Pelarian

1110 Words
Lari tanpa berpikir pada akhirnya hanya membuahkan debaran jantung yang tak terkendali. Terus saja berpacu dan berdentum mengisi segala hening dan napas yang tersenggal-senggal seiring langkah yang Dhafin lakukan. Oksigen jelas adalah kebutuhan pertamanya saat ini, dan hal tersebut tidak dapat dibantah. Dan jangan lupakan pula sebuah penjelasan. Hal tak kasat mata lain yang dia butuhkan saat ini. Tidakah ini sedikit gila ? berlari dengan alasan antah berantah dengan seorang perempuan gila yang bisa mengubah kepribadiannya dalam beberapa detik dan dia tak mau barang sedetikpun hilang dari pandangan Dhafin. Untuk lolos dari cengkramannya saja sudah cukup sulit. Lalu sekarang ditambah dengan orang tak dikenal yang ikut ambil bagian mengoyak ketenangan hidupnya. Dhafin memerlukan jawaban dan kejelasan pasti atas situasi yang menderanya kini. Dia butuh seseorang untuk memperjelas kondisinya saat ini. Sebab dia sadar dia sama sekali tidak memiliki kemampuan cukup dalam bidang bela diri. Apalagi mengalahkan seorang penjahat sekaligus penguntit dalam waktu yang bersamaan. Meski dia bisa saja menggunakan tendangan maupun tinju sembarangan untuk dipakai dalam keadaan darurat. Namun nekat bukan pilihan yang bisa dia pakai untuk saat ini. Selain karena dia wanita, dan Dhafin tidak mungkin memukul wanita. Tapi pria itu sadar jika batas kemampuan wanita itu cukup dominan meski fisiknya hanyalah seorang perempuan. Mereka tidak berada dalam sebuah perbandingan yang seimbang. Segala pretedensi, memutar otak, Dhafin jelas sangat tahu dirinya tidak lahir untuk menjadi seorang atlit karena fisiknya yang tidak mumpuni untuk itu. Oleh sebab itu yang bisa dia andalkan saat ini hanyalah kemampuan aksesnya yang pas pasan. Pemuda itu menghentikan langkahnya sejenak. Seraya bersender pada tembok rumah berwarna hitam pekat. Dia kini disibukan dengan mengatur nafas yang tersenggal dan bahkan menyentuh arti kata sesak sepenuhnya. Tenggorokannya laksana terbakar hebat. Kedua kakinya bahkan merasa keram. Dalam hidupnya baru kali ini Dhafin dipaksa untuk menggunakan seluruh kemampuan fisiknya demi menyelematkan hidup. Sejatinya dia tak pernah sekalipun bersusah payah menggunakan tubuhnya untuk bergerak. Dia lebih suka, santai. Kondisinya sekarang sangat kontadiktif dan jelas sangat tidak membuatnya nyaman. Setelah dirasa cukup, pada akhirnya Dhafin mulai menggunakan kepalanya lagi. Dia telah berlari hingga beberapa block menjauhi apartmentnya. Tempat yang sudah menampungnya, tempat yang sudah dia labeli sebagai home sweet home yang terpaksa harus dia tinggalkan untuk melarikan diri dari ancaman yang antah berantah. Kesal dengan keadaan pria itu mengumpat keras. Dia merutuki nasibnya yang harus bertemu dengan wanita abnormal yang mencegatnya dipinggir jalan. Mengapa hanya pertemuan singkat itu, si wanita dengan mudah memporakporandakan kehidupan damainnya yang dia cintai ? benar-benar berputar seratus delapan puluh derajat. Ini bukan simulasi, ini nyata. Jika tidak lari maka akan tertangkap. Dan itu berarti kamu pasrah dan riwayatmu akan tamat. Dhafin melirik kekiri dan kekanan, memperhatikan seluruh jalanan yang sialnya malah sepi. Sepertinya dia salah memilih jalan pelarian. Semakin dia berjalan, Dhafin malah menemukan seolah tiada tanda kehidupan. Tidak ada satupun orang yang lewat, suasanya juga hening dan mencekam. Bulu kuduknya berdiri seketika. Yang benar saja, ini siang bolong dan mengapa tak ada satupun manusia yang datang padanya ? bukankah ini pusat kota ? kenapa malah jadi terlihat seperti kota mati ? Dhafin kembali menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Disekanya peluh yang sudah membasahi kening dan lehernya. Sebagian bukan jenis keringat normal, lebih pada keringat dingin karena dirinya dibuat ketakutan beberapa saat yang lalu. Yang terpikirkan dalam kepalanya adalah berlari menuju tempat yang ramai terlebih dahulu. Menemui Polisi ? ataukah aku perlu menghubungi keluargaku ? diantara kedua pilihan itu Dhafin merasa akan lebih baik untuk melapor pada polisi. Itu pilihan terbaik dibanding harus menelpon keluarganya lebih terkhusus kakak perempuannya. Sang kakak mungkin sekarang sedang sibuk dibalik layar komputer miliknya. Mengurus aset perusahaan, atau bahkan melakukan rapat dengan para investor. Perempuan dingin itu lebih sibuk dengan dunianya sendiri sampai tak pernah sekalipun menelpon adik bungsu semata wayangnya ini paling tidak untuk menanyakan kabarnya. Dhafin tahu, mengharapkan bantuan dari kakaknya sekarang bukanlah pilihan bagus. Dan lagi mustahil bisa terwujud. Apa yang seorang kakak perempuannya dapat lakukan ? paling dia hanya berkata ‘urusi masalahmu sendiri’ lalu menutup telpon dari adiknya ini. Dia memang perempuan berhati dingin. Tanpa sadar dia telah berhasil melalui masa kritis, jalanan yang dia lalui mulai diisi oleh beberapa pejalan kaki. Setidaknya Dhafin bisa sedikit bernapas lega sekarang sebab jika terjadi sesuatu dia bisa berteriak meminta tolong. Meskipun jatuhnya dia jadi lebih terlihat sebagai seorang pecundang. Persetanlah. Namun baru pula bisa merasa bebas, tiba-tiba sesuatu menarik paska dirinya begitu saja hingga masuk kedalam sebuah gang sempit antara bangunan toko. Mulut Dhafin sendiri sudah dibekap entah sejak kapan. Kedua tangannya telah tertahan dibelakang tubuh. Sesuatu, ah.. tidak lebih tepatnya seseorang tersebut seperti seekor ular yang membelit tubuhnya begitu kuat hingga Dhafin kehabisan akal dan upaya untuk bergerak. Deru napas menggelitik dibagian belakang tubuhnya. Seseorang yang menyekapnya seperti berbadan lebih pendek dari dia. Tunggu pendek ? “Diamlah anjing liar. Aku sudah menyuruhmu untuk menunggu kenapa kau malah kabur dariku ?” suara dingin dan rendah itu, Dhafin mengenalnya. Matanya terbelalak. Bukankah itu suara perempuan gila yang menjerumuskannya dalam situasi tak terduga sekarang ? Ketika tahu lawannya hanyalah seorang wanita, Dhafin mulai berupaya melepaskan dirinya. Namun semakin meronta, bukannya kelonggaran yang dia dapati. Tapi genggaman yang lebih kuat hingga rasanya menyulitkan dia untuk bernapas. Sekeliling pinggangnya pun dililit kuat. Darimana perempuan kecil ini memiliki tenaga monster ? Bahkan atas segala ronta dan upaya pembebasan diri. Perempuan itu malah semakin menarik Dhafin kedalam gang sempit. Membuat Dhafin bahkan kehilangan cahaya matahari untuk bisa melihat dalam kegelapan. Bau pengap, serta busuknya sampah menjadi hal yang dia dapati setelahnya ketika mereka semakin masuk kedalam. Dia merasakan mual yang benar-benar memuakan, ini seperti kegelapan sedang benar-benar menelannya. Beserta dengan t***k bengek keburukannya. “Apa aku perlu membiusmu agar bisa ikut padaku dengan tenang ?” ujarannya terdengar dingin dan tegas. Wanita itu tidak main-main sekarang. Dia seperti sedang menjelma menjadi sosok lain. Pada akhirnya Dhafin menyerahkan dirinya sepenuhnya. Tak ada lagi ronta dan juga jerit tertahan yang lebih pada gumaman kosong tanpa makna. Ketika mendapati tak ada lagi perlawanan Edna melepaskan tangannya di mulutku. Membiarkanku bisa bernapas dengan bebas. “Tangan yang satunya ?” Dhafin menunjuk pada tangan yang melingkar erat dipinggangnya yang tidak menunjukan adanya sedikitpun niatan untuk melonggar. Edna lantas menghela napas kemudian mengeluarkan sebuah borgol yang entah darimana berasalnya. Dia memasangkannya di tangan kanan Dhafin lalu yang satunya dia letakan ditangan kirinya. “KAU GILA ?!!!” Dhafin memperotes kebebasan hakiki yang dimilikinya. Bukankah ini sama saja dengan memenjarakannya ? mendapat teriakan darinya perempuan itu tidak bereaksi sama sekali. Dia malah dengan cuek merogoh sesuatu dari dalam sakunya. Meletakannya ditelinga dan menghubungi seseorang. “Kau menculikku ? untuk apa ini ? aku bukan orang yang cukup berguna untuk kau gunakan sebagai tawanan. Tidak akan ada yang mau menebusku !” “Diamlah b*****h! Sudah cukup dengan kau yang menyusahkanku. Sekarang kau ikut aku. Tidak ada penolakan.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD