suram. “Padahal aku sudah memintamu untuk menjaganya baik-baik.” Dan itu perkataan yang semakin menikam Dhaffin semakin dalam. *** Aku menyuruh Dhaffin untuk memarkirkan mobilnya pada sebuah rumah sederhana yang berjarak lima belas menit dari lokasi yang kami kunjungi beberapa saat lalu. Ketika aku membuka kayu mahoni yang menjadi bahan baku dari pintu rumahnya. Aku disambut dengan cahaya yang berpendar hangat pun sangat menenangkan. Benar-benar sangat khas sama seperti si pemilik rumah yang aku memang kenal dia. Rumah ini adalah sebuah lokasi yang aku pilih sebab akan membantu kami sebelum bertolak ke lokasi selanjutnya. Tentu saja ini bukanlah hanya sebuah tempat yang akan aku tuju sebagai pelarian tanpa arah. Aku merindukannya juga. Dibelakang sana Dhaffin masih membuntuti layaknya anak itik pada induknya. “Lihat siapa yang datang berkunjung. Sudah lama sekali kita tidak bertemu.” Seorang pria dengan kacamata yang bertengger pada tulang hidungnya serta senyum yang ramah menyambut kami begitu saja ketika aku telah melangkah masuk kedalam kediamannya. “Oh ya ampun.. Edna kau terluka. Ayo kedalam aku akan mengobati lukamu.” Pria itu melihat pada pahaku yang masih merembeskan darah. Namun lebih dari itu pria itu nampaknya baru sadar jika aku membawa serta seseorang kerumahnya untuk kunjungan kali ini. senyuman pria itu melembut ketika melihat Dhaffin secara utuh. “Aku tidak begitu parah Ivanka, sebaiknya kau dahulukan dia saja.” Aku menyeret Dhaffin untuk masuk lebih dalam kedalam rumah Ivanka (pria yang menyambutku tadi) lalu mendudukan pria itu di sofa ruang tengah, sekali lagi mencoba membuatnya bisa dengan mudah beradaptasi dengan orang-orang yang kukenal. Setelah membuat dia duduk dengan nyaman. Aku sendiri mendudukan diriku pada sofa yang tersisa dan merileks kan tubuhku sebentar. Sementara Ivanka menghilang, kurasa pria itu sedang mengambil beberapa peralatan medis yang akan dia gunakan untuk mengobati kami berdua. Kurasakan tiba-tiba ada tangan yang menangkup pahaku. Lebih tepatnya lokasi dimana darah lagi-lagi keluar saat aku bersusah payah untuk duduk dengan benar. Tangan yang sepertinya berusaha untuk menekan pendarahanku, tangan milik Dhaffin. “Apa yang kau lakukan?” tanyaku padanya. Tak dihiraukannya aku dan malah dia menyibukan dirinya sendiri dengan luka terbuka pada pahaku. “Apa dia adalah Dhaffin yang itu?” ujaran dengan nada suara yang lembut serta tenang itu sekali lagi membuat semua mata tertuju pada Ivanka yang siap dengan peralatan medisnya. Aku sendiri mengangguk sementara Dhaffin nampak tertarik sekaligus heran tentang pengetahuan orang asing terhadap dirinya. Kurasa dia tidak familiar dengan itu, meski kedepannya dia harus bisa terbiasa dengan sambutan macam itu. “Ya, dia adalah misi yang ketua berikan padaku.” kataku enteng, dengan cara yang tenang pula. Sementara itu Dhaffin sepertinya sekali lagi mencuri lirikan terhadap Ivanka yang juga terlihat menyimpan kesan mendalam terhadap Dhaffin. Aku tahu jika pria nyentrik yang ahli dalam medis itu sedang mengamati Dhaffin. “Begitu ya? Tapi aku merasa wajahmu sangatlah familiar.” “Apa?” seruan yang sedikit mengagetkan dari Dhaffin membuat aku setengah terkejut. Namun Ivanka rupanya tidak terganggu atas hal itu. Dia tersenyum pada Dhaffin lalu menganggukan kepalanya entah untuk apa. “Aku adalah Ivanka. Aku mantan anggota GSF bagian ahli medis. Dan aku rasa Edna telah menjelaskan padamu mengenai organisasi ini bukan?” Dhaffin mengangguk sebagai jawaban. Kemudian pria itu mendekat pada Dhaffin dan mulai membuka lilitan kain di lengannya. Ivanka memulai proses perawatan luka. “Iya dia sedikit memberitahu saya tapi tidak terlalu gamblang.” Ujaran yang jujur dan aku sudah bisa menebak hal itu. Sejak aku bertugas disisinya laki-laki ini memang sedikit merepotkan karena selalu saja merengek soal kejelasan dan alasan alasan yang tidak bisa kubeberkan padanya demi kelancaran misi. Sebagai gantinya dia selalu mengadu terhadap orang yang baru dia kenal tapi mengenaliku mengenai hal itu. Seolah berharap mendapat jawaban dari mereka semua meskipuan hal itu tidaklah mungkin akan terjadi. “Edna adalah gadis yang sangat baik. Dia sangat loyal dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Meski terlihat dingin, tapi sesungguhnya didalam sana ada sebuah kelembutan dan kasih yang melimpah darinya. Ini adalah sebuah keberuntungan karena kau bisa mendapatkan paket yang lengkap seperti Edna.” “Apa maksudmu Ivanka?” telingaku terasa gatal saat dia mendeskripsikan diriku begitu menggelikan dihadapan Dhaffin. Seperti seorang ayah yang sedang menjodohkan putrinya. “Perkataanmu barusan seperti kau beranggapan bahwa aku dan dia memiliki hubungan yang lebih dari sekedar pekerjaan. Apa kau lupa jika itu adalah hal yang dilarang?” “Maksudku adalah dia beruntung ada kau disisinya.” “Kata-katamu sangat ambigu Ivanka. Jika tidak jeli orang akan menangkap adanya maksud lain dari perkataanmu.” “Memangnya kau pikir aku sendiri mau bersamamu hah? Kau pikir aku akan menangis dan mengemis perhatian darimu selamanya dengan ketidakberdayaan?” Aku melirik kearah Dhaffin yang lukanya telah selesai diobati oleh Ivanka. Aneh sekali baginya untuk terlihat sewot atas lontar kata yang terjadi antara aku dan Ivanka beberapa saat lalu. Seolah dia tak suka jika aku menyangkalnya. Terkadang tindakan pemuda ini membuatku sakit kepala saking tidak terarahnya emosi yang ada pada tubuh besarnya itu. “Ah, baiklah baiklah aku minta maaf karena membawa atmosfer yang buruk untuk kalian. Edna sekarang kau masuk keruanganku. Aku akan mengobati lukamu.” “Tunggu kenapa harus didalam? Kenapa tidak disini saja?” Dhaffin bertanya seolah kebingungan. Dia itu memang tidak peka atau bodoh kelewatan sih? “Kau berharap aku mamu membuka celanaku didepanmu begitu?” pemuda itu tersentak dan diam. Mungkin sedang memproses apa yang baru saja kuutarakan. Setelah itu kurasa dia baru saja menyadari kebodohannya. Pipinya bersemu merah campuran antara malu dan kesal yang dibuatnya sendiri. “Ah.. maaf..” Ivanka tertawa menanggapi reaksi konyol yang Dhaffin perlihatkan. Membuat pemuda itu semakin malu pada dirinya sendiri. “Sebaiknya kau juga tidak perlu selugas itu Edna. Kau membuat seorang pria malu karena kata-katamu yang cukup tajam barusan.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD