Berdua denganmu

2289 Words
“Ah.. namamu Dhaffin kan ? perkenalkan aku Dior. Wakil kapten yang secara khusus mengawasi team ini. Kalau kau belum tahu disebelahku adalah Edna code namenya adalah Luxor dan disisimu sekarang itu dia Keyva dengan code name kalipa.” Nada bicara pria itu terlihat santai. Namun pria disisi Dhaffin mendengus tidak suka atas keterangan yang diberikan pria bernama Dior itu pada Dhaffin. “Buat apa kau mengulur waktu dengan perkenalan macam itu. Tidak penting bagiku untuk memperkenalkan namaku. Apa pula kau pamer didepan dia macam itu!” “Akui saja kalau aku lebih hebat daripada dirimu makanya aku dijadikan wakil ketua. Kau itu terlalu meledak-ledak itu sebabnya kau tidak bisa naik pangkat. Sudah berapa kali kau menggagalkan misimu hah ?” ejek Dior dari balik kursi kemudi kembali membuat Keyva pria berdarah panas itu kembali menggerutu dan tidak terima atas apa yang diujarkan wakil kaptennya. Sedangkan Dhaffin hanya diam memperhatikan pertengkaran yang dia nilai sangat kekanakan dan bodoh. Sementara itu dari kaca spion Dhaffin bisa melihat siluet Edna yang sama diamnya. Namun karena perdebatan tak kunjung berhenti. Wanita itu angkat bicara pada akhirnya. “Jalankan mobilnya sekarang!” maka berakhirlah sudah pertengkaran itu. Perhatian seluruh penghuni mobil kini beralih padanya. Meski disini Dior adalah wakil kapten namun Edna seperti memiliki pengaruh dan kharisma nya sendiri hingga kedua pria berisik itu bisa mengontrol diri mereka sendiri. Hingga keheningan mendominasi. *** “selamat datang di GSF (Grandblue Society Federation)” seringai lebar menyapa Dhaffin ketika mereka tiba disebuah tempat yang mungkin merupakan sebuah markas bagi mereka. Pemuda itu hanya mengangguk dengan canggung setelah mereka bertiga berada diruangan tengah. “Jadi, apa kalian bisa menceritakan apa yang membuatku bisa berada disini ?” tanya Dhaffin pada akhirnya. Seluruh atensi langsung memusat padanya secara otomatis. Dhaffin pernah mendengar selenting tentang GSF yang merupakan sebuah badan intelejen rahasia yang dibentuk untuk menumpas kejahatan yang tak terlihat dengan mata. Namun karena kerahasiaannya tersebutlah keberadaan mereka sempat diragukan adanya. Ketika Dhaffin terseret kedalam dunia mereka secara tidak sengaja tentu saja mau tidak mau dirinya meyakini adanya badan buatan negara ini. Namun yang jadi pertanyaannya adalah mengapa dirinya yang bukan siapa-siapa bisa terlibat dalam keadaan ini. Mereka semua terlihat tegang. Padahal Dhaffin berharap bisa mendapatkan jawaban memuaskan mengingat kondisi mereka semua sedang dalam keadaan santai. Jadi bertanya soal kejelasan bukanlah sebuah dosa. Dior yang duduk di pinggir sofa, Edna yang duduk dengan santai seraya bersandar disofa juga Keyva yang Dhaffin rasa masih menendam kebencian padanya karena pria itu sekarang malah melotot padanya seakan hendak memakannya hidup-hidup. Dior terlihat menghela napasnya cukup lama dan dalam. Pria itu seperti sedang mempertimbangkan sesuatu dalam kepalanya sebelum bisa memberikan penjelasan. Dhaffin tahu jika pria itulah yang paling bisa diharapkan untuk memberikan kejelasan. Dan dia adalah satu-satunya manusia yang bisa Dhaffin anggap ‘wajar’ diantara yang lainnya. Dia lebih terlihat manusiawi dan hidup. Selain itu dia jugalah orang yang paling wellcome terhadapnya dibanding Edna yang membawanya ataupun Keyva yang jelas-jelas tak suka padanya. kepribadian mereka semua sama sekali tidak mencerminkan mereka semua sebagai anggota dari badan intelejen. Ngomong-ngomong soal intelejen, sampai sekarang pun Dhaffin masih tak bisa dibuat percaya soal kebenaran identitas mereka. Meski mereka memperlihatkan sesuatu berupa nametag serta bidang pekerjaan mereka. Namun tetap saja, bukankah didunia ini segala hal soal itu bisa dipalsukan. Lagipula situasi Dhaffin sekarang lebih terlihat seperti sedang disekap dibanding dilindungi. Tidak ada kejelasan, tidak ada alasan, sama sekali tidak ada informasi yang bisa dijadikan sebagai pedoman baginya untuk kelanjutan nasibnya nanti. Selain itu, tanpa komunikasi dengan keluarga. Bukankah ini sedikit aneh ? “Jadi Dhaffin...” setelah selesai bergelut dengan isi pikirannya sendiri pria itu memulainya. Sesuatu yang mungkin akan bisa Dhaffin pecahkan sendiri. Dia hanya butuh clue itu saja. “Kami bertiga diperintahkan sekaligus ditugaskan oleh para pemimpin GSF. Dan dalam kasusmu yang sekarang kami dilarang untuk memberikan informasi yang valid dan kejelasan. Intinya adalah kami bertiga terkhusus Edna dilarang untuk membeberkan statusmu. Selain daripada informasi bila kau berada dalam perlindungan dan pengawasan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh pusat. Mengenai hal kenapa kau berada ditempat ini itu karena—“ “Kau jadi salah satu terget dari pembunuhan.” Potong Edna melanjutkan. Raut wajahnya masih sama. Terlihat kaku dan tidak bersahabat. Seluruh mata menatap horor pada Edna yang dengan perkataan singkatnya mampu menjelaskan situasi tanpa bertele-tele. Dhaffin dilanda tremor. “Seperti yang diharapkan dari Edna. Sangat to the point.” Keyva bersiul tatkala wanita dingin itu menjelaskan situasinya. Sementara itu Dior terlihat sangat kebingungan dan pada akhirnya dia mengarahkan sebuah sentakan kecil pada Edna yang masih bergeming tanpa dosa setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya. “Edna!” “Jika dia bersikeras ingin tahu, tidak ada alasan bagiku untuk menutupinya. Percuma saja nanti dia sendiri pun akan tahu.” Wanita itu berlalu begitu saja, sementara Dhaffin kini hanya bisa berusaha menenangkan tangannya yang masih bergetar hebat. Pembunuhan ? salahnya apa sampai dirinya dijadikan sebagai incaran pembunuhan ? “Jangan khawatir Dhaffin. Kami akan melindungimu. Jadi, kau tidak perlu terlalu cemas. Sebaiknya kau istirahat saja.” Dior masih pula berupaya sepenuhnya memberikan ketenangan. Namun sayang, kebaikannya tak mampu sedikitpun memberikan ketenangan. Dhaffin malah semakin kepikiran. *** Apartment yang disulap bagai markas ini menyisakan hanya dua orang. Dirinya juga Edna. Beberapa dari mereka sedang bertugas. Dior yang mendapat panggilan berlabel darurat dari kantor pusat, pria itu langsung pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu. Kepergiannya hanya menyisakan sebuah notes kecil yang ditempelkan di pintu kulkas supaya dapat mudah terbaca siapapun. Sementara Keyva sendiri belum kembali dari kemarin siang. Pria sangar yang lebih cocok jadi preman ketimbang anggota intelejen itu tidak mengatakan apa-apa saat dia pergi. Tapi Dhaffin dengar dari Edna jika Keyva sedang menjalankan tugas, dan hingga dua puluh empat jam berlalu pria itu masih pula belum menyelesaikan tugas yang entah apa tersebut. Sebuah tugas yang mengharuskannya untuk menginap bersama rekan lain di distrik yang tak jauh dari tempat mereka berada. Setidaknya hal tersebutlah yang bisa Edna berikan padanya sebagai informasi ketika dirinya bertanya soal keberadaan orang-orang berisik itu dari apartment ini. Ini merupakan hari ke empat Dhaffin terkurung diruangan ini. apartment kecil berkapasitas kecil ini hampir sama dengan yang ditempatinya dulu, hanya saja ini satu tingkat lebih mewah dari miliknya. Kapasitasnya memuat ruangan penting saja, dua ruang tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur dan satu kamar mandi. Setidaknya Dhaffin bisa bersyukur apartment ini memiliki dua kamar. Jadinya dia dan Edna memiliki ruangan pribadi masing-masing. Meskipun Dhaffin akan kehilangan privasinya jika Dior dan Keyva ada pula disini. Selain itu, tidak banyak hal yang dapat Dhaffin lakukan selain aktivitas dalam rumah. Dirinya diisolasi dari dunia luar, sama sekali tidak diperbolehkan bahkan untuk sekedar menghirup napas bebas dari luar –sialnya apartment ini tidak memiliki jendela keluar— lebih mirip sangkar sesungguhnya. Sehari-hari hanya yang bisa dia lakukan hanyalah makan, minum, tidur, mandi, mencuci piring, menonton televisi, membaca koran. Hal-hal seperti itu saja. Bahkan dirinya sendiri pun tidak diperbolehkan menyentuh alat komunikasi apapun. Dhaffin benar-benar diputus dari dunia luar. Padahal pria itu sangat mencintai matahari. Dia rindu angin segar. Mencintai alam luar. Dhaffin ingin bebas. “Pagi..” tegurnya pada Edna yang baru saja muncul dari dalam kamarnya. Seperti biasa wanita itu sudah berada dalam mode siap dan rapi. Padahal ini masih cukup pagi. Entah kapan wanita itu mulai beraktivitas sebab selama bersama dengannya Edna tak pernah sekalipun terlihat berantakan sama sekali. Berbanding lurus dengan dirinya yang hanya mengenakan kaos hitam polos dan celana training hitam yang berwarna sama. Suram. “Dimana Dior?” tanyanya menjawab sapa dari Dhaffin dengan cuek. Wanita itu melenggang santai menuju lemari es dan sebuah notes yang tertempel disana menjadi jawaban yang dia cari. “Dia pergi tadi pagi sekali.” Meninggalkan aku berdua saja dengan monster dingin ini. tentu saja apa yang ada dalam benaknya tidak berani dia suarakan. Sebagai gantinya matanya kembali berfokus pada beberapa bahan mentah yang telah dikeluarkan Dhaffin dari lemari pendingin. Hanya s**u, telur, dan tepung. Tidak ada lagi. “Mau sarapan apa?” Wanita itu mengerutkan alisnya dengan tajam, memperhatikan notes yang berada dikulkas beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas cukup panjang. Dia berjalan santai kearah counter dapur, seakan tidak pernah diantara mereka terjadi percakapan. “Apa kubuatkan pancake saja?” Dhaffin berupaya lagi untuk membuat sebuah percakapan diantara mereka. Ayolah, satu-satunya manusia disini hanyalah Edna. Masa dia mau mengabaikannya pula? “Buatkan saja untuk dirimu sendiri.” Kata-katanya sangat singkat dan jelas. “Tapi kau juga butuh makan.” “Aku tidak lapar.” Sanggahnya lagi. Sampai kemudian terdengar suara keroncongan yang pastinya bukan berasal dari perut Dhaffin. Pria itu menghela napasnya sendiri. Dhaffin tak lagi bertanya, sebaliknya dia mengolah apa yang ada didepan mata. Membiarkan begitu saja perempuan dingin tersebut berdiri mengawasinya dari belakang. Dari ekor matanya Dhaffin bisa melihat wanita itu bersandar pada dinding sambil melipat kedua tangannya. Yang membuatnya sedikit tidak nyaman adalah cara wanita itu menatapnya seperti sedang membuat lubang di belakang tubuhnya. “Anu.. jika tidak keberatan bisakah kau tidak melihatku seperti itu?” Dhaffin akhirnya berseru juga. Wanita itu mendecak sebelum pada akhirnya dirinya berlalu dan mendudukan dirinya disofa. Tidak bicara apa-apa. Meski begitu setidaknya Dhaffin bisa sedikit bernapas lega karena lepas dari pengawasannya yang sejatinya tidak terlalu dibutuhkan. Setidaknya untuk sekarang. *** Aku menyibukan diriku dengan hal yang tidak perlu. Selepas menerima perintah untuk menjaga seorang pria yang entah posisinya sepenting apa. kehidupanku yang bebas ikut terkekang juga karenanya. Perintah atasan yang memaksaku untuk memenjarakan hidup kami berdua di apartment ini demi tuhan membuatku mati bosan pula. Terlebih aku dan dia sama sekali tidak memiliki sebuah hubungan yang layak dan dekat. Kami bukan teman berbincang. Dan aku sendiripun tidak terlalu suka bicara dengan orang baru. Seperti hari ini, Dior sialan dan si Keyva keluar dari apartment dengan alasan tugas dan lain-lain. Padahal aku paling tahu mereka semua sedang bolos dan mencari penghidupan diluar sana. Terlebih si Keyva tidak pulang karena sibuk bermain dengan wanita-wanita yang biasa menawarkan jasa digang gang sempit ibu kota. Hari ini sama membosankannya dengan hari-hari biasa. Kulirik pria itu masih berkutat dengan sesuatu dibelakang sana. Seharusnya tugasku untuk menyiapkannya makanan karena itu bagian daripada jobdesk yang aku setujui. Tapi mengingat betapa buruknya aku dalam hal satu itu, aku lebih memilih untuk kelaparan ketimbang harus membuang-buang jatah makanan yang ada dikulkas. Beberapa menit membiarkan Dhaffin dengan waktunya sendiri. Mulai tercium bau enak yang manis. Seperti buah peach yang diolah ulang menjadi sirup kental. Wangi yang segar membuat perutku berontak. Sudah cukup dengan memalukannya dia berbunyi didepan Dhaffin sekarang kurasa aku sudah tidak tahan lagi untuk menerjang sesuatu yang pria itu buat dibelakang sana. Lalu sesuatu yang berawal dari lirikan itu berubah menjadi satu pandangan. Pria lemah itu rupanya memiliki postur yang tegap, proporsional, bahunya juga lebar. Selain itu dia tinggi. Nilai plus jika dia bergabung dalam team dengan kondisi tubuh fit yang mumpuni. Aku sendiri baru menyadari adanya otot tangan yang terlihat jelas dari balik kaos belel urakan yang dia pakai pagi ini. Akan semakin bagus jika dilatih. Tapi berapa banyak porsi latihan yang dia butuhkan untuk mendapatkan otot sempurna serupa milik Keyva? Ah.. kenapa pula aku memikirkan soal itu. Pria pengecut sepertinya pasti tidak akan menaruh minat pada pekerjaan kami yang berbahaya. Lagipula dia memiliki keluarga tidak sepertiku yang tidak memiliki apa-apa selain tubuhku sendiri. Karena itu, meski aku mati tidak akan ada pihak yang akan menangisinya. Yang ada, aku akan dikenang sebagai seorang wanita yang gugur karena berjasa. Bukankah itu lebih baik? “Kau kenapa?” Dengan cepat kucengkram tangannya dari upaya nya menyentuh diriku. Dirinya yang entah sudah sejak kapan berada dihadapanku ini meringis. Dia berupaya meletakan piring sajinya dihadapanku. Aku yang semula menutup mataku sejenak kini balik menatapnya dengan tajam dan intens. “Apa yang kau lakukan?” kata-kata itu sukses membuat pria itu begidik. Dia mungkin ketakutan sekarang karena upaya yang berhasil aku gagalkan. Apa dia mulai menyepelekan diriku karena aku bertubuh perempuan? *** “Maaf kupikir ada sesuatu yang terjadi, aku cemas jadi tanpa sadar tanganku—“ kata-katanya terpotong begitu saja saat dengan tiba-tiba wanita itu bangkit dari tempat duduknya. Tenaganya yang kuat membuat Dhaffin terdorong kebelakang. Terjembab dilantai, tubuh kecilnya memenjarakan dirinya yang besar. Sesuatu yang begitu tiba-tiba tersebut tak dapat dengan mudah Dhaffin tangani. Karenanya pria itu hanya bisa menahan napas saat wajah Edna terlampau dekat dengan wajahnya. Dhaffin bisa merasakan adanya napas hangat yang menerpa wajahnya. Edna terlalu cepat, sikapnya yang seakan-akan berkuasa diatasku juga sedikit banyak membuatku tak bisa berkutik. “E-edna?” sadar Dhaffin telah membuat kesalahan terbesar karena bicara gagu didepan seorang wanita yang bukan siapa-siapa ini. Dia sepertinya harus banyak disadarkan kalau wanita ini hanyalah seorang pelindung bagi dirinya dari entah berantah yang berniat untuk menghabisinya. “Apa kau baru saja meremehkan aku karena aku seorang perempuan?” kata-katanya terdengar sengit dan tajam. Sarat dengan kebencian yang kentara menguar dari dirinya. Dhaffin meneguk ludahnya sendiri. Sepertinya dia salah berkata. “A-aku tidak bermaksud—“ “Kau menganggapku lemah?” “T-tidak.” “Dengar ada beberapa hal yang harus kamu pahami tentang aku. Dan itu berlaku selamanya. Paham?” Dhaffin menganggukan kepalanya dengan patuh seakan terhipnotis pada kata-kata Edna yang kentara sekali seperti tengah mengancamnya. “Jangan pernah meremehkan aku.” Ucapnya dengan sorot mata tajam. “Kedua jangan anggap aku perempuan. Dan ketiga kau harus mematuhi apa yang aku katakan. Tidak terkecuali. Sebab itu mutlak.” Tepat setelah dia mengatakan hal tersebut wanita itu beranjak dari tempatnya. Kembali ke posisi awalnya duduk di sofa dengan tenang seolah kejadian tadi tidak pernah ada. Tapi bagi Dhaffin dirinya shock bukan main. Jantungnya berdebar keras. Masih pula terjebak dalam sebuah pemandangan ketika wanita itu terlampau dekat dengan dirinya. Wajahnya yang terlihat kaku dengan alisnya yang menukik tajam saat Edna sedang marah maupun serius. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis namun plum yang bisa menarik sebuah senyuman yang tak pernah dia perlihatkan. Yang menarik adalah betapa kelamnya mata yang dia miliki, seolah dirinya begitu misterius dan sulit digapai. Bulu matanya yang panjang. Dia berkharisma dan sangat can— “Mau sampai kapan kau akan berbaring dilantai?” Dengan cepat Dhaffin perlu memalingkan wajahnya lagi dari lirikan yang terlihat tidak mengerti dari Edna. Jantungnya lagi-lagi berdebar tidak karuan saat wanita itu menatapnya dengan fokus. Hampir membuat Dhaffin merasa dadanya terasa sakit. Bodohnya dia yang baru saja berfantasi yang bukan-bukan pada Edna. Bagaimana bisa dia melamunkan orang yang sedingin ini dalam benaknya? Dan apalagi barusan? Hampir saja dirinya mengakui jika Edna dia can.. cantik? “A-ah.. maaf.”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD