Berdua denganmu (2)

2083 Words
Keheningan mendominasi kali ini Dhaffin berpikir untuk bisa kembali menjalin sebuah komunikasi tanpa adanya kecanggungan. Juga dengan sepiring pancake yang dia buat untuk dia berikan pada Edna. Tapi yang jadi masalah sekarang adalah karena hubungan mereka sudah sedingin air es. Dhaffin tidak tahu bagaimana harus memulai kembali. Terlebih wanita itu kembali cuek padanya. Sulit sekali untuk bisa membangun koneksi dengan dirinya. Untuk beberapa alasan rasanya Dhaffin perlu dengan sangat mengagumi sikap Keyva yang bisa dengan mudah bicara pada Edna. Meski apa yang dia terima sama saja, tapi setidaknya dengan Edna mau merespon apa yang dia ujarkan itu sudah jadi nilai plus. “Apa lagi sekarang?” dia bertanya tatkala Dhaffin menempatkan sepiring pancake yang dia buat didepan Edna. Tangannya sedikit agak kuat memegang ujung piring tersebut. “Aku membuatkannya untukmu. Jadi, aku harap kau mau memakan jatahmu.” Ucap Dhaffin lagi. Pria itu kemudian mengambil posisi yang sedikit gak jauh dari Edna. Lalu berkutat dengan miliknya sendiri. Berupaya semaksimal mungkin untuk act like nothing happen. Berusaha pula supaya tidak terusik dengan apapun yang sejujurnya menggema dalam otaknya saat ini. “Pancake?” suaranya yang tegas membuat Dhaffin sukses mengalihkan pandangan dari piringnya menuju kepada sosok cantik misterius dihadapannya. Wanita itu menaikan sebelah alisnya seperti terlihat aneh dengan hasil buah karyaku. “Dan selai peach..” jawab Dhaffin merespon ujaran Edna. Wanita itu tidak bergeming untuk sesaat. “Kau memasak pancake untuk sarapan?” “Apa tidak sesuai dengan ekspektasimu?” kali ini Dhaffin merasakan adanya gejolak amarah yang meletup. Mendapati kemurahan hatinya yang dipertanyakan seperti itu membuat dirinya tersinggung. Padahal Dhaffin hanya ingin berbagi apa yang dia makan karena dia peduli pada Edna. Tapi apa-apaan nada bicaranya itu? “Tidak. Hanya saja aku tidak mengira kau juga akan membuatkannya satu untukku.” Kali ini Dhaffin terpana. Hanya sesaat mungkin satu detik. Kali pertama dirinya mendapati sosok Edna yang selayaknya patung batu tersenyum begitu tipis. Dhaffin merasa menemukan adanya oasis digurun pasir. Entahlah seperti dia baru saja mendapati sifat manusiawi dari sosok Edna yang terlampau kaku tanpa ekspresi selain berkerut dan serius. Sekarang Dhaffin sudah tak lagi memiliki keluhan apa-apa. Dia terdiam memandangi Edna yang mulai meraih garpu serta pisau. Cara dia menggunakan pisau dan garpu sangat elegan. Seperti dia adalah seorang wanita kelas atas yang mempelajari tatakrama meja makan. Table mannernya sempurna. Rasa ragu dan takut akan penilaian yang jujur dari wanita itu rasanya mengusik relung terdalam hatinya. Apalagi ketika Edna mulai melahap satu potong pancake hasil buah karyanya dengan pelan. “Kau suka?” Dhaffin berkata dengan sedang cemas. Setidaknya dia berharap pancake buatannya bisa memuaskan lidah atau paling tidak mengganjal perut. Wanita itu diam sebentar sebelum bisa memberikan jawaban. Dan tak lama dia menganggukan kepalanya tanpa melirik dirinya sedikitpun. Sebagai gantinya dia kemudian kembali disibukan dengan memotong pancake di atas piringnya sendiri dan melahapnya. Kali ini sedikit lebih cepat daripada percobaan pertama. Sejatinya Dhaffin merasa puas meskipun tidak mendapatkan pujian secara langsung dari Edna. Ya, pujian dari Edna mungkin terlalu berlebihan apalagi yang dia bisa perbuat untuk wanita itu hanyalah membuat pancake dengan bahan seadanya di kulkas. Mereka makan dalam suasana yang dingin. Edna yang memang notabene orang yang pendiam di gabung dengan dirinya yang memang sebetulnya memiliki kepribadian intovert namun tidak separah Edna. Mau tak mau jadi malah banyak berbincang didalam kepala dibanding menyeruakan segala hal yang rasanya siap meledak kapan saja. Denting alat makan dan detik di jarum jam adalah satu-satunya pengisi kekosongan diantara mereka. Pelan memutar memberi tahu pada seisi dunia bila waktu terus berjalan meskipun kita tidak melakukan apa-apa. Rasanya memang tenang, tapi terlalu sepi seperti ini juga tidak semata-mata membuatnya nyaman. Terlebih kondisinya saat ini ada dua entitas didalam satu ruangan yang sama tapi tidak ada yang mau buka suara. Bukankah ini kecanggungan yang luar biasa ? apa perlu Dhaffin mengalah dan membuka topik agar tercipta lagi sebuah percakapan ? tak mengapa meskipun berhenti di satu atau dua kalimat. Yang penting usaha bukan? “Edna.. bisakah aku bertanya sesuatu?” meski ragu dan tak ada keyakinan secuil pun dalam dirinya. Dhaffin merasa dia hanya perlu berani. Seorang pria memang ditakdirkan untuk membuka jalan. “Apa?” tak diduga Edna menjawabnya. Meski sangat singkat entah mengapa Dhaffin merasa sumringah bukan kepalang. Seperti usahanya memberi hasil sepadan. “Berapa umurmu?” Kali ini Edna melirik secara penuh terhadap dirinya. Sorot matanya terlihat tajam dan terganggu. Apa Dhaffin mempertanyakan sesuatu yang salah untuk topik awal perbincangan? Tapi demi Tuhan dirinya memang sangat amat penasaran dengan usia si ratu es ini. Terlebih karena badannya yang mungil nan lincah. Apa dia masih berusia remaja? Tujuh belas? Atau mungkin enam belas? “Pertanyaan pribadi?” balasnya sarkastik. Dhaffin sebetulnya ingin sekali mengubur dirinya hidup-hidup detik itu juga saking malunya. Tapi sudah kepalang basah itu artinya Dhaffin mesti lanjut. Tak peduli jika jawaban yang diterimanya nanti akan mengecewakannya atau tidak. “Aku penasaran padamu, maksudmu dari fisikmu aku mengira kau lebih muda dariku.” Untuk sedikit pemberitahuan Dhaffin mengingat dirinya saat ini berusia sembilan belas tahun. Entahlah apakah umurnya mampu mencapai dua puluh mengingat dirinya saat ini sedang menjadi target pembunuhan. Dan beberapa hal yang membuatnya penasaran harus dia tuntaskan supaya tidak ada penyesalan. Edna terdiam beberapa saat, menimbang-nimbang sepertinya untuk mau memberi jawaban atau tidak. Dhaffin sendiri kini sedang menghitung domba dalam hati, menguatkan kesabarannya untuk menghadapi tipikal perempuan macam Edna yang dia pikir blak blakan nyatanya tidak. Sosok Edna dipertemuan pertama mereka. Apa itu kamuflase atau sisi sejati dalam dirinya? Kepala Dhaffin dipenuhi oleh berbagai spektrum atas dasar spekulasi semata. “Dua puluh tiga—“ Dhaffin hampir tersedak nafasnya sendiri. Untung saja acara sarapan dan mengunyah pancake nya telah usai beberapa menit lalu. Untung saja sekali lagi dia mensyukurinya. Tapi lebih dari pada itu apa benar yang dia dengar barusan? Setengah melongo hampir tak percaya Dhaffin menatap Edna yang kini telah menatapnya tajam sambil bertopang dagu. Oh tidak.. apa keterkejutannya terlalu kentara? Apa baru saja dirinya lagi-lagi melakukan kesalahan karena merespon terlampau berlebihan. “Kau tidak percaya?” tanyanya sinis. “Tidak, maksudku ya. Eh.. anu.. sejujurnya aku pikir kau lebih muda dariku. Jadi.. aku, maaf kalau aku pernah bersikap tidak sopan padamu.” Ucap Dhaffin terbata-bata merutuki kebodohannya. Bukannya memang didunia ini ada hal-hal yang tidak bisa diduga? Badan kecil belum tentu usianya dibawah kita. Dan Dhaffin kini mempelajarinya. Edna terdiam, kali ini wanita itu memutar bola matanya sambil menghembuskan napas kesal. Sepertinya bukan pertama kali baginya menghadapi situasi semacam ini. “Maaf aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu sama sekali.” Dhaffin berkata lagi, kali ini dengan sangat menyesal. Wanita itu tak menjawab. Dia hanya bergerak merapikan rambut pendeknya kebelakang. Memperlihatkan sisi wajahnya yang tertutup rambut bagian samping depan. “Bukan hal yang aneh.” Katanya lagi kali ini dengan sedikit ringan. “Tapi kau masih terbilang muda untuk menjadi anggota GSF.” Dhaffin berkata lagi. Tentu saja, menjadi seorang anggota GSF sangat sulit. Ada beberapa tes fisik dan juga kecerdasan. Dan dari beberapa orang yang ada, mereka lah yang menduduki posisi tersebut. Bisa dibilang Edna merupakan salah satu entitas langka dimana perempuan bisa menduduki posisi di GSF apalagi sebagai penyerang. Itu berarti dia memiliki sesuatu yang special dari dirinya. “Kau dilatih semuda itu?” “Sejak aku berusia sepuluh tahun.” Katanya lagi dengan tenang. Kini ketertarikan Dhaffin terhadap Edna meningkat pesat. Selain karena dirinya yang sangat tertarik dengan dunia mata-mata dan beberapa kasus rahasia beserta konspirasi. Tentu saja kehidupan yang dijalani Edna pasti memuat semua hal yang dia obsesikan. Dan hal tersebut nyatanya memicu dirinya untuk semakin tahu. “Apa kau dilatih memegang senjata dan semacamnya?” Kali ini Dhaffin berkata dengan sedikit antusias. Matanya terlihat berbinar seolah mendapatkan ilham baru dan kesukaan baru. “Semua hal, bela diri, insting, pertahanan diri, taktik, meningkatkan performa fisik dan juga membunuh.” Untuk perkataannya yang terakhir membuat Dhaffin tiba-tiba kehilangan minatnya lebih jauh. Rasanya terdengar getir meski wanita itu mengatakannya dengan cara yang santai tanpa beban. Membunuh? Gadis kecil itu sudah diajarkan membunuh padahal pada masa itu dirinya hanya sibuk bermain sana sini tertawa bersama teman sebaya. Namun yang Edna hadapi justru malah kejahatan dan dunia yang begitu hitam pekat. Yang Dhaffin ketahui dengan jelas adalah satu. Entahlah ini bisa dinamakan dengan simpati atau empati. Rasanya tidak adil. Sangat tidak adil ketika kenangan masa kecil yang harusnya bertabur keindahan dan kegembiraan justru malah diisi dengan hal-hal mengerikan berbau darah dan penderitaan. Hidup yang sama sekali tak ingin dirinya tapaki, namun justru dihadapi wanita bertubuh mungil dihadapanya hingga saat ini. Kembali hening dan kali ini kecanggungannya masuk dalam tahap dua kali lipat. Dhaffin memutuskan untuk membawa piring kotor bekas mereka makan untuk mencucinya di dapur. Berusaha mengenyahkan hal buruk yang baru saja hinggap pada dirinya serta pertanyaan bodoh yang malah meluncur begitu saja tanpa memikirkan perasaan yang ditanya. Dhaffin merasa telah melakukan hal yang terlalu bodoh. Apa dirinya perlu minta maaf sekarang? Pria itu melirik kearah sofa dimana Edna tengah  memunggunginya. Perempuan itu nampak seperti wanita pada umumnya jika berada dalam kondisi seperti ini. Namun siapa yang tahu dibalik tubuh mungilnya tersimpan beban-beban tak kasat mata yang mengekang dia. Sekuat apapun dirinya, tentu saja Edna pasti masih menyimpan sisi lunaknya sebagai seorang manusia. Hatinya. Pada akhirnya Dhaffin mendesah sesaat, menyesali pertanyaannya yang dinilai teramat frontal. Sebelum memberanikan diri untuk kembali menunjukan diri dihadapan Edna. Maka setidaknya harus ada sebuah permohonan tulus. Pengampunan. “Maaf..” Dhaffin kembali berujar dengan lembut. Untuk sesaat Dhaffin melihat wanita itu tersentak kaget dalam diamnya. Dia melirik pada Dhaffin yang kini wajahnya dipenuhi sesal yang teramat mendalam. Edna menatapnya dengan tatapan aneh. “Maaf karena aku tidak peka. Aku tidak bermaksud untuk membahas sesuatu yang mengerikan dan bisa membuatmu kembali terluka juga trauma.” Edna menggelengkan kepalanya. Wanita itu menutup matanya sebentar sebelum membuat sebuah ekspresi. Meski Dhaffin tak bisa mendeskripsikan bagaimana raut mukanya sekarang. Namun yang pasti Dhaffin bisa melihat jika wanita itu baik-baik saja. “Aku tidak masalah.” Tidak bisa disangkal. Perasaannya terhadap Edna jadi menyatu dan saling berkaitan satu sama lain hingga membuatnya bingung untuk secara tepat menyebutnya apa. Wanita yang menjadi satu-satunya awal dari bencana hidupnya yang dimulai. Wanita yang dengan seenaknya membuntuti dirinya dan mengatakan bila dia adalah sang pelindung bagi dirinya. Terdengar kocak. Dhaffin merasa adanya ketidak sesuaian disini. Seharusnya dialah yang maju dan melindungi Edna. Bukan sebaliknya. Meski dia cuek dan dingin, wanita itu masih pula dapat memberinya sedikit ketenangan dan kenyamanan dari tindakannya ketika mereka berdua berada disituasi sulit. Ketika dirinya berada dalam situasi tak masuk akal yang tidak mudah bisa diterima dengan akal sehatnya. Hingga kemudian terdampar dan menjalani situasi membingungkan ini bersamanya meski tidak ada kejelasan sama sekali. Pembunuhan. Pembantaian. Entah sudah berapa banyak mayat yang kusaksikan dan anehnya kematian mereka semua tak satupun yang termuat disurat kabar atau media televisi. Seolah ada yang menutupi. Seolah apa yang telah dialaminya hingga kini hanyalah sebuah mimpi buruk. Bahkan kondisi mentalku sempat memburuk sebelum akhirnya bisa menerima. Itu pun berkat Edna yang menggiringku untuk menggunakan akal sehat dan logikaku. “Bolehkah aku bertanya satu hal lagi padamu?” Dhaffin kali ini bertanya dengan berani dan sungguh-sungguh. Tidak ada keraguan. “Ya.” Sebenarnya ini tidak terlalu penting, namun untuk beberapa hari ini sangat mengusik pikirannya. Dan anehnya baru terpikirkan sekarang. Saat dirinya hanya berdua saja dengan Edna. Mungkin karena terlalu banyak hal yang ada dikepalanya yang terlalu overload sehingga soal yang satu ini sempat terlupakan. “Kau.. kau bilang menginginkanku diawal pertemuan kita. Apa itu hanyalah taktik saja bagimu untuk mendekatiku? Apa hanya kamuflase?” tebaknya lagi. Edna terdiam lagi, wajahnya terlihat berpikir cukup dalam. Namun setelah beberapa menit Dhaffin menunggu, wanita itu melihatnya dengan pasti. “Kau masih tertarik membahas soal itu?” ekspresinya yang mengernyit pada Dhaffin kentara sekali bila dirinya tidak nyaman mengungkit apa yang telah terjadi. Namun dibalik semua hal. Pertemuannya dengan Edna   memang terlalu berkesan sampai tidak bisa dilupakan dengan mudah. Apalagi Dhaffin tak bisa menyangkal jika rasa penasarannya membutuhkan adanya keterangan jelas. Segala tindakan pasti butuh effort. “Apa kau memang tertarik betulan padaku?” Dhaffin hampir menganga tak percaya terhadap spekulasi yang dia ujarkan pada si nona mungil yang kini ekspresi dinginnya pecah menjadi sorot mata yang membulat menyanggah. Oh tidak.. Dhaffin membangunkan singa. “Itu kulakukan karena perintah atasanku. Tidak ada alasan yang lebih logis bagiku untuk melakukan hal memalukan macam itu. Terlebih padamu. Jangan berpikir aku memiliki ketertarikan secara seksual padamu. Hubungan kita hanyalah sebagai seorang pelindung dan client. Tidak lebih. Jadi mulai sekarang buka matamu dan jangan ungkit hal itu lagi.” Sebuah jawaban yang terdengar sangat diplomatis dan tepat seperti hal yang Dhaffin duga. Meski begitu dia tak bisa menyangkal jika ada satu bagian dari sudut hatinya yang sedikit ngilu. Adakah penolakan yang lebih kejam dari ini? sepertinya ada. Tapi Dhaffin merasa dirinya fix telah menjadi pria patah hati oleh ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap perempuan yang nyatanya tak pernah sekalipun menganggapnya sebagai seorang lelaki. “Uh.. begitu ya.” Dhaffin meringis. Sementara itu Edna melenggang santai meninggalkanya begitu saja tanpa peduli akan ekspresi pria yang baru saja dia tolak secara tidak sengaja. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD