Crossroad

2114 Words
Edna hanya memperhatikan sosok Ivanka dalam diam, tidak sedikitpun dirinya berkata sesuatu meski dirinya tahu bila Ivanka sudah tidak memiliki kewajiban untuk mengemban tugas lagi. Meski dirinya tahu bila Ivanka sedang berjuang dengan tubuhnya sendiri melawan penyakit yang dirinya derita. Berbeda dengan Keyva yang memperlihatkan rona ketidaksetujuan atas tindakan andil yang hendak Ivanka lakukan. Kecemasan terlihat jelas dari wajahnya yang garang. “I-Ivanka.. seharusnya anda istirahat saja dirumah, lagipula ketua hanya menyuruhku. Anda tidak perlu memaksakan diri anda untuk melakukan tugas ini. Biar aku saja yang melakukannya.” “Kalipa, aku bukanlah seorang jompo yang perlu kau khawatirkan secara berlebihan begitu. Lagipula aku bosan jika harus terus menghabiskan waktuku berdiam diri dirumah seharian. Aku masih bisa melakukan tugasku dengan baik, seperti diriku sewaktu masih menggemban tugas sebagai anggota GSF. Jadi, setidaknya biarkan aku bertanggung jawab hingga akhir untuk mengantar Edna dan juga Dhaffin paling tidak sampai perbatasan.” Ivanka nampak begitu mantap ketika menyanggah ujaran Keyva. Yang tentu saja membuat suasana menjadi lebih hening daripada sebelumnya. Keyva tidak bisa membantah jawaban sang senior, karena itu Keyva hanya mampu menatap Ivanka dengan penuh keraguan dan kekhawatiran. Seluruh anggota intern GSF tahu bila penyakit yang diderita oleh Ivanka tidak main-main. Oleh sebab itu, bagi mereka yang mengetahui fakta. Sebisa mungkin pasti akan menyuruh Ivanka untuk beristirahat. Informasi ini pun Dhaffin dapatkan dari Edna secara tidak sengaja ketika bertanya mengapa Ivanka berhenti menjadi anggota GSF padahal kemampuannya sangat terampil. Jawaban yang Dhaffin dapatkan dari Edna seketika mematikan rasa keingintahuannya untuk bertanya lebih lanjut. Dan bahkan hingga didetik ini, dirinya masih menjadi pihak luar yang tidak ikut andil dalam percakapan mereka. Dhaffin hanya berusaha menyandarkan tubuhnya kedalam bantal sofa yang empuk, mencari jenis kenyamanan yang bisa dia dapatkan sebelum nantinya mesti menghadapi ketegangan yang akan lebih parah dari sekadar perdebatan ini. yang tentu saja melibatkan fisik juga stamina. Belum lagi otak. “Kita berangkat sekarang!” titah dari Edna seketika menghentikan perdebatan yang terjadi antara Ivanka dengan Keyva. Perempuan itu menjadi penengah diantara keduanya, dan dia sendiri secara tidak langsung menjadi pemimpin dalam perjalanan mereka untuk saat ini. Terbukti ketika wanita itu meraih koper dan ransel yang telah berisi keperluan dirinya dan Dhaffin dia dorong keluar menuju mobil hitam yang telah terparkir apik diluar rumah. “Dhaffin, ayo bergegas. Apa aku perlu menggendongmu lagi supaya perjalanan kita lebih cepat?” Dhaffin langsung berdiri ketika Edna berkata demikian, pemuda itu langsung menarik koper yang Edna bawa setengah merebut sebenarnya. “Aku bisa berjalan sendiri. Bahkan aku bisa mendorong koper ini sendiri tanpa perlu kau bawakan.” “Kemajuan yang pesat bung. Setidaknya sampai aku membayangkan bagaimana caranya Edna menggendongmu.” Keyva berkomentar dengan siulan dibibirnya. Pria itu juga terlihat memasang senyum yang usil pada Dhaffin ketika Dhaffin tidak sengaja melirik padanya dengan pandangan yang sebal. “Bisakah kau tidak memandangku dengan cara seperti itu? Kau membuatku tidak nyaman bung.” Topik soal Edna yang menggendongnya adalah jenis obrolan super sensitif yang sama sekali tak pernah ingin dia bahas. Dia merasa harga dirinya terluka parah saat mengingat moment wanita itu mengangkat tubuhnya dan menyelamatkan hidupnya. “Wajar bagi pasangan muda,” tambah Ivanka yang menambahkan komentar Keyva. Pria itu terlihat tersenyum kelewat sumringah terhadap topik ini. Tentu saja jika Ivanka yang berkata demikian Dhaffin tidak ingin membalasnya dengan verbalisasi selain senyum kecut. Memikirkan bahwa dirinya dan Edna sebagai pasangan? Rasanya terlalu mustahil. Wanita itu terlalu luar biasa untuk dimiliki orang sepertinya. Bukan merendahkan diri namun itulah fakta yang ada. “Kami bukan pasangan!” diantara semua orang hanya Edna yang bisa membantah perkataan Ivanka dengan santai. Wanita itu terlihat membereskan beberapa barang dibagasi. Menatanya sendirian meskipun luka dikakinya belum pulih. Tidak kah semua orang melihatnya? Barang-barang yang wanita itu tata tidak sedikit dan lumayan berat. Darimana kekuatan wanita itu berasal? Apa dia mahluk super yang bisa menembus batas kekuatan manusia? “Ayo Dhaffin!” panggilan dari Ivanka membuat dirinya menoleh secara otomatis pada pria itu. Melangkahkan diri untuk maju dan membuka pintu mobil. Menyusul dirinya yang telah berada di depan bersama Keyva. Sementara itu Edna menyusul kemudian di jok belakang menyisakan tempat kosong yang tentu saja akan menjadi miliknya setelah itu. Entahlah, ketika dirinya melangkah masuk kedalam sana ada rasa yang menggerogoti dirinya. Setengah takut setengah tegang. Jelas jelas perjalanan mereka kali ini pun bukan jenis tamasya yang penuh suka cita. Lebih pada perjalanan yang menantang maut dan tidak menyenangkan. *** “Aku hanya pergi sebentar saja Edna. Apa perlu kau mengikutiku sampai ke toilet pria ?” Dhaffin berkata dengan setengah kesal ketika Edna memperlihatkan sisi lain dari dirinya yang teramat super protektif. Wanita itu terus saja mengikuti kemanapun dirinya melangkah hingga kesabarannya habis saat wanita itu hendak mengikutinya menuju toilet. Berbagai alibi keluar dari mulutnya ketika Dhaffin bertanya mengapa harus seperti itu? Mengapa dirinya terlalu berlebihan? Dan jawaban yang dia dapatkan adalah ‘Ini adalah airport, terlalu banyak orang yang tidak bisa aku perhatikan satu persatu. Aku tidak ingin ambil resiko dengan membiarkanmu berkeliaran sendirian ditempat yang dipenuhi banyak orang yang kita sendiri tidak tahu apa yang ada dikepalanya. Penculikan bisa saja terjadi bila aku sedikit saja melonggarkan pengawasanku darimu. Airport ini besar Dhaffin. Jangan merepotkan kami dengan keinginan egoismu sendiri!’ Jujur Dhaffin merasa sedikit jengah namun dirinya sendiri tak bisa membantah. Pemikiran yang Edna beberkan padanya masuk akal. Dan fakta bila dirinya memang menjadi incaran orang-orang dari Vladimir tidak bisa lagi di anggap sebagai main-main. Orang itu memiliki tangan dan kaki dimana mana kemungkinan kecil bisa terjadi kapan saja. Dan bila dirinya tertangkap maka habislah sudah. Hanya akan berakhir sia sia segala hal yang telah terjadi diantara mereka. “Jangan terlalu lama.” Katanya diakhir, karena dia tidak bisa masuk kedalam menemani Dhaffin. Wanita itu melepas penjagaannya untuk sementara meski raut kekhawatiran tidak bisa dia hilangkan begitu saja. “Jangan tunggu disini.” Sedikit kesal Dhaffin berkata ketika melihat wanita itu tidak beranjak dan malah bersandar sambil melipat  kedua tangannya didepan d**a. Wanita itu mengerutkan keningnya seolah itu adalah permintaan yang aneh. Ketika Dhaffin menatapnya dengan tajam wanita itu pada akhirnya melepas lipatan tangannya lalu menghembuskan napasnya dengan pasrah. “Oke baiklah aku mengerti. Aku akan menunggu di tempat pertemuan kita. Pastikan kau kesana dalam lima menit. Tidak lebih.” Katanya dengan nada yang begitu tegas. Wanita itu kemudian berbalik dan melangkah pergi. “Aku kan bukan anak kecil sampai perlu kau tunggui.” Dhaffin sedikit menggerutu ketika mendengar nasehat dari Edna. Kondisi bandara siang ini cukup padat merayap, dengan jam kedatangan pesawat yang hanya berselang beberapa menit. Entah itu dari Beijing, Seoul, bahkan london. Hal tersebut tertera jelas pada layar pemberitahuan jadwal bandara. Sementara itu, Dhaffin telah memasuki toilet. Dirinya sedikit merasa beruntung sebab keadaan toiletnya kosong. Itu artinya dia bisa sedikit merasanya nyaman dan kembali mendapati privasinya. Tidak perlu banyak berpikir apalagi curiga pada siapapun. Mengingat tidak ada siapapun disini. Dhaffin memutar keran wastafel dan mencuci tangannya sendiri dalam diam, niatan untuk buang air kecil seketika musnah. Ketika melirik wajahnya melalui cermin yang berada di toilet tersebut. Matanya menyisakan kantung  mata beserta lingkaran hitam yang sangat kentara. Jelas sekali dapat dia pandangi melalui cermin didepannya saat ini. beberapa hari ini jika ingin jujur, memang Dhaffin kesulitan untuk bisa tidur dengan nyaman dan nyenyak seperti sedia kala dimana hidupnya masihlah aman damai dan tentram. Dirinya merasa bila akhir-akhir ini banyak hari berat yang perlu dia jalani. Memaksakan diri untuk dapat beradaptasi terhadap segala kondisi. Juga menuntutnya untuk terus hidup dalam masa pengejaran tiada henti. Rasa lelah yang terasa membuat seluruh otot nya mengejang. Pikirannya mau tak mau terus berfokus terhadap keselamatan dirinya yang terombang-ambing akhir-akhir ini seperti kayu yang mengambang dilautan tanpa arah. Tanpa kejelasan. Mendesah kesal, sadar bila semestinya dia tidak perlu terlibat dan menjalani hidup sedemikian rumit. Sesuatu yang tiba-tiba saja menahannya untuk berbuat semau dia, merenggut sesuatu yang dinamakan kebebesan demi memperpanjang umur. Vladimir. Tak habis pikir bagaimana nama orang terkenal itu bisa jadi terkait padanya, alasan tak masuk akal seperti apa yang memaksanya perlu sejauh ini demi menangkap dirinya? Dhaffin bukan orang penting, tidak pernah bertatap muka dengannya atau bahkan mengenalnya secara langsung seperti seorang kawan apalagi lawan dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. Terlibat sesuatu yang gelap dengannya? Tentu hal tersebut mustahil. Demi Tuhan segala hal yang menjeratnya membuat kepalanya berat, mual terasa lagi. Membuatnya ingin memuntahkan sesuatu yang tak kasat mata yang terlalu penuh dalam dirinya. Seandainya dengan itu segalanya bisa lebih baik. Atau paling tidak bisa membantunya walau sedikit. Setelah seluruh wajahnya terpercik air, atau lebih tepatnya telah basah. Dhaffin melangkahkan diri untuk keluar dari toilet. Sebelum Edna hilang kesabaran dan mendobrak pintu masuk toilet pria seperti wanita gila. Dhaffin mendorong pintu keluar dengan sebelah tangan dan tindakannya tersebut hampir saja menyebabkan dirinya menabrak orang yang hendak masuk kedalam juga. “Ah.. maafkan saya—“ “Dhaffin?” matanya membulat tak percaya. Saat tiba-tiba tangannya dicengkram oleh orang asing itu. Tunggu wanita? sosoknya yang  berpakaian formal serba hitam dengan kacamata hitam melekat. Rambutnya yang pendek sesaat membuat Dhaffin berpikir dia adalah seorang pria, sampai dirinya melirik kearah depan dan menemukan aset wanita disana. “Ikutlah dengan saya jangan memberontak bila anda ingin ketiga rekan anda ikut tertangkap.” Diam tanpa kata. Kesulitan memproses keadaan, atau paling tidak menangkap maksud dari kata-kata yang wanita itu ucapkan. Jantungnya berdebar begitu kencang lagi. Tegang sekaligus takut. Berpikir apa yang mesti dilakukan saat berada dalam sebuah ancaman. Wanita itu menariknya dengan begitu kuat, memaksa dirinya untuk berjalan mengikuti kearah dia menuntun. Sampai pada Dhaffin melihat beberapa kerumunan lelaki berpakain serba hitam telah berdiri, berkumpul dan terlalu mencolok menunggu dirinya. Mereka berjalan mendekat ketika si wanita juga menuju kearah mereka. Lalu hanya dalam waktu singkat dirinya telah diapit oleh dua orang pria berbadan besar. Belum lagi beberapa yang lain juga ikut menghalangi dirinya. Dhaffin tidak memiliki pilihan selain berjalan dalam diam. Melangkah berusaha dengan tenang tatkala melewati kerumunan yang secara spontan langsung memberinya jalan. Dirinya menelan ludahnya sendiri, mengerjapkan matanya yang mulai putus asa. Sampai sebuah ide terlintas dibenaknya, satu niat untuk melarikan diri. Diperlukan kebulatan tekad untuk melakukannya, tangan pemuda itu mengepal sebelum memulai aksinya. Dengan sengaja dia menjatuhkan dirinya ke lantai dan disambut rasa terkejut dari orang-orang di sekelilingnya. “Tuan Dhaffin...” Tanpa pikir panjang, dirinya meraih tangan wanita yang pertama kali membawanya dalam kerumunan orang berbaju hitam ini. Ditariknya tangan wanita itu hingga tubuhnya terpelangting kelantai menggantikan dirinya. Tubuh Dhaffin berhasil berdiri karena menggunakan tubuh wanita itu untuk bangkit ke posisi berdiri. Merasa mendapatkan pegangan dan menyadari adanya perlawan dari Dhaffin. Beberapa pria mulai memegangi tubuhnya lagi. Apa yang ada dalam pikirannya hanyalah menggunakan kakinya untuk menendang secara acak hingga mengenai salah satu tulang kering pria yang memeganginya. Dilatari pula oleh suara wanita berteriak yang terjatuh karena nya. Seketika pegangan padanya mengendur, Dhaffin menggunakan kesempatan itu untuk kabur dan lari. Melangkahkan kakinya lagi menerobos beberapa orang, serta mengacuhkan teriakan si pengejar dibelakang sana. Memanggil namanya berulang ulang. Dalam kepanikan napasnya mulai tidak teratur. Kelelahan secara mental dan shock terapi yang dia dapatkan benar-benar menyiksa. Terlebih sekali lagi Dhaffin memaksakan tubuhnya sendiri untuk dapat terus berlari secepat yang dia bisa. Menghindari banyaknya atensi yang menatapnya kebingungan karena berlari seperti orang gila dengan para pengejar yang makin beringas dibelakang sana. Hal yang dirinya pikirkan adalah menjangkau tempat pertemuan mereka bersama di airport ini. Menjangkau tempat Edna. Harus. Tiba-tiba sebuah tangan mencengkram bahunya kuat-kuat. Membuat dirinya meronta minta dilepaskan. Dirinya berbalik dan mendapati orang berbaju hitam lain yang berbeda dari para pengejarnya. “Tuan Dhaffin tenanglah!” Namun tak digubris pernyatan orang itu, Dhaffin  sendiri berusaha meninjunya dengan kepalan tangan yang dia buat. Tapi tentu saja upaya itu tidak membuahkan hasil yang sepadan. Tangan orang itu berhasil menahan pukulannya dengan begitu mudah. Sambil berusaha menariknya untuk keluar dari kerumunan orang-orang. “Ada apa ini?” seorang polisi bandara berjalan mendekat, Dia mungkin sadar adanya keributan yang terjadi sehingga tertarik untuk mendekat, matanya memandang kearah Dhaffin dengan kebingungan. Meski mendekat dia sepertinya sama sekali tidak memiliki niatan barangkali membantu Dhaffin sedikitpun. “Kami sudah berhasil menemukan orang yang kami cari. Mohon bantuan anda untuk tidak memperkeruh suasana.” Orang yang mencengkram Dhaffin berkata. Dan polisi bandara itu hanya mengangguk pasrah. Apa ini? mereka berkompolot? “Ah.. jadi anda Tuan Dhaffin itu?” tanya si polisi bandara. “Ikutlah bersama kami jika seperti itu. Kami tidak bermaksud untuk menyakiti anda.” Bahkan kali ini tangan si polisi ikut menyentuh bahunya secara paksa, ikut membantu orang berbaju hitam menjauh dari kerumunan. “Sialan! Lepaskan aku!” “Sebaiknya anda menurut dan mengikuti kami, ini perintah langsung dari Tuan Alex,” jelas pria itu lagi yang sekali lagi membuat matanya terbelalak kaget. Alex? Siapa lagi itu dan apa maksudnya? “...” sekali lagi Dhaffin mencoba untuk berupaya sebisanya, menarik tubuhnya sendiri kebelakang mencari celah untuk bisa kabur. Namun nihil. Ah.. dia ini seorang lelaki, tapi mengapa dirinya begitu lemah bahkan berharap bila Edna akan membantunya. Menyelamatkan dirinya seperti biasa. Tanpa bisa dia cegah air mata mengaburkan pandangan, sementara tangannya sendiri terasa sakit sebab cengkraman yang dia terima begitu kuat. Sangat kuat bahkan membuatnya tak bisa melonggarkannya sedikitpun. “E-edna?” sampai kudapati sosok Edna yang berlari kencang kearahnya untuk bisa menjangkau dirinya. Timmingnya selalu pas. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD