Pelarian (2)

1016 Words
“Kenapa kita kembali kemari ?” tanya Dhafin bingung. Seraya menatap bangunan yang sedari tadi telah di mati-matian untuk dia usahakan kabur dari sana. Apartment yang dahulu menjadi tempat melepas lelahnya sekarang mungkin sudah tidak dapat dia katakan sebagai tempatnya beristirahat kembali. Edna menghela napas cukup panjang, sebelum melangkah dalam gedung. Sebelah tangannya yang tertaut denganku ditarik paksa hingga aku perlu mengernyit sakit. Dia sedikit tempramental dan tidak suka basa basi. Karena itu Dhafin akan memilih untuk tidak banyak berkomentar banyak apalagi saat Edna merogoh kedalam bajunya. Mengeluarkan sebuah pistol dan memegangnya dengan santai. Saat itu pula lah Dhafin harus banyak meneguk ludah, karena kalau saja dia salah bicara bisa saja wanita itu memilih untuk menodongkan benda berbahaya itu kedepan mukanya. Dan selamat tinggal dunia. “Kemasi barangmu. Kita harus bergerak cepat mulai dari sekarang.” Katanya singkat. Dhafin mematung seperti orang bodoh disisinya, wanita itu terlihat sangat keren sekarang. Kata-katanya yang tegas, jua bagaimana dia bisa begitu tenang meskipun sekarang situasinya bagi Dhafin begitu asing sekaligus mendebarkan jantungnya. Dhafin memperhatikan secara seksama bagaimana Edna yang terlihat sangat terbiasa dengan benda berbahaya itu di tangannya. Sangat santai, sedangkan Dhafin perlu mati-matian menahan dirinya untuk tidak terlihat menyedihkan disebelah wanita perkasa ini. “Kenapa kau diam saja, kubilang masuk dan kemasi barangmu !” ucapnya lagi, kali ini nada bicaranya lebih naik daripada yang sebelumnya. Terdengar bunyi gemertak saat dia mengisi ulang peluru kedalam pistol dalam genggamannya. Dhafin tahu, sejak dia berasumsi bila pistol itu hanya pistol mainan untuk mengancam adalah sebuah halusinasi. Karena nyataya wanita yang mengikatnya dengan borgol ini memegang senjata sungguhan. Ini bukan bayangan semata, bukan adegan film action yang sering ditontonnya melainkan sebuah kisah dari hidupnya yang mungkin akan mulai berubah dari titik ini. Dhafin mulai melangkah pelan, sedikit canggung karena dirinya sekarang terlihat sebagai tawanan yang tidak mampu memiliki kebebasan hakiki. Entah mengapa otaknya sudah tak bisa memproses segala informasi yang dia dapati dengan benar. Apa karena tekanan yang diterimanya ? ketika dia membuka pintu apartmentnya Dhafin terkejut setengah mati melihat beberapa mayat pria telah tergeletak dilantai rumahnya. Seketika tubuhnya bergetar. Ini mayat sungguhan dan mereka berada didalam tempat yang dia pikir adalah tempat paling aman diseluruh dunia. Tubuh mereka terbaring kaku, dengan mata yang masih terbuka lebar menatap Dhafin dalam diam. “Tutup matamu.” Perintahnya. Tapi Dhafin yang terlampau shock malah membatu dan merekam dengan jelas apa yang dilihatnya. Wanita itu dengan kasar lantas membuat Dhafin tertunduk dan menutup matanya dengan paksa. “Kubilang tutup matamu. Kau tuli ?” pemuda itu sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri. Edna menghela napas. “Jika kau sudah menutup matamu. Anggukan kepala.” Seperti anjing yang patuh Dhafin menganggukan kepalanya. Dari sini, Edna memimpin membuka pintu karena Dhafin tahu ada suara derit yang tak asing. Itu kamarnya. “Buka matamu. Dan kemasi barangmu sekarang!” perintahnya lagi. Dhafin hanya mematung. Tubuhnya masih bergetar. Tiba-tiba kedua tangan Edna menangkup pipinya menatapnya dengan intens. Membuatnya bisa sedikit merasakan adanya kehangatan. Walaupun rasa dingin yang menembus tulang masih Dhafin rasakan hingga kini. “Tarik napasmu dalam-dalam dan keluarkan lewat mulutmu.” Perintah tersebut tidak terlihat otoriter, dia lebih lembut sekarang. Nyaris seperti perempuan pada biasanya. “Lakukan beberapa kali.” Imbuhnya. Mata Dhafin memandang balik pada mata indah nan jernih milik Edna. Dibalik segala ketegangan yang ada, Dhafin melihat kearahnya dengan sedikit agak rapuh ? entahlah Dhafin tidak ingin banyak berasumsi kali ini. Dia bukan cenayang yang bisa menebak hati seseorang dengan mudah. Selama Dhafin menatapnya, pria itu melakukan apa yang Edna perintahkan padanya dengan patuh. “Mereka semua... apakah kau yang...” “Ya, aku membereskan mereka semua.” Potong Edna yang kembali membuat tubuh Dhafin menegang. “Apa sekarang kau takut padaku ?” “Aku..” “Wajar jika begitu. Dan responmu sekarang pun karena itu pertama kalinya bagimu melihat mayat. Sangat bisa dipahami.” Bisiknya. Tangan Edna lantai membelai puncak kepala Dhafin dengan lembut. Berulang kali, dan entah mengapa dengan perlakuan sederhananya itu membuat Dhafin bisa lebih tenang daripada sebelumnya. Perempuan ini benar-benar bukan tipikal orang yang bisa dengan mudah diduga perangainya. Dia seperti teka-teki. Dia bisa berubah sedikit melunak dan memberikan Dhafin sedikit kenyamana. Padahal beberapa saat lalu dia sangat tegas dan menakutkan. Perhatian kecil ini membuat Dhafin dibuai oleh sebuah halusinasi. Perempuan itu lantas membawa serta Dhafin yang masih termenung, Edna mungkin tahu jika Dhafin telah lebih dari cukup ditenangkan karenanya dia kembali berfokus untuk membereskan misinya dengan cepat. Wanita itu membuka lemari pakaian Dhafin. Menyiapkan sebuah ransel besar dan memasukan beberapa potongan pakaian secara acak kedalam ransel tersebut. Ketika Dhafin sadar apa yang sedang wanita itu pegang adalah barang pribadinya. Dhafin segera menyambar sepotong celana dalamnya dan menyuruh Edna untuk mundur. Dia lebih panik daripada saat dirinya melihat mayat. Wajahnya sudah dipenuhi semburat merah. “Ja—jangan sentuh pakaian dalamku !” agak panik Dhafin memasukannya dengan cepat kedalam ransel. “Aku tidak terarik dengan hal-hal seperti itu. Kita tidak sedang beberes untuk piknik. Jadi kalau kau bisa melakukannya sendiri sebaiknya cepat. Aku menunggu.” Lagi-lagi nada bicara Edna kembali seperti semula. Dingin dan ketus. Wanita itu bahkan berkaca pinggang dengan sebelah tangannya yang bebas seolah tidak merasakan apa-apa setelah menyentuh pakaian dalam Dhafin. Dan mengapa pula dalam kondisi seperti ini Dhafin satu-satunya orang yang tersipu. Dia yang berlebihan atau wanita itu yang tidak normal ? “Kenapa kita perlu berkemas ?” Dhafin telah selesai dengan seluruh barangnya. Anehnya tubunya bergerak sendiri mematuhi wanita itu tanpa perlawanan seolah dia sudah sangat amat mengenal Edna padahal pertemuan mereka cukup aneh, dan tidak wajar. “Akan kujelaskan nanti. Intinya aku disisimu adalah sebagai penjagamu,” jawabnya tenang dan lugas. “Kurasa itu cukup.” Tatapnya pada ransel yang seperti mau meledak karena isinya yang kelebihan muatan. Wanita itu lantas menyampirkan tas berat itu kepunggungnya membuat Dhafin menganga. Lalu menggerakan kepalanya sebagai isyarat untuk pergi. “Kita harus melewati pintu depan lagi.” Katanya. “Oy.. beban itu biar aku yang membawanya.” Dhafin merasa harga dirinya sebagai lelaki telah diinjak-injak oleh perempuan yang lebih pendek darinya ini. Tapi perempuan itu malah mengernyit bingung atas ujaran yang Dhafin lontarkan padanya seolah dirinya sedang membual dan itu adalah hal yang tidak masuk akal. “Ini lebih cepat. Aku tak yakin kau bisa membawanya. Lebih tepatnya kau akan mengulur waktu kita yang tak banyak.” Katanya lagi yang sukses membuat mulut Dhafin terkatup rapat. Wanita ini benar-benar monster. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD