Bab 1 - Ditinggal Lagi

1161 Words
Meski sudah tiga bulan berlalu sejak kepergian Arsya mengejar studinya di Jogja, namun tanpa kehadiran Arsya di sisinya masih terasa asing bagi Anjani. Sang suami yang biasa nya 24jam selalu berada di sampingnya kini menghilang sampai waktu yang tak ditentukan. Anjani mengusap perutnya yang mulai menonjol, kehadiran jabang bayinya seolah menggantikan sosok Arsya yang selalu menemaninya kemana pun. Mata Anjani menatap layar leptop nya lesuh, sudah dua hari dirinya bergadang merevisi draft skripsi. Anjani tidak boleh lengah, ia harus cepat menyelesaikan skripsinya, dengan begitu Arsya akan kembali berada di sampingnya lagi. “Sabar ya, Nak. Bunda janji sebentar lagi kita akan bersama Ayah setiap hari, nggak perlu nunggu tanggal merah dan hari libur lagi.” Kata Anjani sambil mengusap perutnya yang mulai membucit. Senyum Anjani terbentang, berinteraksi dengan jabang bayinya membuat semangatnya muncul lagi. Dengan cepat jari-jari nya menari di atas keyboard leptop dengan telaten. “Yaampun, kak, kamu belum tidur?!” Anjani tertegun kecil, seketika Anjani cemas saat melihat Gerry –Papahnya, bersandar di ambang pintu kamarnya. Anjani nyengir, menatap Gerry yang mengenakan setelan piyama kotak-kotak coklat takut. “Mau Papah laporin ke suami kamu?” Ancam Gerry sembari berjalan menghampiri anak bungsunya. “Jangan, Pah!” sentak Anjani refleks. Bisa kena omel tujuh hari tujuh malam kalau Arsya tau jam tiga subuh dirinya masih merevisi skripsi. “Kamu itu lagi hamil Kak, kasian anak kamu yang di dalam perut itu nggak ada istirahat nya diajak kerja terus sama kamu.” Ujar Gerry, tangannya langsung bergerak mengambil leptop Anjani tanpa izin. “Pah.... Jangan diambil dong, nanti aku revisi skripsi nya gimana???” rengek Anjani menatap Gerry memohon. “Kamu boleh ambil leptop nya kalau mau bimbingan aja, revisi skripsi sampai jam sembilan malam, habis itu balikin lagi ke Papah. Sekarang kamu tidur, kalo nggak beneran Papah laporin kamu ke Arsya,” Kata Gerry lalu mematikan lampu kamar Anjani dan melangkah keluar. Semenjak kembali tinggal bersama Gerry dan Mami tirinya Anjani jadi tidak sebebas waktu ngekost dulu yang bisa bergadang dari pagi ke pagi. Belum lagi Arsya sudah merekrut Gerry sebagai mata-matanya. Kesalahan apapun yang Anjani lakukan pasti akan ketahuan oleh Arsya, siapa lagi yang mengadu kalau bukan Papahnya? *** Senin sampai jumat kerja, jumat malam dan sabtu kuliah. Diumur 24 tahun Arsya harus bekerja keras seperti itu. Tapi tidak masalah, Arsya tau kalau hasilnya nanti akan setimpal dengan apa yang sedang ia perjuangkan sekarang. Meskipun tubuh Arsya diforsir habis untuk terus bergerak, tapi Arsya tidak pernah merasa lelah. “Semangat kerjanya hari ini, Semoga segala sesuatu yang mas kerjakan lancar dan hasilnya memuaskan! Sih kecil titip salam, katanya, I love you Ayah” Pesan yang Anjani kirim setiap pagi selalu menjadi semangat untuknya memulai hari. Sejauh ini hubungan jarak jauh bukan hambatan untuk sepasang suami istri itu. Pertengkaran pun masih belum bisa menembus benteng rumah tangga yang Arsya kepalai. “Mas Arsya udah mau berangkat ya?” Meski seringkali mencoba untuk masuk. Arsya tersenyum kecil mendengar pertanyaan yang anak pemilik kostnya lontarkan. “Iya nih, mau cari nafkah buat anak istri saya.” Jawab Arsya sambil melempar senyum secerah mentari pagi ini. Nisya, anak perempuan Ibu kost yang baru lulus SMA tahun kemarin itu tersenyum canggung, ketara sekali kalau ia baru saja tertohok dengan jawaban yang Arsya berikan. “Oh gitu, Hati-hati ya mas.” Ujar Nisya yang juga sedang bersiap berangkat kuliah. “Iya Nis, kamu juga hati-hati.” Ujar Arsya membuat Nisya salah tingkah di depan sana. Setelah mengunci pintu kamar kostnya, Arsya segera memakai helm dan jaket yang sudah ia siapkan di atas meja terasnya. “Eh, nak Arsya sudah mau berangkat ya?” Tanya Tuti –ibu pemilik kost—yang baru keluar dari rumahnya. Kebetulan kamar kost Arsya terletak di deretan paling pojok dan bersampingan dengan rumah pemilik kost tersebut, Budhe Tuti. Sehun memakai helmnya, “Iya Budhe,” jawabnya. Tuti melirik ke arah anaknya yang sedang mengikat tali sepatu di sampingnya, “Kalau gitu Budhe nitip Nisya ya nak Arsya? Boleh kan Nisya nebeng, kampus sama kantor nak Arsya kan searah,” Nisya langsung membulatkan matanya ke arah sang Ibu, “Bu aku kan dianter mas Hendra.” Bisik Nisya yang langsung di sikut keras oleh Tuti. “Boleh ya nak Arsya?” tanya Tuti sekali lagi. Arsya senyum sekilas, “Boleh kok, Budhe. Tapi bukannya Nisya diantar Hendra dhe, memang Hendra kemana?” tanya Arsya ramah. Di lingkungannya Tuti terkenal sebagai orang tua yang sangat overprotective kepada Nisya, terutama urusan cowok. Paras anggun yang Nisya miliki memang sangat mudah membuat cowok tertarik. Tak heran banyak cowok yang berusaha mendekati Nisya. Tapi sayang, lisan Tuti begitu tajam. Caci maki tak segan Tuti lontarkan kepada cowok yang berusaha mendekati anaknya. Membuat kebanyakan cowok mikir duakali untuk menjalin hubungan dengan Nisya. Terkecuali dengan Arsya. Tuti sangat baik dan banyak bercerita tentang kelebihan yang Nisya miliki, seolah mencoba menarik Arsya untuk terjerat pada sosok Nisya. Padahal wanita paruh baya itu tahu kalau Arsya sudah beristri dan akan segera memiliki anak. “Hendra masih tidur, biasalah, pengangguran.” Jawab Tuti tak sadar bahwa anaknya yang ia cap sebagai pengangguran itu berdiri di belakangnya dengan wajah jengkel. “Tega ya Ibu bilang anak sendiri pengangguran.” Celetuk Hendra, anak sulung Tuti. “Loh, udah bangun toh nak?” tanya Tuti dengan logat Jogjanya yang kental. “Aku bukan pengangguran Bu, aku youtuber.” Ujar Hendra, lalu bola matanya menatap ke arah Arsya, “Udah jalan aja Ar, biar gue yang anter Nisya,” kata Hendra yang melihat Arsya sudah siap untuk berangkat kerja. Arsya mengangguk, menghampiri Tuti lalu menyalimi tangan wanita paruh baya itu. “Arsya berangkat ya, Dhe.” Pamit Arsya lalu mengendarai motornya menuju kantor. *** “Jan, Dospem lo di ganti tuh, Pak broto udah nggak jadi dospem lagi,” Anjani yang tengah sibuk berkutik dengan laptopnya segara mendongak, keningnya mengernyit heran atas apa yang Jeka bilang barusan. Omong – omong Anjani sedang di kantin kampus sekarang, makan siang sambil duduk santai mengecek ulang draft skripsinya. “Kenapa?” tanya Anjani pada Jeka yang tengah menyeruput es kelapa miliknya. Cowok dengan nama lengkap Jee Katama itu bertahak sebentar, lalu kembali menatap Ibu hamil di depannya, “Udah nggak mood katanya” Melongo adalah ekspresi Anjani saat ini. Bagaimana bisa Pak Broto berhenti jadi dosen pembimbing nya karena alasan sudah tidak mood? “Deadline skripsi gue tinggal sebulan lagi, masa Pak Broto ninggalin gue sih!” dumel Anjani sambil memakan sosis gorengnya. “Kasian ya lo, di tinggalin terus,” celetuk Jeka ikut menyomot sosis milik Anjani tanpa izin. Melihat mata Anjani yang membulat sempurna, Jeka segera mengeluarkan cengiran bodohnya. “Becanda,” ujar Jeka. Sebelum badannya menjadi memar-memar lebih baik Jeka ambil jalan damai saja. Semenjak mengandung, tenaga Anjani menjadi lebih kuat. Anjani menatap sengit kearah Jeka, lalu kembali sibuk dengan laptopnya. Drt... Mata Anjani melirik hapenya yang bergetar, ada satu notifikasi chat masuk disana. “Selamat siang. Dengan Anjani Andara? Saya Ardan Mahesa, dosen pembimbingmu yang menggantikan Pak Broto. Besok saya tunggu di cafe Camilla jam dua siang.” Ardan Mahesa, telinga Anjani merasa tak asing dengan nama itu. Jangan bilang... Tak mau ambil pusing, Anjani segera menepis pikiran nya. Pemilik nama Ardan Mahesa bukan Cuma satu orang di dunia ini kan? Untuk apa dirinya menguras waktu buat sesuatu yang tidak berguna. Anjani segera meletakan kembali hapenya di tempat semula. Lalu kembali fokus pada layar laptopnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD