5Days

1075 Words
Lima hari tepat, Dhaffin terkurung dan terisolasi dari dunia luar di tempat ini. Kesal setengah mati, karena mereka lebih pada membatasi ruang geraknya. Serta sulit sekali baginya untuk melakukan sesuatu yang dia suka. Dia butuh angin, butuh cahaya, dan juga matahari yang nyata. Meski bukan jenis tumbuhan yang membutuhkan semua itu untuk berfotosintesis. Tapi setidaknya dia juga salah satu mahluk hidup yang ingin sekali merasakan kebebasan. Kebebasan dunia luar tanpa perlu takut akan adanya ancaman terbunuh dan mati. Konyol sekali. "Edna biarkan aku keluar sebentar." Kali ini Dhaffin telah merontokan seluruh sisi maskulinitas yang dia punya dengan merengek seperti bayi. Sementara yang direngeki hanya cuek menonton televisi lengkap dengan cemilan yang dibawa Dior sepulang bertugas. Rasanya sangat tidak adil memikirkan mereka dapat akses dunia luar sedangkan dirinya sendiri malah dikurung bagai tahanan. "Tidak." jawab Edna cuek, masih sibuk dengan acara mengunyah dan mata yang fokus pada acara televisi. "Sepuluh menit saja ya." Tawar Dhaffin lagi. Masih cukup keras kepala merayu perempuan yang mustahi bisa dirayu sebenarnya. "Tidak!" "Kalau lima menit?" "Tidak!" "Baiklah satu menit saja ya. Kumohon hanya satu menit." ucap Dhaffn yang kali ini lebih ngotot daripada sebelum-sebelumnya. Pemuda itu bahkan sampai perlu bangun dari posisinya yang sedang berbaring sekadar memelototi wanita itu. "Tidak!" "Lima puluh detik." kali ini Dhaffin nampak lebih frustasi. Pria itu kehilangan sabarnya. Kenapa pula wanita ini sulit sekali ditaklukan? "Sedetikpun aku tidak akan membiarkanmu keluar dari sini." balas Edna. Matanya menatap balik pada Dhaffin dengan tajam. Tidak sedikitpun membiarkan adanya kelonggaran. "Tidakkah aku sudah memberitahumu sebelumnya jika aturan yang aku katakan itu mutlak? perlukah aku mematahkan kedua kakimu dulu supaya kau bisa berhenti merengek?" "Tapi itu tidak menguntungkanku. Aku juga manusia disini dan aku memiliki hak untuk berpendapat." Edna tersenyum kecut. Lebih pada mengejek sepertinya. "Memang tidak. Untuk hal itulah aturannya dibuat. Untuk mencegahmu berbuat sembarangan dan mencari mati sendirian." Dhaffin berdecak kesal menyadari adanya kebenaran dari perkataan Edna. Pada akhirnya pemuda itu membenamkan dirinya kedalam bantal sembari meraung dan mengeluh putus asa. Jenis suara yang amat sangat dibenci Edna. Berpikir dengan upayanya ini akan membuat Edna kesal lalu menyerah dan membiarkanku menghirup udara luar. Serius, Dhaffin begitu merindukan banyak hal diluar sana. Kuliahnya, teman-temannya, keluarganya. Hal-hal berbau kasualitas tersebut jadinya langka dan menimbulkan kerinduan yang begitu dalam. "Sudah kubilang untuk tidak mengeluarkan suara aneh itu. Kau terlihat lebih menyedihkan dibandingkan orang yang kelaparan berhari-hari. Aktingmu sangat jelek." "Kalau begitu biarkan aku keluar!" Dhaffin melirik tak suka saat Edna terang-terangan menghinanya. Sadar jika upayanya malah sia-sia dan tidak berguna sama sekali. "Lakukan saja sesuatu yang bisa kau lakukan. Menonton televisi, baca koran ?" saran wanita itu. Edna kembali disibukan dengan tontonannya yang berupa film kartun bodoh yang Dhaffin benci. "Itu hal yang membosankan dan aku tidak suka melakukannya." Seloroh Dhaffin lagi. "Aku hanya memberimu saran untuk mengurangi rasa bosan." "Kalau begitu coba ceritakan soal dirimu." balasnya cepat. Entah mengapa dia mendapat ide itu untuk mengisi waktu kosongnya. Lagipula Dhaffin memang sedikit penasaran pada Edna. Bagaimana wanita mungil itu menjalani hari, bagaimana bisa dia tumbuh dan hebat seperti sekarang. "Untuk apa aku menceritakannya padamu?" jawaban yang kentara sekali dia tak menyukainya. "Kalau begitu apapun itu. Ceritakan aku sesuatu yang menarik supaya aku tidak mati bosan disini." Dhaffin berkata sambil tersenyum manis dan mengambil posisi duduk yang rapi. Edna memandangnya dengan pandangan aneh sebagai balasannya. "Kau membuka sesi konseling?" Dhaffin berdehem keras menyadari upanya yang lagi-lagi dipatahkan oleh Edna. "Aku hanya ingin mendengarkan. Tidak sedikitpun berpikir untuk memberimu solusi maupun jalan keluar atas apapun. Apa aku perlu memberimu pertanyaan supaya mempermudah dirimu bercerita padaku ?" Edna kali ini mengerutkan alisnya dengan tajam. Membiarkan televisinya menyala sendiri tanpa mendapatkan atensi dari dirinya sendiri. Karena wanita itu memilih untuk memusatkan perhatiannya pada Dhaffin yang terlihat lebih so akrab daripada hari-hari sebelumnya. Dia menghela napasnya dengan kasar sebelum memberi jawaban. Terlihat sekali wanita itu menimbang-nimbang layaknya sedang memutuskan pilihan antara hidup dan mati. "Baiklah.. sebaliknya aku hanya akan menjawab yang kurasa wajar." "Memang kau pikir aku akan bertanya hal aneh-aneh padamu?" "Kurasa." Meski tidak suka dengan pemikirannya, tapi setidaknya Dhaffin bisa memanfaatkan sedikit celah dari wanita itu untuk bisa terbuka dan berbagi cerita padanya. "Pertanyaan pertama dariku. Apa kau punya keluarga?" "Privasi. Dirahasiakan." Edna menjawab tanpa perlu berpikir panjang. "Next.." sesungguhnya jawaban itu adalah hal yang paling menyebalkan yang dia terima untuk pertanyaan pertama. "Apa yang kau lakukan diwaktu lenggang?" "Tidur." satu alis Dhaffin terangkat. Bisa-bisanya jawaban yang diterima hanyalah satu kata singkat padahal dia perlu memikirkan banyak hal dan topik. Ini tidak adil. Diantara beribu hal menarik yang bisa dikerjakan wanita ini, Edna malah memilih untuk tidur? "Oke baiklah. Lalu apa kau punya pacar? maksudku adakah pria yang membuatmu tertarik saat ini?" Kali ini Dhaffin mendapat pelototan yang mungkin bila memiliki efek sinar laser akan melubangi dirinya. Dhaffin merasakan bulu kuduknya berdiri sekarang. "Kau pikir aku punya waktu untuk itu?" kata-katanya dingin dan menusuk. Dhaffin hampir saja menyesal telah mempertanyakan soal itu pada sang pelindung. "Tapi apa salahnya dengan itu? memiliki perasaan dan ketertarikan pada oranglain itu manusiawi. Memiliki pasangan hidup, menjalani hidup yang bahagia. Aku hanya bertanya tidak sedang mengancammu. Kenapa kau harus semarah itu?" Edna mendecakan lidahnya. Lalu wanita itu bersandar pada sandaran sofa lebih dalam lagi. Mencari sumber kenyamanan. "Apa tidak ada pertanyaan lain?" "Jawab sajalah.. apa sulitnya itu." balas Dhaffin ngotot. Buatnya segala hal jadi lebih mudah dengan seperti itu. Egonya yang meninggi seiring berjalannya waktu. Entah itu merupakan hal yang baik atau kemajuan terbaik yang pernah dia dapati sepanjang hidupnya. "Peraturan pekerjaanku ini tidak mengizinkan adanya keterlibatan perasaan. Apalagi memiliki hubungan khusus sebab hal tersebut dapat menjadi kelemahan." jelasnya dengan tegas. Kedua tanganny melipat secara otomatis didepan dadanya. "Maksudmu-" "Kami tidak diperkenankan seperti itu baik dengan rekan kerja, dengan orang luar, maupun dengan pihak client atau siapapun itu." "Hal itu berlaku selamanya?" Dhaffin kini menatap pada Edna dengan sedikit ngeri. "Sampai waktu yang ditentukan. Karena aku merupakan anggota tim inti. Kedekatan dengan seseorang sampai melibatkan perasaan akan membahayakan diriku sendiri." Mulut Dhaffin membentuk o. Sedikit memahami seluk beluk Edna. Begitukah tanggung jawab yang dipikulnya sebagai seorang agen handal? bahkan untuk hubungan dengan lawan jenis pun diatur sedemikian rupa sampai titik dilarang. Meski dibilang masuk akal mengingat keterlibatan dalam segi keselamatan dan juga nyawa. Memikirkan keselamatan orang yang berharga bagimu menjadikan mereka sebagai bumerang yang dilakukan untuk mengancam. "Ada peraturan khusus lainnya yang mengikat?" tanyanya lagi. Rasa ketertarikannya terhadap dunia yang Edna jalani meningkat pesat. Dhaffin haus akan itu dan ingin tahu lebih banyak lagi. "Semakin kubiarkan kau makin berani dan meremehkan aku ya?" nampaknya Edna tidak suka terlalu diuak terlalu dalam. Sepertinya Dhaffin harus menghentikan sesi tanya jawab yang menegangkan ini walaupun sungguh dirinya sangat penasaran pada Edna. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD