1 - Small Things

1537 Words
9 years a go…   “Keeii… Keeii… Itu Tian udah nunggu di depan.” Kei turun dari tangga dengan tergopoh-gopoh, gadis itu meminum susunya dengan terburu-buru lalu menggigit sepotong roti yang telah dibuatkan oleh mamanya. “Kei berangkat dulu ya mah,” ujar Kei, ia mencium tangan mama sebelum keluar dari pintu rumahnya. “Hati-hati Tian!!” pesan mama Kei kepada Tian. “Iya tante.” Kei sampai di hadapan Tian, gadis itu tersenyum. “Kayaknya bakal telat lagi nih, Gib mana?” tanyanya. Alih-alih menjawab, Tian justru tertawa. Dan tiba-tiba saja Gib muncul dengan sepedanya di belakang Tian. “Celemotan tuh!” tergur Gib yang juga tertawa melihat bekas s**u yang ada di atas bibir Kei. “Mau gue yang bersihin, apa lo nih?” ledek Tian. “Y ague lah, nanti kalo sama lo diisengin lagi,” ujar Kei yang langsung buru-buru mengusap bekas s**u tersebut menggunakan tangannya. Setelahnya, gadis itu melompat ke sepeda Tian dan ia melingkarkan kedua tangannya di pinggan cowok itu. Hari ini, Kei bersama Tian. Kalau lagi mood sih, Kei akan naik ke sepeda Gib. Tapi, seringnya Kei selalu memilih Tian. Alasannya, karena Tian selalu berhati-hati ketika ia sedang memboncengnya. Tidak seperti Gib yang cenderung blusukan jika sedang memboncengnya. Karena pernah suatu ketika Kei terjatuh dari sepeda Gib dan cewek itu mengalami luka-luka lecet yang tentu saja lama hilangnya. Tian tersenyum ketika Kei melingkarkan kedua tangannya di pinggangnya. Cowok itu langsung melajukan sepedanya, diikuti oleh Gib di belakangnya. “Gib, cabut yuk!” pekik Kei kepada Gib, yang langsung direspon baik oleh cowok bandel itu. “Ayok!” sahut Gib. “Nggak!” tolak Tian keras-keras, dan hal itu membuat Kei mengerucutkan bibirnya karena sebal. Di antara mereka bertiga, memang Tian lah yang paling pintar dan selalu mementingkan Pendidikan di atas apapun. Cowok itu tidak pernah membuang-buang waktunya yang berharga, kecuali atas paksaan Kei dan juga Gib. “Iiih lagian kalo kita maksain ke sekolah juga bakalan telat tau! Yang ada nanti dihukum sama Pak Udin! Gue nggak mau ah keringetan gara-gara disuruh lari keliling lapangan.” “Tapi kita udah kelas dua belas, Kei. Nggak seharusnya kita main-main.” Tian tetap menolaknya, ia tidak ingin membuang waktunya yang seharusnya untuk belajar, malah dipakai untuk hal yang tidak berguna. Sekalipun ia menghabiskan waktunya dengan cewek yang ia sukai, tetap saja, pendidikannya lebih penting dari pada itu. Tian harus bisa masuk kampus negeri, dan mewujudkan cita-citanya untuk membangun sebuah perusahaan StartUp yang sukses. “Ayolah Tian, ini terakhir. Sebelum kita pusing sama Ujian Nasional.” kata Gib yang tiba-tiba saja menambah kecepatan sepedanya untuk membalap sepeda Tian. “Ayolaahhhh!” rengek Kei, ia mulai merekatkan pelukannya kepada Tian, dan menyandarkan kepalanya di punggung cowok itu. Tian menahan senyumnya, “Oke.” “Yes! Ayo kita ke Ancol!” ajak Kei. Tian menghentikan sepedanya, yang diikuti dengan keterkejutan Gib. “Kok berhenti sih?” protes Gib. Tian menghela napasnya, “Ambil mobil lo deh, Gib. Masa kita ke ancol pake sepeda? Lo mau gempor dari timur ke utara pake sepeda?” “Iya Gib, pake mobil lo aja.” saran Kei. “Gue telepon pak Raden dulu ya,” ujar Gib, ia mengeluarkan ponselnya dari saku, lalu menelepon supir pribadinya. Jika itu Tian, mungkin ayahnya sudah memakinya karena ketahuan bolos sekolah. Tapi itu adalah Gib. Orang tuanya hampir tidak pernah berada di rumah seharian penuh, mereka selalu sibuk dengan pekerjaannya di luar kota, bahkan di luar negeri. Gib terlahir di keluarga yang kaya raya, tidak pernah kekurangan apa pun, dan apa pun yang Gib ingin kan selalu ia dapatkan. Tidak seperti Tian, meskipun ia juga terlahir di keluarga yang cukup kaya, apa pun yang ia inginkan selalu bersyarat. Tian tidak pernah mendapatkan sesuatu tanpa syarat. Ayahnya selalu mengajarkan padanya, jika ia menginginkan sesuatu, Tian harus berusaha keras agar bisa mendapatkan itu semua. Selalu ada harga untuk mendapatkan sesuatu. Sedangkan Kei, atau Keirana, gadis itu tidak berbeda jauh dengan Tian. Lahir di keluarga yang cukup kaya dan memiliki seorang ayah yang cukup tegas. Namun bedanya, Kei memiliki Ibu yang berperan sebagai ibu peri di keluarga mereka. Ibu Kei merupakan ibu yang baik, dan selalu menuruti apa yang Kei mau asal hal itu tidak berdampak negatif kepada masa depannya. Menurut Tian, ibu Kei adalah orang yang membentuk kepribadian manja pada diri gadis itu. Tapi, sifat manja Kei bukanlah sesuatu yang harus dibenci oleh Tian. Cowok itu sangat menyukai bagaimana Kei terus merengek kepadanya agar Tian mau mewujudkan apa yang diinginkannya. Itu manis. “Pak Raden masih lama, Gib? Panas nih.” keluh Kei yang mulai kepanasan karena matahari pagi. Kei tidak suka matahari, dan Kei tidak suka kepanasan. Impian Kei adalah tinggal di London dan berkuliah di Oxford University. Katanya, London selalu memiliki cuaca yang mendung. Tidak seperti di Jakarta yang bentar-bentar panas, giliran sekalinya hujan, banjirr! “Matahari pagi bagus, tau.” komentar Tian, ia turun dari sepedanya lalu berdiri di sebelah Kei untuk menghalangi panas matahari pagi yang mengenai gadis itu. Tubuh tinggi dan tegapnya cukup membuat Kei ternaungi dari sinar matahari. “Nggak sama sekali, panas! Nanti gue item lagi.” “Sinar matahari pagi itu mengandung sinar ultraviolet, kalo nyentuh kulit, bakalan diserap oleh kulit sebagai vitamin D,” jelas Tian, “vitamin D itu bagus buat imunitas tubuh.” “Iya-iya, pak guru.” ledek Gib, ia kini berdiri di sebelah kanan Kei. “Kalo lo nggak suka matahari pagi, ngapain ngajak ke ancol?” tanya Gib, “ancol kan panas, Kei.” Kei baru menyadari hal itu, karena awal tujuannya ingin pergi ke ancol itu karena ancol terletak tidak jauh dari Jakarta. Jadi, kalau pulang pun, nggak membutuhkan waktu lama. “Yaudah kita ke puncak aja deh.” kata Kei sambil tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapih. Bagi Tian, Kei adalah perempuan paling cantik setelah mamanya. Kei adalah satu-satunya perempuan yang bisa menggoyahkan pendiriannya, dan meluluhkan hatinya dengan mudah. “Puncak jauh, Kei.” keluh Tian, yang sejak awal memang tidak setuju dengan ide ini. “Pak Raden dateng tuh!” ujar Kei, yang melihat mobil Gib dari kejauhan datang. Mobil milik Gib berhenti tepat di hadapan mereka bertiga, dan pak Raden muncul dari dalam mobil. Pria paruh baya itu memberikan kunci mobilnya kepada Gib. “Memang den Gib mau ke mana? Nggak sekolah?” tanya pak Raden. “Mau ke puncak pak!” ujar Kei girang, yang langsung membuka pintu depan mobil dan langsung masuk ke dalamnya. “Pak, bisa bantu saya naikin sepeda kami?” tanya Tian dengan sopan. Tian memang selalu sopan kepada siapa pun, dan pak Raden, sekaligus semua pekerja rumah tangga di rumah Gib dan Kei, sangat menyukainya karena kesopanannya. “Baik, den.” “Gib, bantuin!” protes Tian. Gib pun mendengus, lalu mau tidak mau ia membantu Tian dan pak Raden menaruh sepeda mereka di atas mobil. “Makasih ya pak, bapak pulang naik taksi aja. Ini ongkosnya,” kata Gib, ia memberikan selembar lima puluh ribuan kepada pak Raden. “Banyak banget, den?” “Gak apa-apa, itu bonus buat bapak, tapi jangan bilang mama sama papa ya.” Tian langsung masuk ke dalam mobil, cowok itu duduk seorang diri, dan memang selalu begitu. Jika berkaitan dengan mobil Gib, ia memang selalu kalah. Kei akan memilih duduk di kursi depan bersama Gib. “Let’s go!” ujar Kei, ia senang bukan main, dan hal itu membuat Tian mengulum senyumnya.   *   Kei membentangkan tangannya, ia mendongak ke atas dan berdiri di tengah-tengah perkebunan teh. Ia menghirup napasnya, lalu menghembuskannya. Kei merasakan udara sejuk menyentuh kulitnya dengan lembut. Sementara, Tian dan Gib memperhatikan gadis itu dari pinggir perkebunan teh. Keduanya duduk di sebuah batang pohon yang sudah mati. Tian tersenyum, dan senyumannya tertangkap basah oleh Gib. “Lo suka ya, sama Kei?” tanya Gib langsung to the point. Tian gelagapan, tidak percaya bahwa Gib bisa menebaknya dengan sangat tepat. Ekspresi cowok itu berubah, ia terkejut. “Gue tau kok, dari dulu, cara lo mandang Kei tuh udah beda.” ujar Gib. “Lo… Memangnya nggak suka Kei?” tanya Tian. Gib menggeleng, “Gue gak akan pernah suka sama Kei, dia kan sahabat gue. Lagian gue punya pacar.” Gib memang hampir selalu memiliki pacar, ia tidak pernah menjomblo seperti Tian yang mendapat gelar ‘always jomblo’ di sekolahnya. Padahal, Tian lebih ganteng dari pada Gib. Hanya saja, Tian kelihatan sekali cuek dengan penampilannya. Tidak seperti Gib yang selalu tampil modis dan stylish. “Tian! Gib! Sini kenapa, main sama gue!” panggil Kei. Namun Gib dan Tian hanya tertawa, dan Tian merasa senang. Tian senang karena namanya selalu disebut paling pertama oleh Kei. Hal-hal kecil yang dilakukan oleh gadis itu, selalu menjadi moodbooster bagi Tian. Hal itu lah, yang membuat Tian ingin sekali menggapai semua cita-citanya, dan setelah itu ia akan melamar Kei. “Kenapa nggak lo pacarin aja, Kei?” tanya Gib. Tian menggeleng, “Buat ngaku gue suka sama dia aja, susah. Apa lagi ngajak pacaran?” Gib tertawa, “Nanti keambil aja sama orang lain.” “Nggak apa-apa, asal jangan lo.” kata Tian, sambil tertawa. Sementara Gib, cowok itu membalas tawa Tian dengan tawa getir. Sejak itu, Gib tahu, ia harus berbuat sesuatu untuk menyingkirkan Tian. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD