Aku dan si Perempuan Gila

3167 Words
"Aku menginginkanmu." Perempuan itu berkata tanpa ekspresi didepan seorang pria yang menjadi target misinya kali ini. Menurut apa yang sudah dia pelajari orang yang mendapatkan serangan psikologi berupa ungkapan perasaan yang tulus akan menyebabkan jantung yang berdetak cepat, mereka juga akan merasakan sebuah perasaan gelisah, gugup, canggung serta wajah yang memerah. Itu reaksi umumnya. Dia bahkan sudah melatih dirinya sendiri dengan si gondrong, dan reaksi yang diterima sangat cocok dengan apa yang dia baca dari buku. Seharusnya ini pun bekerja pada sang target sekarang. Sebab dirinya sudah melakukan sesuai dengan petunjuk.  Tapi mengapa pada pria ini tidak?  Sayang sekali padahal situasi dimana bunga sakura berguguran katanya pun akan menambah efek dari pernyataan cinta. Apa ada kesalahan fatal yang diperbuatnya ? menurut Davira, gurunya yang telah mengajarkan perkataan ini efek damage nya akan terasa jika dirinya yang melakukannya. Tapi sebaliknya, yang dia kini dapati adalah sebuah ekspresi yang orang bilang kesal dan muak. Apa ada yang terlewatkan ? Apa pria ini gay atau semacamnya hingga tak terpesona sedikitpun pada kharisma yang sudah dia keluarkan beberapa saat yang lalu. "Kenapa ?" katanya dengan wajah yang datar. Menyulitkan si cantik mengobservasi apa yang pria itu rasakan. Tapi hal seperti ini sudah rutinitas, bukan Luxor (code name) jika tak dapat menjalankan tugas dengan baik. Jika tidak ada tantangan dilapangan itu mustahil. Karena itulah Luxor lantas memutar otak untuk bisa membalikan keadaan dengan kata-katanya. Syukur-syukur pria itu terpesona dan bisa dia bawa tanpa perlu menggunakan pemaksaan.  "Apa menginginkan sesuatu perlu alasan ?" katanya sembari tersenyum pada pria itu. “Seperti kau yang menginginkan mobil, rumah, atau benda berharga bukankah itu karena alasan ‘ingin’ tidak ada yang lain. Aku benar ?” lanjutnya. "Kau hanya mempermainkanku." Desisnya. Luxor menghela napas cukup panjang. Sepertinya ini jadi lebih sulit daripada apa yang dia telah prediksi. Diperlukan argumentasi yang bertele-tele untuk membuat pria itu mau bersamanya. Kenapa realitanya tidak semudah ketika dia bermain peran dengan si gondrong ? oh iya dia lupa jika rekan sejawatnya itu telah jomblo menahun. "Apa kau tidak bisa melihat dengan seksama keseriusan yang ada dimataku ?" Luxor balik bertanya. Matanya yang bulat dan besar menatap penuh arti terhadap pria di hadapannya. Sehingga pria itu perlu mundur kebelakang sembari menutup sebagian wajahnya dengan tangan. Telinga pria itu memerah. Sepertinya sekarang dia sedikit bisa dibilang berhasil.  "Serius apanya ?" dia menggumam. Lalu mengubah posisinya menjadi berbalik dan meninggalkan si cantik Luxor secepat mungkin. Tapi pergerakan itu bisa dibaca dengan mudah oleh Luxor, dia menarik tangan si pria dengan kuat mencengkramnya hingga pria itu agak meringis. Sebetulnya dia hanya ingin menghentikan pria itu saja bukan menyakitinya. Tapi ketika upayanya berhasil. Pria itu menatapnya lagi, tapi kali ini dengan sedikit amarah. "Lepaskan !" pria itu terus berontak, namun bukan Luxor namanya jika dia mau dengan sukarela melepaskan buruannya. "Aku belum menerima apa yang aku mau" cecarnya lagi, dan yang dia terima sekarang adalah sebuah respon penolakan. Sekali lagi Luxor telah salah mengambil tindakan. Misi kali ini lebih sulit daripada membidik buruan dengan sniper dari jarak puluhan kilometer. "Perempuan gila !" "Darimana kau tahu aku gila ? apa kau psikiater ?" Tanyanya dingin. Tapi pria itu justru tambah berapi-api. Runtuh sudah kesabarannya. "Hah ? kau itu orang yang tidak normal. Meracau tak jelas, menghentikan orang yang tak kau kenal dan bilang menginginkannya. Apa itu tidak gila namanya ?" "Bukannya yang meracau itu kau ?" "A-apa ? lalu kau sendiri tidak mengenalku !" Dia mendesah kesal kemudian menghentakan dengan kasar tangan yang menggenggamnya barusan hingga terlepas. "Dhafin." Pria itu melotot dengan kaget, tak menyangka jika Luxor akan menyebut namanya dengan benar. Dia bukan selebritis maupun orang kaya. Sangat mustahil orang biasa sepertinya dikenali dengan mudah oleh orang asing. "Ba..bagaimana kau tahu namaku?" Sebaliknya Luxor sama sekali tidak terlihat terusik, malah semakin berubah santai. "Tentu aku akan mempelajari mangsaku sebelum memutuskan untuk berburu." "A-apa maksudmu ?" "Dhafin, kau itu mangsaku dan aku menginginkanmu." ucapnya sambil memberinya sebuah seringai. Dhafin hanya bisa meneguk ludahnya susah payah. Demi Tuhan hidupnya mengapa begitu menyulitkan padahal dia hanya ingin bisa terbebas saja. Mengapa tiba-tiba dia dipertemukan dengan wanita asing yang aneh dijalan pulang kerumah seperti ini ? *** "Dhafin !" panggil Luxor yang kembali ditinggalkan oleh Dhafin. Kali ini pria itu tidak hanya meninggalkannya dengan berlari. Bagi Luxor mudah sekali membaca pergerakan pria itu, dia dapat dengan mudah mengejarnya tanpa harus kepayahan. Meskipun penampilannya sekarang tidak menunjang untuk itu. Atasannya yaitu Davira memintanya untuk berdandan seperti gadis gadis pada umumnya. Karena itulah dia berpenampilan cukup manis untuk mendapatkan Dhafin. Meski umumnya bagi Davira lebih terlihat seperti sosok wanita beraura ghotik dimata Dhafin. Tapi Davira tidak bisa berkomentar karena biarpun nyentrik Luxor terlihat luar biasa dengan penampilan seperti itu. Pria itu juga masih memegang teguh pendiriannya untuk tidak melirik ke belakang dan tetap melangkahkan kakinya untuk pulang yang tentu saja melewati rute yang berbeda. Dia masih mendengar suara sepatu high heels dibelakangnya itu berarti wanita keras kepala itu sama sekali tidak menyerah padanya. Dia terlalu bersikeras mengikuti, kemanapun langkahnya pergi. Bahkan, setelah berusaha dikecoh berkali-kali pun dia tetap membuntuti. "Bisa kita hentikan main kejar kejaran ini ?" teriaknya tanpa menoleh. Serius dadanya mulai sesak sekarang. "Aku hanya mengantarmu." Dafhin mendengar wanita itu menjawab, gila padahal dia sudah seperti orang yang kehabisan oksigen karena berlari tanpa henti. Tapi wanita itu bisa menjawabnya dengan suara yang stabil ? Apa dia monster ? Dan perlukah dia mengantarku? Memangnya…dia itu siapa?!  Dhafin menggerutu dalam hatinya. "Kau bukan bodyguardku sekarang lebih baik kau pergi saja." "Biar begitu aku tetap akan mengantarmu!" Suaranya semakin terdengar dekat. Gilanya hanya dalam beberapa detik, dia sudah berhasil berjalan berdampingan dengan Dhafin. "Karena sudah kubilang kau itu buruanku." Dhafin menghentikan langkahnya dengan paksa. Kelihatan sekali jika pria ini sudah kelelahan. "Berhenti mengatakan sesuatu yang konyol !" Bahkan Dhafin saja sejak awal sama sekali tidak menghiraukan perkataan tak masuk akal dari wanita itu. Wanita itu terdiam kembali menyunggingkan sebuah senyuman yang jujur saja biar sedap dipandang tapi terasa memuakan. Dhafin berusaha menunggunya dengan sabar. "Itu tidak konyol. Itu kenyataan." Dhafin menggerutu kesal sebagai pelampiasan dan kembali menghentakkan kakinya untuk berlari meninggalkan Luxor yang masih mengikutinya dengan santai dibelakang.  "Kubilang jangan mengikutiku!" Teriak Dhafin yang tentu saja tidak didengar Luxor sama sekali. Kali ini wanita itu terdiam, membuat Dhafin mau tak mau dibuat bertanya-tanya, mungkinkah wanita itu sudah menyerah untuk mengikutinya ? Secara tiba-tiba entah bagaimana dia melakukannya wanita muncul tepat di sebelah Dhafin yang langsung saja mematahkan anggapannya barusan. Langkah wanita itu sama sekali tidak terdengar mengikuti apalagi mendekat. Sikap tubuhnya berubah serius dan siaga, memaksa Dhafin untuk dibuat bergidik ngeri. Tatapannya menatap Dhafin secara lembut tapi terkesan misterius. Dia sama sekali tidak tersenyum seperti tadi, namun kharisma yang menguar darinya. Matanya yang dingin, membuat Dhafin meyakini jika wanita itu bukan orang jahat. Meski begitu yang mengganjal padanya adalah atas dasar apa dia yang tak dikenal ingin mendekatinya begitu saja? Tanpa persiapan? "Kau benar-benar sinting," ucap Dhafin memecah keheningan yang tercipta diantara mereka. Dafhin melirik jalanan yang telah diaspal, memperhatikan bayangan dirinya sendiri yang terpantul hitam. Angin musim gugur berhembus dingin. Detak jarum jam yang berstagnasi membuat dunia seolah berhenti, menciptakan kenangan bagi mereka berdua seperti adegan romansa. Kali ini Dhafin secara penuh memperhatikan wajah wanita itu. Hidungnya mancung, matanya bulat dan besar, bibirnya mungil namun penuh. Benar-benar cantik. Untuk apa orang cantik sepertinya menginginkan orang terbuang seperti Dhafin ? "Tidak," balasnya terdengar lebih lembut tapi mampu menyentak Dhafin dari lamunannya. Pria itu terkejut begitu mendengarnya. Ternyata, dia bisa juga berubah lebih baik dan tidak terlihat menyeramkan. Tidak seperti seorang psikopat wanita yang ingin membunuh pria pria asing.  "Apa yang membuatmu tertarik padaku?"  Dhafin ingin sekali merobek mulutnya sekarang juga karena mengatakan hal tidak masuk akal itu sebagai cara menghiraukan kecanggungan yang siap menelannya hidup-hidup. Padahal beberapa saat yang lalu dia telah mengujarkan hal yang sama meski dengan frasa yang berbeda. Wanita itu kembali terdiam, terlihat sedang berpikir. Matanya kembali menatap Dhafin dengan penuh, seperti sedang meneliti. Dan ini membuat pemuda itu jadi canggung sendiri, sungguh tidak enak untuk ditatap dengan tatapan seperti itu. Tatapan menilai yang hanya melihat dari segi fisik. "Karena kau tampan" balasnya santai kemudian mengulurkan tangannya meraih rambutku. Oke…ini sudah keterlaluan!  "Kau mengejekku perempuan ?!" Dhafin lantas menepis tangan wanita itu dengan kasar. Sedangkan wanita itu malah tersenyum manis. "Edna." Dia tersenyum puas ketika menyuarakan kata itu. Kata yang seperti sebuah nama. "Apa ?!" "Supaya kau punya cara menyebutku selain kau dan perempuan." balasnya cuek, membuat Dhafin entah kenapa dibuat jadi benar-benar marah. "Aku tidak tanya namamu. Lagipula alasanmu tidak bisa kuterima. Dasar penguntit aneh!" "Aku mencintaimu." Baiklah…terserah padamu!  Karena tidak bisa lagi memendam amarahnya. Dhafin berbalik dan segera mengambil seribu langkah meninggalkannya. Dipaculah kakinya lebih cepat berjalan daripada yang sebelumnya, menghiraukan perempuan bernama Edna yang hingga detik ini masih mengikutinya. Dhafin tidak punya urusan dengan wanita itu dan tidak mau terlibat lebih jauh lagi. Dia adalah tipe orang yang tidak bisa dijadikan teman, bahkan kekasih sekalipun! Ini seperti mimpi buruk baginya. Dia berharap agar bisa cepat terbangun dan kembali ke dalam dunianya sendiri. Dimana tidak ada orang bodoh seperti dirinya yang terus menerus mengusik seperti lebah berdengung. Meskipun wanita itu terlihat kalem. Begitu melihat bangunan yang dikenal menjulang tinggi di depan sana. Buru-buru dia berlari dan masuk kedalam. Dhafin berpikir jika dia berhasil menipu Edna dengan caranya. Sebab suasana apartemennya lebih sepi daripada hari-hari sebelumnya. Ketika dirinya tiba, Dhafin langsung berbaring telungkup diruang tengah. Membuang seluruh nafasnya yang masih tersenggal akibat ulahnya berlari-lari berusaha mengecoh Edna. "Larimu lumayan cepat!" suara Edna yang tiba-tiba muncul, membuat Dhafin tersentak kaget.  "Ka..kau!" kata Dhafin seraya menunjuk kearah Edna dengan kesal sambil memelototinya tajam. Edna sama sekali tidak terkejut melihat adanya kemarahan besar yang tersimpan diwajah Dafhin. Bahkan, reaksinya terkesan biasa saja. Nafasnya juga terlihat stabil, tidak terlihat habis berlari kemari. Dan yang lebih anehnya lagi dia bisa masuk apartementnya lebih dulu dari dirinya. "Apartment yang kotor" katanya, berusaha mengambil topik pembicaraan yang sama sekali tidak Dhafin hiraukan. "Kau tidak berhak berkomentar apapun." "Aku tahu itu," jawabnya santai, sambil mendekat dan mengarahkan sebotol air dingin kearah Dhafin. Dengan terpaksa Dhafin menoleh ke arahnya, Banyak hal yang terpikirkan untuk melakukan apapun agar dia bisa segera mengusirnya dari sini. Tapi hal pertama yang justru dia lakukan adalah mengambil botol yang diarahkan padanya dengan kesal. Harapan awal untuk mengusirnya sirna ketika Edna terlihat terkesiap akan sesuatu. Suasana aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri, ditambah Edna yang merubah sikapnya menjadi lebih serius. "E-edna ?" panggil Dhafin ragu, berusaha mengartikan raut wajahnya yang menegang. Tiba-tiba dia mendorong Dhafin masuk ke dalam lemari tempat dia biasanya menyimpan banyak barang, diikuti pula oleh wanita itu yang langsung menutup pintu sehening mungkin nyaris tanpa suara. Dhafin berniat memprotes kelakuan aneh Edna, namun tangan Edna secara spontan bergerak menutup mulut Dhafin rapat-rapat. Sekarang Dhafin mulai panik, melihatnya menarik diri untuk masuk bersamanya. Berdua didalam lemari kondisi gelap ? itu bukan pilihan bagus. Sebisa mungkin Dhafin memberontak untuk segera lepas darinya. Mungkin saja perempuan ini berniat jahat? Pencuri? Penculik? pembunuh ? Ataukah dia…orang m***m?! "Berhentilah memberontak," bisikknya sinis dan menekan Dhafin hingga pemuda itu bersandar pada ujung lemari. Aku berusaha untuk menggerakkan kakinya yang bebas, menendang kaki atau apapun bagian tubuhnya. Yang penting Dhafin harus bisa lepas dari tangan dan cengkramannya. Tapi hebatnya, Edna bisa membaca gerakannya yang kacau dan mengatasinya. Dia mengunci seluruh gerakan Dhafin. Wajah Edna mendekat ke arah wajahnya. Menatap mungkin dengan tajam seraya mengancam. Sebelah tangannya tidak berdaya mencengkram tangan Edna yang menutup mulutnya dan sebelah lagi terkepal erat di sisi tubuhnya. Perempuan ini kuat sekaligus brutal. Baru kali ini Dhafin dibuat benar-benar takut dan panik.   "Tenanglah Dhafin…kau tidak boleh terlihat lemah di depannya! Dia hanya seorang perempuan. Dia pikir dirinya telah menang dan berhasil menjatuhkanmu! Tenanglah..berpikir..berpikir…."  Suara hatinya meliar. Ditambah gebrakan pintu diluar sana membuatnya tersentak kaget. Sesuatu menghantam begitu keras, seperti suara orang yang berusaha untuk mendobrak pintu masuk apartmentnya. Apa itu polisi atau orang yang berniat menolong ? Tapi jika dipikirkan kembali bukankah jika ketahuan nanti justru dirinya yang akan jadi kambing hitam ? "Bisakah kau berjanji untuk tidak berteriak, begitu kulepaskan tanganku?" tanyanya terlihat ragu. Dhafin mengangguk mengikuti kata-kata Edna sekarang, membuat wanita itu percaya kepadanya dulu. Perlahan dia menjauhkan tangannya dari mulut Dhafin. Memperhatikan reaksi nya yang masih terdiam. Sebelum dia sempat menghela nafas, diraihnyalah rambut wanita itu seraya berusaha menjambaknya kuat-kuat, sementara kaki Dhafin bergerak liar untuk keluar dari lemari dan membukanya. "Penghianat" Edna berusaha kembali menjatuhkan Dhafin. Mendorongnya hingga dia dan Edna berada diluar lemari. Dikamar. Tangannya mencengkram pundak juga kakinya mengkait kaki belakang Dhafin. Pria itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai. Dhafin memejamkan matanya seraya menunggu rasa sakit yang seharusnya menjalar cepat di kepala. Tapi, anehnya sama sekali tidak terasa sakit. Kepalanya membentur sesuatu yang tidak sekeras lantai, malah terasa lebih lembut. Perlahan dibukalah kedua matanya, mendapati tubuh Edna yang hampir menindih tubuhnya. Tangan wanita itu terulur ke belakang kepalanya. menahannya untuk tidak terbentur. Benarkah? posisi ini agak sedikit tidak nyaman buat Dhafin. "Nyaris saja," ucap Edna, terlihat lega. Tangannya kembali membekap mulut Dhafin. Tubuh pria itu memberontak tidak berdaya, ditindihnya dengan tubuh kecilnya, Membuat Dhafin sedikit mengernyit ngeri. Kini, kedua tangan Dhafin telah terkunci di depan tubuhnya, sekaligus telah ditindih oleh Edna. Sama sekali tidak bisa digerakan. Dhafin benar-benar dibuat terkesima sekaligus takut. Wanita ini terlalu hebat. Darimana dia belajar bela diri ? "Kulakukan ini agar kau diam!" desisnya. Tapi Dhafin terus saja meronta hingga pada akhirnya Edna mengeluarkan emosinya. "KAU MAU MATI ?!" teriaknya, membuat Dhafin terdiam kaget. Separuhya karena telinganya ikut berdengung hebat. Edna kembali menghela nafas raut wajahnya kembali terlihat lebih serius seolah emosinya ikut menghilang entah kemana. Matanya menatap Dhafin dengan tajam. "Aku tidak akan mengatakannya dua kali. Beberapa orang sedang mengincarmu. Dan aku kemari untuk melindungimu jadi sebaiknya berhenti bertingkah dan kau dengar kata-kataku." Maksud ? "Bersembunyilah disini. Sementara aku membereskan orang-orang di luar sana, tidak akan lama. Hitung sampai dua puluh lima detik" Be..berhitung?! "Bila sampai dua puluh lima detik aku tidak kembali lagi kemari, kau harus kabur melalui jendela kamarmu. Gunakan instingmu dan lari oke ?" Sebelum Dhafin bertanya lebih jauh, Edna segera melepaskan tangannya memposisikan dirinya untuk berdiri. Dengan cepat dan pasti, Edna melangkah keluar kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Meninggalkan Dhafin begitu saja dalam keadaan bingung. Nafasnya mulai tidak stabil, sebagian karena tegang dan sebagian lagi karena kelelahan. Tangan wanita itu benar-benar membuatnya lelah dan kesulitan bernafas. Ditambah wajahnya yang begitu dekat dengan wajah miliknya. Tubuhnya yang hampir menindih sepenuhnya, membuat Dhafin bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Begini begini dia juga pria mengapa dia sangat cuek untuk urusan satu itu. Tunggu dulu…tidak boleh ada pikiran kotor disini. Dhafin anak baik jangan terlalu jauh sampai ke sana!  baginya wanita itu tetap orang jahat dan mencurigakan! Dhafin tidak boleh terpengaruh hanya karena perlakuan baik yang wanita itu lakukan padanya. Bisa saja dia sendiri yang menyusun skenario sebagus ini untuk membuatnya jatuh cinta. Bukankah ketika adrenalin dipacu, kau akan jatuh cinta pada orang didekatmu ? Segera tanpa perlu berhitung Dhafin bergegas menuju jendela kamar, sesuai petunjuk Edna lalu membukanya perlahan dan berjalan ke arah balkon. Diliriknya arah kiri dan kanan. berusaha berpikir untuk memilih balkon siapa yang harus dilewati. Tiba-tiba Dhafin teringat dengan salah satu tetangga cerobohnya. Ada bagusnya pula dia sering meninggalkan pintu apartemennya tidak terkunci dan hampir membuat rumahnya dimasuki perampok. Semoga saja kali ini dia melakukan hal yang sama. Semoga saja pintunya tidak terkunci seperti sebelum sebelumnya.  Dhafin menaiki balkon kamarnya dan mengambil ancang-ancang untuk melompat ke seberang. Tiba Balkon pertama dia merasa sudah seperti tokoh spy dan entah mengapa dia merasa bangga oleh pencapaiannya yang tidak seberapa. Bukan hal yang sulit, mengingat jaraknya tidak terlalu lebar. Lagipula tugasnya hanya perlu melewati dua balkon tanpa adegan terjatuh ataupun terpeleset. Begitu sampai di balkon yang kedua, Dhafin segera menggeser jendela kamar dan berlari menuju pintu keluar. Jantungnya berdetak cepat tak karuan sebab kepanikan. Ayolah tidak terkunci… jangan sampai terkunci… Diputarnya kenop pintu dan harapannya terkabul. Pintunya tidak dikunci. Hari ini adalah hari keberuntungan Dhafin. Tanpa menoleh ke belakang, Dhafin berlari menuruni anak tangga tidak secara normal melainkan setengah melompatinya antara dua sampai empat anak tangga sekaligus. Pikirannya sudah blank yang ada dalam otaknya hanyalah perlu berlari! Kabur sejauh mungkin. Melarikan diri dari si wanita berbahaya. Monster cantik yang beberapa saat lalu membuat hatinya berdebar. *** Edna melangkah perlahan menuju pintu depan yang masih terus berusaha didobrak. Sebagai agen terlatih dia sama sekali tidak melakukan gerakan sia-sia tidak ada kesembronoan sedikitpun saat dia mengambil langkah, Upanya untuk meredam suara sepatu high heels yang dikenakannya mungkin bisa menyebabkan suara decitan. Matanya melirik dan meneliti ruangan sederhana di sekitarnya, ruangan kecil yang sama seperti apartment murahan lainnya. Akan sangat tidak menguntungkan bila musuhnya membawa senjata. Apalagi kalau pistol. Itu akan membuat dirinya benar-benar terpojok. Edna mengambil langkah cepat, bersembunyi di balik tembok, di dekat pintu keluar. Posisi yang mempermudahnya untuk bisa menyergap musuhn dari sana diam-diam. Semoga saja kali ini musuhnya tidak dalam jumlah banyak. Dua pun sepertinya akan membuatnya sedikit kerepotan. Suara pintu didobrak keras membuat Edna kembali harus menahan nafas, Menetralkan debaran jantung yang agak meliar untuk beberapa saat. Langkah kaki terdengar, secara pasti Edna menyimpulkan ada tiga orang mulai memasuki ruang utama. Sial dua saja sudah merepotkan apalagi tiga. Edna lantas memasang posisi siaga, mengambil kuda-kuda sebelum musuhnya lewat di depannya. Begitu dia melihat orang pertama lewat, Edna bereaksi cepat dengan langsung menyerangnya dari tempat persembunyiannya. Menariknya masuk lalu cepat dia mengincar lehernya, mencekik dan memelintir. Clean up. Orang kedua yang sadar kawannya menghilang agak panik, dia menodongkan pistolnya kesemua arah. Namun upayanya gagal karena Edna sudah lebih dulu menyerangnya dengan melempar pisau dapur hingga menancap dileher pria itu. Yang kedua K.O. Orang ketiga didapatinya pun sedang membawa pistol di tangan kanannya. Sadar kawannya telah tumbang dia mulai mengarahkan pistol ke arah Edna yang keluar dari tempat persembunyiannya, Pistol itu mengarah tepat ke wajahnya. Namun, karena jaraknya yang terlalu dekat, dengan sangat mudah Edna mencengkram tangan si lawannya itu hingga kemudian memelintirnya. Pistol itu terjatuh ke lantai. Edna lantas mengambil tindakan untuk memukul lawannya tepat di daerah vitalnya. s**********n. Kemudian menendangnya dengan keras. Begitu lawannya limbung, Edna lantas memberinya serangan telak dengan tendangan yang mengenai pelipis. Situasi yang tidak menguntungkan bagi si korban. Dia tidak bisa memberontak dan dalam keadaan bagian bawah tubuhnya yang sakit, ditambah tendangan keras dikepalanya membuat dia ikut tumbang bersama kedua rekannya. Dengan ini Edna berhasil menumbangkan tiga lawannya dengan mudah, tanpa terluka. "Mission complete," gumam Edna sambil berusaha mengatur nafas lelahnya. Tiba-tiba dia kembali teringat dengan keberadaan Dhafin. Pria keras kepala dan pemarah yang hampir membuatnya mundur dari tugasnya. Tugas melindungi seorang pria ? bukankah itu hal yang terbalik untuk posisinya ? Ditambah lagi itu bukanlah hal yang dia inginkan. Semuanya gara-gara Davira.  Edna lantas langsung membuka pintu kamar Dhafin, seperti yang sudah dia duga Edna mendapati kamar yang sudah kosong melompong dengan kondisi jendela yang sudah terbuka lebar. Dia kabur. Tanpa perlindungan darinya.  "Sialan! Dasar t***l !" Edna segera berlari ke pintu keluar, melewati tiga orang yang sudah tidak bernyawa didalam sana begitu saja. Yang dia pedulikan justru adalah mengambil pistol yang tergeletak di lantai dan menggenggamnya erat. Yang harus dia lakukan sekarang adalah mengejar Dhafin dan mendapatkannya kembali. Apapun caranya. "Laki-laki yang menyusahkan !"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD