Chapter 03

1477 Words
Rasa penasaran yang menggelayuti hati dan pikirannya membuat kaki menurut untuk melangkah kemana kakinya meminta, tak berpikir panjang meski sudah diperingatkan. Tanpa membawa Misha yang sibuk bermain di taman kanak-kanak persimpangan rumahnya, Latifah nekat pergi berkunjung ke rumah tetangganya. Masih sedikit ragu, Latifah berusaha terus meyakinkan hatinya. Krek… krekkk…. Latifah melirik kanan kiri saat mendengar suara seperti ranting kayu yang patah. Namun, dimana? Tak ada apapun di sana. Kaki gadis itu melangkah pelan seperti mengendap-endap dengan hati was-was penuh waspada. “Jangan parnoan gini dong, Tifah!” gumam Latifah pelan. Srrett…. Seperti suara besi yang menggesek dinding, membuat Latifah ngilu dan tentunya semakin takut. Rumah itu benar-benar menyeramkan. Suara tak jelas semakin terdengar dan suasana di sini pun terasa sangat panas. Sepertinya Latifah harus berbalik dan pergi dari sana, tetapi rasa penasaran dan ingin tahunya terus memaksa untuk masuk ke rumah itu. Fyuhhh….. Tubuh Latifah menegang saat merasakan tengkuaknya seperti baru saja ditiup oleh seseorang. Untuk menoleh saja, Latifah takut. “Astaghfirullah!” sontak kepala Latifah menoleh ke belakang setelah beristighfar. Kosong. Tak ada apapun di sana. “Mungkin cuma angin kali, ya?” Huh. Helaan napas kasarnya pun terdengar. Latifah tercengang kaget saat ia kembali menghadap lurus ke depan. Bagaimana mungkin ia sudah berada di depan pintu rumah itu? Latifah tidak ada melangkah, tadi saja ia hanya diam. Sekarang? Ah, ini aneh. Latifah pun memberanikan diri dan mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum.” ucap salam Latifah yang sudah tahu jika pemilik rumah itu muslim dari bacaan salam di atas pintu utamanya. “Assalamu’alaikum.” Latifah kembali mengucapkan salamnya karena tak kunjung direspon sang pemilik rumah. Netra Latifah terpejam saat menyadari bau anyir darah dan bunga melati yang menyerbak ke dalam hidungnya dengan sangat jelas. Dia hirup dalam-dalam memastikan pemilik bau anyir darah yang dipadukan dengan bunga itu. Dari baunya Latifah menyimpulkan jika ini bukan bau kuntilanak, melainkan bau hantu perempuan yang baru-baru meninggal. Semakin dalam dia mengenali bau itu, semakin bekerja keras pula hidungnya hingga tanpa sadar darah kembali mengalir seperti biasanya. Kelopak mata Latifah terbuka dengan tangan yang langsung terulur menghapus darah di hidungnya. Itu bukan mimisan biasa, dia bukan gadis penyakitan. Mimisan itu terjadi karena indra penciumannya yang terlalu dalam menangkap keberadaan hantu di sekitarnya. Dan yang membuatnya mimisan adalah saat kehadiran sosok hantu dengan energi yang sangat kuat. Latifah meringis saat mendapati bajunya yang sudah tercampur darah itu. Latifah mendekat pada bibir pintu utama rumah itu seolah ditarik seperti magnet yang menarik besi agar mendekat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Latifah mengernyitkan dahi saat dapat menangkap sosok hantu perempuan di dekat pintu suatu ruangan di sana dengan baju bunga-bunga yang berlumur darah dan menjuntai ke lantai. Hantu itu terlihat—menyedihkan. Latifah membulatkan mata sempurna saat teringat akan satu keanehan, kenapa sosok itu terlihat sangat jelas di pandangannya? Bukankah Latifah hanya bisa mencium keberadaannya saja tanpa dapat melihat dengan mata t*******g? Bibir hantu itu tampak menyeringai, matanya hitam kosong, Latifah meringis saat sosok itu merubah wujudnya menjadi semakin menyeramkan. Kepalanya nyaris hancur hingga mengeluarkan darah mengalir ke sekujur tubuhnya,  luka-luka di kulit pucatnya terus mengalirkan darah yang mengucur dengan derasnya. Latifah mual saat melihat darah itu bukan lagi bewarna merah, melainkan berubah menjadi warna hitam dan…baunya menyengat layaknya bangkai. Latifah ketakutan dan tubuhnya bergetar hebat, namun kakinya malah seperti terpaku tanpa tahu untuk lari menjauh. Bibirnya merapalkan segala do’a yang teringat dalam benaknya berharap hantu itu kepanasan dan menjauh, jantungnya ikut berdegub kencang dengan keringat dingin mengaliri dahinya saat netranya melihat hantu itu melayang mendekat. “Selamat datang Latifah.” Tenggorokan Latifah tercekat saat mendengar bisikan itu. Hantu itu…mengetahui namanya. Latifah tidak tahu itu sekedar sapaan atau ancaman yang akan membawanya kepada suatu masalah baru di masa yang akan datang. Tangan itu meraba hidungnya saat kembali merasakan ada darah yang kembalimengalir, bahkan lebih deras dari sebelumnya, kepalanya pun tiba-tiba menjadi pusing. Energi hantu perempuan itu seolah menghisap tenaganya. Latifah melemah, kakinya mengurai ke lantai sebab tak mampu menopang tubuhnya lagi. Kesadarannya nyaris hilang namun matanya tetap tertahan. “Kita akan selalu bermain. Ayo jadi teman.” Bisikan yang berisi ajakan itu kembali membuat Latifah ketakutan hingga darah di hidungnya semakin deras tanpa tahu berhenti mengalir. Latifah melihat hantu itu hanya berjarak beberapa meter saja dengannya, bau bangkai tercium menyengat. Wajah hantu itu semakin menyeringai senang melihat Latifah yang menjadi ketakutan dan melemah. “Aku akan menjadi teman baikmu, asal kau selalu datang ke dimensiku. Hihihihihihi….” Latifah menggeleng cepat, tenggorokannya tercekat mendengar ucapan dan kikikan hantu perempuan itu. Dimensi? Apa maksud ucapan hantu perempuan itu mengatakan ini dimensinya? Apa Latifah tengah bermimpi? “Ja—jangan ganggu aku!” Hantu itu kembali tertawa lagi, tawanya menggema. Matanya melebar, warnanya yang hitam terganti menjadi berwarna merah menyala dan ikut mengeluarkan darah pula. Latifah tidak sanggup melihat itu, kepalanya semakin terasa sakit, rasanya seperti dipukul-pukul degan menggunakan balok. “Aku nggak mau jadi teman kamu! A—aku mohon, pergi!” Barang-barang di sana melayang dan Brakk!! Semuanya berhambur membentur dinding. Latifah terkejut, antara kaget dan juga takut. “Kau harus menjadi temanku!” Latifah menolak dengan menggelengkan kepalanya cepat. Hantu perempuan itu terbang melayang dengan bayangan hitam yang mengelilinginya. Hantu perempuan itu menyimpan banyak dendam, itulah yang Latifah pikirkan. “Tifah. Tutup telinga!” Latifah menoleh ke belakang saat mendengar suara yang sangat familier. Misha, ada Misha di sana. Latifah langsung menutup kedua telinga sekuat mungkin dan memastikan hantu itu masih sangat berjarak dengannya. Latifah melihat hantu perempuan itu mengambil ancang-ancang untuk menyerang Misha. “Dia akan menjadi temanku!” “MISHA AWAS!!!!!” Brakkk!!! Tubuh kecil Misha terpental menerjang dinding-dinding di sana. “DIA TEMANKU!!!!” Latifah menggeleng kuat-kuat saat suara hantu itu masih terdengar jelas di telinganya, semakin ia tekan kuat-kuat kedua tangannya di telinga berharap suara itu tak tertangkap. “Dimensi ini ku buat untukmu, temanku….” Gadis itu terus menggeleng, tangannya berusaha kuat menghalangi suara yang kian menyerang. Suara itu bukan hanya mengerikan, tetapi juga terasa sakit di gendang telinga. “Kita teman….” “Teman….” “KAU TEMANKU LATIFAH!!!!” Latifah menggeleng cepat dan, “TIDAAAAAAAAKKKKKKK!!!!!!!” **** Latifah terbangun dari tidurnya di depan televisi dengan napas tersengal-sengal dan keringat yang membasahi bajunya. Tadi itu…mimpi? Hanya mimpi semata? Tangannya terulur mengusap hidungnya memastikan mimpi atau tidak. Namun, ada darah di sana. Berarti itu tidak sepenuhnya mimpi. Bagaimana bisa begini? Ingatan Latifah memutar kembali memori semua mimpi-mimpinya yang terasa sangat nyata, atau benar itu nyata? Mata Latifah menyorot segala ruangan, kakinya melangkah keluar mencari keberadaan Misha, iya benar Misha. Dimana hantu kecil itu? Latifah ingat, tadi Misha ikut masuk ke dalam mimpinya. “Misha! Kamu dimana?” Latifah berlari ke dapur dan beberapa ruangan di sana. Hidungnya mengendus mencari bau Misha, namun hasilnya tetap nihil, tidak ada tanda-tanda keberadaan Misha di sana. Kakinya pun melangkah ke kamarnya. Latifah berusaha mengatur napasnya, tangannya menghapus jejak-jejak darah di hidungnya dan berganti menghapus keringat di dadinya. Latifah ingat, Misha bisa dipanggil dengan cara menyanyikan lagu dari bahasa Belanda yang berjudul Geef Mij Maar Nasi Goreng. Latifah tidak tahu mengapa Misha menyukai lagu itu, katanya dahulu dia sangat menyukai nasi goreng di Indonesia yang rasanya sangat berbeda dengan negaranya. Latifah menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Ia pun mulai menyanyikannya. Toen wij repatrieerden uit de gordel van smaragd Dat Nederland zo koud was hadden wij toch nooit gedacht Maar ‘t ergste was ‘t eten. Nog erger dan op reis Aardapp’len, vlees en groenten en suiker op de rijst   Latifah mendengar suara anak kecil yang ikut bersenandung dari atas lemari dengan kaki yang mengayun dan tepukan tangannya. Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij.   Misha melayang mendekati Latifah dan menghentikan lantunan lagunya.             “Kamu kemana aja?”             Misha tersenyum manis seolah tak ada apapun yang menimpahnya beberapa menit lalu. “Misha kan tadi nolong Tifah, lupa?” bibir mungilnya menyengir menampakkan sederet gigi-gigi kecil di sana.             “Jadi…., tadi itu, nyata?”             Misha mengangguk dan menjawab, “ Tifah dipanggil hantu itu untuk ke dimensinya, dia tertarik memanggil Tifah karena rasa penasaran Tifah.”             “Bentar-bentar, aku masih bingung. Dimensi? Ini maksudnya gimana? Dan kenapa bisa aku lihat wujud hantu itu dengan jelas?”             “Tifah bisa lihat hantu yang seram tadi karena Tifah lagi di dimensi yang berbeda, kalau sadar begini, Tifah hanya bisa mencium keceradaan dia saja seperti Tifah mencium keberadaan hantu-hantu lain.”             “Maksud kamu…aku bisa lihat dia kalau lagi tertidur?”             “Lebih tepatnya kalau jiwa Latifah kembali ke dimensi hantu menyeramkan tadi.”             Latifah menelan salivanya dengan tersendat karena merasakan kering di sana. “A—aku jadi takut untuk tidur. Gimana kalau aku tidur terus jiwa aku dipanggil ke dimensinya lagi?”             “Intinya Tifah jangan tidur sendirian, nanti Misha bilang ke Bunda dan Misha juga akan selalu jagain Tifah. Tifah banyak-banyak berdoa ya, biar Sang Pencipta selalu lindungin Tifah. Misha mau main dulu, Dadaaaahhh….” Misha melayang keluar rumah dengan menembus dinding-dinding. Kepergian Misha meninggalkan berjuta pertanyaan di benak Latifah.             Dimensi lain? Apa dimensi itu nyata seperti cerita Bundanya selama ini? Dimensi-tempat tinggal makhluk seperti hantu, jin dan sebagainya? Dan kenapa bisa dia melihat wujud hantu perempuan itu dengan jelas? Ini benar-benar aneh. Masih tidak masuk akal. Atau apa benar jika hal-hal gaib memang sulit untuk masuk dan diterima logika? Entahlah, Latifah masih bingung untuk percaya dengan apa yang baru terjadi padanya sendiri. Yang pasti Latifah takut, tak ingin tertidur jika nanti jiwanya bertemu dengan hantu perempuan menyeramkan itu.             Sekarang, apa yang harus Latifah lakukan? ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD