Salah paham

1233 Words
"Dasar b*****h!" Dhaffin sendiri tidak ingat bagaimana segalanya bermula. Yang pasti apartment ini telah dipenuhi oleh bantal yang berserakan di lantai. Didukung oleh beberapa cipratan air disana sini. Dengan masing-masing dari mereka kehabisan tenaga untuk sekadar membereskan kekacauan yang dibuat hanya karena sesuatu yang entah bagaimana bisa terjadi begitu saja diantara mereka. Dhaffin berbaring diatas sofa sementara Edna lebih memilih untuk bersender di dinding dengan napas yang belum normal. Masih berada dititik tidak teratur. "Tidak kusangka kau orang yang menyebalkan." Ucap Dhaffin yang masih pula terengah. Lebih pada berbisik sebetulnya. "Dior akan murka." Tambahnya lagi. Mendengar nama sang wakil kapten disebut Dhaffin bisa melihat jika Edna sedikit bergidik meskipun tidak terlalu kentara karena topeng kaku yang dia gunakan. Namun Dhaffin sejatinya bisa sedikit bersyukur sebab dapat melihat sedikit sisi manusiawi dari sosok si wanita kaku tersebut atas keributan kecil yang dia buat bersama Edna beberapa saat lalu. "Itu salahmu!" balasnya sengit. Terlihat sekali jika perempuan itu berniat untuk melempari tubuh Dhaffin dengan sesuatu. Namun dia tak menemukan benda yang tepat untuk digunakan menyerang pemuda itu. Pada akhirnya dia hanya menghela napas dengan Dhaffin yang terkekeh di pembaringannya. "Kau yang memulainya. Bahkan air di kamar mandi itu juga ulahmu." "Sedikit taktik untuk membuatmu terpeleset dan jatuh." Dhaffin bisa melihat wanita itu menarik senyum tipis. Sepertinya dia masih terjebak pada nostalgia kecil yang terjadi beberapa waktu lalu saat Dhaffin terpeleset hingga jatuh dengan punggung yang membentur lantai kelewat keras. Mengaduh kesakitan, Dhaffin sendiri masih merasakan denyutannya hingga detik ini. "Aku akan membalasmu, tapi tidak sekarang." ancam Dhaffin lagi. Namun ancaman itu sama sekali tidak berarti bagi Edna. Dhaffin tahu perempuan itu lebih hebat darinya. "Mau sekarang atau nanti. Kau tidak akan pernah sebanding denganku." ejeknya lagi, sambil mencoba untuk berdiri dari tempatnya bersandar. Matanya melirik kearah bantal yang posisinya berada tak jauh dari tempat Dhaffin berbaring. Lebih tepatnya benda itu stagnan diatas lemari pendek menggantikan beberapa benda yang telah terjatuh dilantai. Menyadari akan adanya penyerangan lanjutan. Dhaffin secara spontan menarik pinggang wanita itu dan mengangkat tubuhnya dengan mudah. Dia menaruh tubuh mungil Edna di bahunya. Membuat wajah wanita itu mengahadap belakang punggungnya. Wanita itu meronta, dan berusaha untuk lepas dari cengkraman Dhaffin. Tapi pria itu punya segudang akal dan juga kekuatan berlebih yang tidak mampu dilawan oleh sosok Edna yang sepertinya sudah lebih dari cukup kelelahan. "Sialan!" katanya bersungut. "Akan kubalas dirimu sekarang. Karena kau telah mengejekku!" Wanita itu tak henti memukuli tubuh Dhaffin. Hingga disatu moment yang tak terduga, Edna melakukan sebuah putaran diudara. Membuat gerakan melingkar dengan mencengkram leher Dhaffin menggunakan kakinya. Mendapat serangan tiba-tiba semacam itu, kontan tubuh Dhaffin goyah. Kejatuhan mereka berdua tak dapat dihindari lagi. "Dasar dungu!" ujar Edna. Wanita itu berhasil mendarat diatas tubuh Dhaffin. Sedangkan Dhaffin menjadi figur yang sempurna melindungi wanita itu dari kerasnya lantai keramik yang basah. "Itu gara-gara kau yang membasahi lantai dengan air." ujar Dhaffin lagi. Punggungnya membentur lantai. Sementara Edna duduk diatas perutnya. Entah bagaimana wanita itu sudah berada dalam posisi itu. "Aku pulang!" suara seseorang terdengar dari pintu depan diikuti derap langkahnya pula. Sosok Keyva yang melenggang santai masuk keruangan tengah. Tatapannya langsung jatuh pada dua entitas yang berada dalam posisi Edna yang menindih Dhaffin dipadu dengan lantai basah membuat wajah pria itu menganga layaknya seekor baboon yang ekornya terinjak. Hanya sedetik saja karena detik berikutnya wajah pria itu malah menyeringai kemudian bersiul. "Wow.. akhirnya birahimu mulai aktif juga ya cantik." "Hah?" Dhaffin tidak bisa untuk tidak terkejut dengan ujaran yang terlampau frontal dari si gondrong yang baru saja pulang bertugas. Anehnya yang heboh karena ucapan Keyva hanyalah dirinya sedangkan dari sisi perempuannya sendiri justru terlampau cuek. Edna menyingkir dari atas tubuhnya santai seolah tidak kedapatan terjadi apa-apa, wanita itu hanya membalas ujaran sang rekan dengan mendecih. Matanya melirik tajam pada sang tamu yang tiba tanpa diundang tersebut. "Lain kali lakukan itu dikamar." sahut Keyva lagi tak henti menggoda dua entitas tersebut. "Apa maksudmu Keyva?" Dhaffin menyanggah dengan cepat. Mengabaikan betapa sangat bodohnya tampilan dirinya sendiri. Keyva terkekeh melihat reaksi menyenangkan dari Dhaffin. Telinga pria itu memerah. "Aku tidak menyangka jika ternyata kalian sepasang kekasih." katanya santai yang kontan membuat Dhaffin menunduk. Mereka ulang kejadian barusan dikepalanya. Tentu saja Keyva akan berpikir demikian. Sadar bila posisinya bersama Edna seperti gaya bercinta. Ah.. rasa-rasanya otaknya tercemar lagi. "Itu tidak benar." sangkal Dhaffin tak terima. Padahal didalam kepalanya tersusun banyak skenario liar yang entah sejak kapan ada dan menganggu dengan mudah. "Kau menyangkalnya tapi muka mu sendiri memerah." Keyva terkekeh. Ah.. terkadang Dhaffin memang selalu jadi terlihat konyol disatu waktu. "Selain itu sepertinya ada pekerjaan rumah yang menunggumu. Kau tahu, Dior orangnya gila kebersihan. Dia akan murka dengan kekacauan yang kalian lakukan." tambah pria itu. Dhaffin sadar jika kondisi apartment ini sudah lebih dari cukup untuk dikatakan sebagai kapal pecah yang kemasukan maling. *** Tidak. Tidak. Tidak boleh. Dhaffin sama sekali tidak boleh terpengaruh oleh perkataan Keyva padanya. Jelas-jelas Edna sudah memberinya keterangan pasti mengenai situasi dan hubungan diantara mereka. Ini konyol dan tidak masuk akal. Bagaimana bisa dirinya yang notabene terlahir sebagai seorang pria tulen bisa dengan mudah terganggu oleh perkataan pria urakan yang menganggap jika ada benih-benih rasa antara dirinya dengan Edna. Jelas sekali itu tidak masuk akal. Namun.. "Buka pintunya!" Suara Edna diluar sana terdengar ngotot. Wanita itu sepertinya juga mendapatkan masalah yang serupa. Selain daripada mendapat teguran dari Dior, Edna juga sepertinya harus membuat dirinya keluar dari ruangan ini bagaimana pun juga. Sebab tanggung jawabnya yang mengharuskan Dhaffin berada dalam kondisi yang paripurna tidak kurang satu apapun. Sedangkan situasinya saat ini adalah Dhaffin sedang berada dalam titik entah harus bagaimana untuk menghadapi Edna. Sebenarnya dia sudah bukan lagi usianya untuk bertingkah macam ini. Dia bukan remaja labil tapi pria yang memasuki usia tanggung. Usia dewasa. Tapi karena betah melajang. Sesuatu seperti itu dapat menganggunya dengan mudah. "Jika kau tidak membukanya aku akan mendobrak pintu ini!" ancaman itu dengan segera membuka segel dirinya rapat-rapat. Dhaffin bergegas menuju kearah pintu sebelum wanita itu menghancurkan dinding privasinya di apartment ini. "Jadi kenapa lagi sekarang?" ketika Dhaffin membuka pintunya sedikit, Dhaffin bisa melihat wanita mungil itu berdiri sambil melipat kedua tangannya didepan d**a. Sedikit takut sebab tatapan wanita itu begitu nyalang. Seketika Dhaffin berpikir keakraban mereka musnah. Padahal sudah susah payah dirinya membangun relasi menyenangkan. "Maaf.." Suara Dhaffin terdengar kecil. Edna memutar bola matanya kesal. "Sudahlah.. sekarang yang perlu kau lakukan hanyalah mengisi perutmu. Ini sudah hampir tengah malam." Edna benar. Sejak insiden siang tadi, dirinya belum sedikitpun mengisi perutnya lagi. Bahkan tepat setelah Edna berkata demikian Dhaffin merasakan gemuruh di perutnya. Menghianati perasaannya sendiri. Mungkin karena tak sabar menanti keputusan pemuda dihadapannya. Edna dengan cepat menarik tangan Dhaffin. Menariknya keluar dari kamar. "Ah!" "Bersikaplah lebih dewasa jangan hanya bertingkah kekanakan dan menyusahkanku." serunya. Setelah berhasil menarik Dhaffin, Edna lantas melenggang cuek menuntun dirinya menuju meja makan. Mendudukannya di kursi lalu membuka tutup saji. Terdapat banyak makanan yang asing bagi Dhaffin. "Makan itu!" katanya dengan nada yang memerintah lalu duduk tepat didepan pemuda itu. Layaknya seorang sipir yang memperhatikan tahanannya. Meski awalnya kikuk, tapi ketika Dhaffin mencoba menyodorkan makanan itu ke dalam mulutnya. Sebuah garis senyum terbentuk sempurna diwajahnya. "Ini enak!" "Baguslah. Jangan buat aku kesusahan dan menerima omelan dari Dior." Dhaffin tahu betul jika Dior adalah tipikal seorang pemimpin yang cukup bawel dan tukang ngomel. Dhaffin pernah melihat Keyva diceramahi habis-habisan hampir seharian. Dan Edna jelas bukan entitas yang mau dengan sukarela menerima omelan dari atasan. Bukankah ini artinya mereka kembali pada titik nol? Hubungannya dengan Edna benar-benar sulit. Sebab perempuan itu bukanlah jenis wanita yang mudah diajak bicara. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD