Dari Sudut Pandang Edna

2066 Words
“Kau yakin akan hal ini bukan Ivanka?” tanyaku meragu. Sekali lagi tanganku sibuk membolak-balikan buku bersampul merah bata tanpa ada sekalipun niatan untuk membacanya. Berada ditangan hanya karena tertarik melihat lapisan luarnya, mengintip isinya? Entahlah aku sama sekali tidak memiliki niatan untuk itu. Seperti isi hatiku, enggan sekali bagiku untuk mengintip kembali kepingan memori masa lalu yang telah aku tutup dan kukunci sendiri disana dengan kotak pandora. Tak pernah lagi aku pernah menelisik setiap rahasia didalam sana meskipun sesungguhnya hal itu siap terkuak kapan saja. Sesuatu yang sejatinya mengusik relung diriku sendiri seperti ini. Meski begitu aku tetap tidak pernah berkeinginan untuk mengumbarnya secara langsung. Kurasa tidak untuk saat ini. Ivanka yang duduk didepanku hanya menghela napasnya kuat-kuat. Sedikit lebih berat sepertinya mengingat kondisi kesehatannya yang memang memburuk akhir-akhir ini. Tangan pria itu menelungkup diatas meja kerjanya sendiri, dan matanya memandang sendu pada dinding ruang kerja yang berlapis wallpaper putih dengan corak bambu. Mengingatkannya pada suasana masa kecilnya dahulu. Tempat biasa dia selalu bisa melepas segala penat dan juga bernapas dengan bebas. Meski hanya berupa tiruan, tetap saja tidak cukup membantunya. Tidak disini, tempat ini menuntutnya untuk terus bekerja meski dirinya sudah pensiun setahun lalu karena penyakit yang dideritanya. Membuatnya tak dapat bekerja dengan performa yang layak dilapangan, penyakit yang menghambatnya. Aku sendiri tak bergeming, masih larut dalam pikiranku sendiri. “Kau sendiri bukannya sudah melihat bekas luka dari pemuda itu? Bukankah itu sudah menjadi penjelasan yang sempurna atas segalanya? Edna.. kau tidak bisa membohongi dirimu sendiri, berhentilah melakukan itu karena itu hanya akan menyiksa dirimu sendiri.” Ivanka berkata setelah keheningan diantara kami mendominasi cukup lama. Matanya memandangku dengan cara yang tajam. Aku sadar akan hal itu, namun memilih untuk tidak terlalu peka. “Aku sama sekali tidak pernah berniat untuk melakukannya. Membohongi diriku sendiri? Untuk apa aku melakukan itu? Hanya saja..” kata-kataku kubiarkan menggantung begitu saja. Udara pagi ini sangat dingin. Aku perlu mantel sepertinya, karena hembusan angin pada musim gugur mampu membuatku sedikit merinding. Kenapa pula Ivanka membuka jendelanya begini? aku memijit batang hidungku sendiri, menahan rasa frustasi yang hendak keluar sepenuhnya. Meledak seperti bom waktu yang bersumbu pendek. Mual rasanya karena aku merasa terlalu penuh. “Hanya apa?” Ivanka bersuara, pria itu sepertinya mulai merasa gemas karena aku tak kunjung melanjutkan ujaran yang menggantung seperti itu. Keingintahuan pria itu teramat besar. Baginya mungkin ini hal krusial yang perlu dibagi padanya untuk mendapatkan secerca solusi untuk permasalahan. Jalan keluar yang tentunya baik untuk semua pihak. “Kau tidak perlu memaksakan dirimu Edna, aku paling mengenal dirimu yang kaku. Kau selalu berusaha untuk selalu taat dan mengikuti segala prosedur yang ada. Karena itu memang tugas yang dibebankan padamu. Tapi ini hal lain untukmu, ini soal masa lalu—“ “Aku tidak ingin membuat segalanya jadi semakin rumit Ivanka,” potongku cepat sebelum pria itu sempat meneruskan kata-katanya lagi. Sedikit sudut hatiku rasanya berdarah lagi. Ini menyakitkan. Itu sebabnya aku telah membuang sebagian dari rasa dalam diriku agar tak lagi tersuat oleh hal ini. Namun karena tugas ini, namun karena aku dipertemukan dengan Dhaffin rasanya bagian yang telah kubuang malah kembali pada tempatnya dengan cara yang memaksa. “Kau tidak membuat segalanya rumit Edna. Kau juga tidak akan menyakitinya.” Ivanka tersenyum, namun bukan senyum yang ingin aku lihat setidaknya untuk sekarang. Sebab itu jenis senyum pahit. Pria itu tahu bila dia berhasil melihat sisi lain dariku, melihat kebodohan serta kecanggunganku. Memperlihatkan sisi manusiawi yang lama kukubur selama ini. “Ini masalah antara kau dengan dia. Tentu saja hal ini tidak berkaitan dengan masalah pekerjaan yang saat ini sedang kau emban. Mengingat ini adalah masalah pribadi. Apa salahnya dengan menceritakan segalanya tanpa kebohongan pada dia? bukannya kau.. merindukan dirinya?” Sekali lagi sesuatu yang tak kasat mata menekan dadaku sendiri. Membuatku dengan mudah menutup mulutku rapat-rapat. Meski begitu tak bisa kutahan adanya decakan frustasi yang keluar dari mulutku. Entahlah.. aku tidak tahu bagaimana harus bersikap bila kuceritakan segala kisah hidup yang seperti reinkarnasi ini. sesuatu yang berulang juga membingungkanku. Namun sialnya disaat seperti ini hanya Ivanka yang dapat aku percayai untuk sesuatu yang bersifat pribadi macam ini. Meski sekali lagi ada keraguan yang melahap sisi dalam diriku secara dalam. Menarikku kedasar dan tak bisa kutarik kepermukaan. Entah karena sebuah rasa yang dinamakan ketakutan atau karena ketitik dimana aku tak lagi dapat mempercayai individu selain diriku sendiri. “Aku memang selalu mencarinya, tanpa ada petunjuk. Tanpa ada satupun yang bisa menuntunku menuju dirinya. Bahkan keberadaanku berada dalam organisasi ini karena kupikir aku bisa mendapatkan ilmu mengenai penyelidikan, tapi.. ini berbeda dengan ekspektasiku. Ini sungguh berbeda. Aku.. benar-benar bodoh.” Rasa frustasi kembali menjadikanku sebagai bagian dari sahabatnya. Menelanku bulat bulat dalam jurang kemalangan. “Kau tidak bodoh Edna. Kau adalah seorang intelejen wanita handal diantara seluruh pria yang berada di organisasi ini. Bukankah hal itu menunjukan jika kau adalah orang yang kuat, tekadmu yang ingin mencari dirinya dimasa lalu meski tanpa petunjuk itu mengagumkan. Yang terpenting disini adalah seluruh usaha yang telah kau lakukan, bukan soal halangan yang siap menghadang didepan. Bukankah sekarang kau sudah mendapati jawaban yang kau cari?” “Aku memang mendapatkannya. Tapi apa Dhaffin bisa menerima semua itu? Maksudku situasinya saat ini pun sudah begitu genting, apa bisa aku membiarkan dirinya menanggung beban berat lagi? Bisakah dia mempercayaiku?” sekali lagi ragu. Kembali pada titik awal. Selalu berputar-putar akan sebuah kata tapi. Ivanka tersenyum lebar pada akhirnya. Melihatku yang mungkin terlihat seperti bocah kebingungan seperti dimasa lalu, dimana dia adalah orang pertama yang menyambutku dalam organisasi ini, orang yang telah kuanggap sebagai guruku. “Apa yang harus aku katakan padamu sekarang? Percaya saja. Percayalah Edna. Karena dia adalah bagian dari hidupmu, memori dari masa lalu yang kau cari. Sesuatu yang sudah terjadi tak bisa kau hapus bukan? Tidak ada yang bisa kau lakukan selain menghadapinya. Dia orang yang kau cari. Itu yang harus kau yakini.” *** “Ah.. maaf.. bonekanya!” “Hey.. kau membuang bonekaku! Dasar bocah nakal! Kenapa kau melepaskanya? Ini semua salahmu kau harus bisa menggapainya aku tidak mau tahu!” teriakku kesal pada bocah laki-laki yang lebih muda usianya dariku. Begitu kesalnya aku karena boneka kesayanganku mengambang di atas air danau karena anak itu meminjamnya dan malah menjatuhkannya. “Itu.. aku kan sudah minta maaf..” bocah laki-laki itu mulai gemetar takut, matanya sudah basah karena air matanya sendiri. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. “aku tidak menyuruhmu menangis. Cepat AMBIL!!” kataku semakin menyalak. “Tapi aku tidak bisa berenang.” Sahutnya ketakutan. Dia sangat menyebalkan! Apa itu bisa diterima setelah dia kupinjami mainanku dan membuangnya, sekarang dia bahkan tak bisa mempertanggung jawabkan apa yang sudah dia lakukan? “Dasar lemah!” “A..aku tidak lemah.” “Kalau begitu buktikan!” “Huu...” “Kenapa kau ragu?” “Aku tidak ragu!” Kesal dengan tingkahnya yang malah jadi banyak bicara, aku berniat untuk mengambil bonekaku sendiri. Menuju danau yang berada dibawah sana. Namun sesuatu tiba-tiba melesat. Rambut hitam yang menarik perhatianku. Sesuatu tercebur lebih dahulu. Tidak bukan sesuatu melainkan bocah laki-laki. Dia benar-benar masuk kedalam air danau yang dalam untuk menggapai bonekaku. “OY!” aku kini membelalakan mata tatkala rambut hitam miliknya tidak menyembul dari permukaan air. Meski begitu bocah itu masih berusaha untuk bisa mengambang. Sampai akhirnya mataku tidak lagi menemukan keberadaannya... Kubuka mataku cepat-cepat. Napasku sudah begitu tersenggal. Rasa takut juga sesak masih bisa kurasakan meski mimpi itu telah berakhir dan aku telah terbangun sekarang. Keringat dingin membanjiri diriku. Mimpi itu.. mimpi aneh yang berupa potongan dari masa laluku. Masa lalu? Ini buruk. Pikiranku benar-benar kacau sampai aku tidak bisa mengendalikannya dengan benar begini. Kurenggangkan tubuhku. Dimulai dari kedua tanganku kearah kepala ranjang. Sementara kedua kakiku kutarik kebawah kuat-kuat. Jika aku mendapati mimpi seperti ini, seluruh tubuhku rasanya seperti habis digilas truck. Sakit yang tak tertahankan juga rasa ngilu menerjang punggungku. Seluruh otot tubuhku mengejang dan linu. Aku sendiri tidak yakin bisa menggerakannya dengan normal untuk beberapa waktu. Pukul tujuh, aku terlambat bangun rupanya. Pintu kamar terbuka tanpa ketukan, tersentak kaget tubuhku hingga seluruh tubuhku dilanda tremor ringan. Hal pertama yang tertangkap oleh mataku adalah warna rambut hitam. Serta wajah yang ragu-ragu antara mau masuk dengan tidak. “Ivanka bilang kita harus sudah bersiap.” Katanya. Aku mengangguk mengerti, lalu beranjak dari sisi tempat tidur mengubah posisi menjadi berdiri. “Lain kali jika kau berniat membangunkanku. Ketuk dulu pintunya.” “Ivanka bilang mau diketuk mau tidak, kau pasti tidak akan membukanya jadi hanya membuang waktu saja.” Balasnya pula. Aku memutar bola mataku. “Tidak sopan bagi seorang pria menerobos masuk kedalam kamar seorang perempuan. Kau paham itu? Kedepannya aku tidak mau ini terjadi lagi.” Aku melirik dirinya yang menatap lantai dengan telinga yang memerah. Dia juga menutup wajahnya. Apa yang terjadi? Apa aku melewatkan sesuatu sampai reaksinya perlu seberlebihan ini? “Anu.. Edna.. itu..” ragu-ragu tangannya menunjuk sesuatu dari diriku. Aku mengernyit bingung, meski begitu tetap kuikuti arah telunjuknya mengarah kemana. Dan rupanya itu menuju camisole yang hampir memperlihatkan dadaku— sebagian malah sudah memperlihatkan bra hitamku. Segera spontan kututupi bagian tubuhku. Mendorong Dhaffin menjauh dari kamarku dan menutup pintu kamarku rapat-rapat. Sialan. Ada ada saja pagi ini. “Ah.. memalukan sekali Edna!” wajahku memanas. Ini benar-benar kejadian yang buruk. *** Ivanka terus saja menahan tawanya dengan sebelah tangan kirinya yang bebas, sementara tangan kanannya dia gunakan untuk tetap memegang sendok di posisi semula. Sama sekali belum menyentuh makanannya. Aku terduduk didepannya dengan raut muka yang kesal. Sementara itu Dhaffin duduk disamping Ivanka, masih menunduk dan enggan melihat kearahku dengan benar. Situasi yang sangat menyebalkan ini mesti diakhiri secepatnya. “Berhentilah tertawa Ivanka. Sebelum nanti kau batuk batuk lagi seperti pria tua.” Celetukku pada akhirnya karena tak suka dengan situasi pagi kami. Sikap bijaksananya seolah lenyap seketika apalagi saat ada ketua yang juga menginap. Mereka berdua tak henti mengusili aku dan Dhaffin. “Dhaffin kau pria yang beruntung pagi ini karena sudah mendapatkan hiburan berupa cuci mata. Kami saja tak pernah mendapatkannya.” Celetuk Frederic dengan cengiran khas mesumnya. “Apa anda ingin saya merobek mulut anda ketua?!” sahutku tajam. Tak kupedulikan dia siapa. Tapi imageku sekarang rasanya sedang berada dalam ambang keterpurukan. Sementara yang dinotice sejak tadi tak mau ambil panggung untuk sekadar bicara. Dia masih menunduk sambil mengunyah makanannya. “Kau membuat Dhaffin kesusahan Edna. Kupikir dia sedang menahan sesuatu yang siap meledak dibawah sana.” Celetukan dari Frederic kali ini sukses membuat Dhaffin terbatuk. Ekspresi wajahnya sudah benar-benar memerah. Melihat reaksi menyenangkan yang Dhaffin perlihatkan bukannya keadaan makin membaik, malah semakin menjadi. Ivanka dan Frederic terus saja mengusili Dhaffin. “Hentikan kalian berdua!” cegahku lagi sambil menggebrak meja makan. Hingga nyaris menumpahkan beberapa mangkuk berisi kuah sup dan juga gelas yang berisi air mineral. “Kalian berdua bukan anak kecil. Jadi aku berharap kalian menghentikan segala hal bodoh ini sesegera mungkin. Itu membuatku tidak nyaman.” Seketika suasana meja makan kembali hening. Mereka sibuk kembali memakan sarapan dipiring mereka masing-masing. Aku sendiri yang memang sudah memakan bagianku undur diri dari meja makan. Sebab detik berikutnya kudapati adanya bel yang berbunyi didepan sana. Sepertinya kami kedatangan tamu lagi. *** “Jadi kalian siap?” tanya Keyva yang adalah si tamu yang memencet bel beberapa saat yang lalu. Senyum yang dia sunggingkan sangatlah aneh meski itu merupakan ciri khas dari dirinya. Dhaffin sudah lama sekali tidak bertemu dengan dia. “Apa anda menyuruhnya untuk datang dan ikut bersama kami?” Edna bertanya pada Frederic. Suasana hatinya sepertinya masih buruk karena beberapa lontaran canda yang seniornya lontarkan pada wanita itu. Ya, meski dibalik itu semestinya Dhaffin tutup mulut saja soal insiden pagi ini. Tapi karena kedua pria itu terus mepet dan memojokannya sampai dia mau bercerita. Pada akhirnya Dhaffin membeberkan apa yang menimpa dirinya. Sehingga muncullah lelucon lelucon yang membuat mood Edna seburuk ini. Keyva yang merupakan sang tamu tak diundang berdecak sebal atas sambutan yang dia terima dari rekan wanita favoritnya yang super cuek itu. “Kenapa kau seolah tidak suka aku ikut bersama kalian?” tanya Keyva lagi karena wanita itu mengabaikannya. Nada bicaranya pun tidak terlalu mengenakan untuk didengar. “Aku tidak butuh pengawal. Aku sendiri cukup.” Balas Edna yang enggan sekali melirik kearah Keyva didepannya. Merasa diremehkan pria itu terpancing emosinya. “Heh! Sombong seperti biasanya ya! Berani begitu padaku?” Keyva memandang picik pada Edna, siap mengibarkan bendera pertengkaran kapan saja. “Sudahlah Keyva. Sebaliknya apa kalian bertiga sudah siap?” Ivanka maju sebagai penengah antara Edna dan Keyva. Pria itu muncul dari ruang tengah menuju ruangan depan. Pria itu sudah berpakaian rapi dengan coat berwarna coklat yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Selain coatnya yang membungkusnya, seluruh pakaiannya telah serba hitam. Seperti yang telah dikenakan oleh Keyva maupun Edna. “Anu Ivanka..” Dhaffin tiba-tiba berinisiatif untuk memanggil pria itu. Mendapatkan sebuah panggilan darinya yang sejak tadi berada dalam mode pasif, Ivanka lantas melirik kearah Dhaffin yang berpakaian lebih cerah dari pada keempat orang lainnya. “Apa anda..” “Ya, tepat. Aku akan ikut bersama kalian untuk misi kali ini.” ucapnya terlihat antusias meski dirinya hanyalah seorang mantan anggota GSF.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD