Chapter 02

1212 Words
Bukit Lawang. Latifah yang baru saja sampai di rumah barunya langsung membersihkan diri dan segera istirahat. Dia enggan menunggu Ayah dan Bundanya yang sudah dia tebak akan pulang tengah malam. “Tifah, Tifah. Misha takut!” Latifah menoleh saat mendengar suara Misha—hantu anak kecil berparas campuran Indonesi-Belanda itu yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Kening Latifah berkerut seolah bertanya, kenapa? “Pohon beringin di depan sana, ada hantu badannya besar, jelek dan serem banget. Misha tadi dikejar sama dia!” Misha langsung meringkuk di ujung kamar seperti layaknya anak kecil yang ketakutan. Latifah tergelak meledek Misha, dia tahu jika hantu yang dimaksud Misha adalah genderuwo. “Kamu sih, baru nyampai udah jalan-jalan sendirian. Salah sendiri! Seharusnya kamu kenalan dulu sama penunggu rumah ini, baru jalan-jalan.” Misha melayang mendekati Latifah dan membisikan sesuatu. “Penunggu rumah ini jin, Tifah. Bukan kaya Misha yang hanya hantu anak kecil manis dan menggemaskan.” Misha sedikit menjauh, anak rambut yang menghalangi matanya pun bergerak menepi ke dahi kirinya seperti otomatis. “Andai aja Tifah mau bantu nyari tulang punggung Misha, pasti Misha udah naik ke langit.” “Tempat tulang punggung kamu yang terkubur itu sekarang udah jadi mall besar, Misha. Masa iya aku bongkar, nanti aku di tuntut, gimana? Emangnya mereka percaya sama aku kalau aku bilang lagi nyari tulang anak kecil yang dulu meninggal di masa penjajahan? Yang ada mereka mikir aku itu gadis gila. Udah ah, aku mau tidur.” Setelah berkata panjang kali lebar, Latifah langsung menarik selimutnya dan terlelap. Begitulah Latifah, meski tak banyak bicara dengan orang di luar sana, jika sudah bersama Misha maka dia akan berubah menjadi bawel sekali. Setidaknya Latifah mempunyai teman, meski jika di luar dia akan menjadi pendiam dan hanya bisa membatin jika ingin berkomunikasi dengan Misha. Kalau tidak, Latifah akan dikata tak waras seperti sebelum-sebelumnya oleh orang lain karena bicara sendiri. “Tifah mengeselin! Misha sebel, sebel, sebel!” Latifah yang sudah terlelap pun tak lagi menghiraukan Misha. Jika sudah sebal, Misha pasti selalu mengacaukan mimpinya, begitulah Misha. **** Mentari pagi memancarkan sinarnya, seolah berusaha untuk membangunkan gadis yang bermalas-malasan untuk membuka mata indahnya. Bukan hanya mentari yang sudah membangunkan tidurnya. Ada Misha juga lah yang ikut andil membangunkan gadis itu. Ya, yang tengah tertidur lelap adalah Latifah Hairunnasya Firda. “Tifah bangun! Misha mau main, ayo!!” Tidur Latifah tetap lelap, mengabaikan ocehan-ocehan hantu anak kecil itu. Sedangkan Misha yang tak sabaran pun langsung masuk ke dalam mimpi Latifah hendak mengganggunya. Tetapi Latifah langsung membuka matanya sebelum mimpinya benar-benar runyam seperti biasa. Tanpa berkata apapun, Latifah langsung beranjak keluar kamar. Lagi, Latifah mengabaikan Misha yang menggerutu sebal. **** Di dapur Latifah melihat sang Bunda tengah sibuk dengan kegiatan memasaknya. Bunda yang memutar badannya dan mendapati Latifah duduk di kursi makan pun langsung tersenyum dan menyapa. “Morning.” “Too,” begitulah Latifah. Entah apa yang membuat nalurinya malas banyak bicara pada Bundanya. Mungkin karena masih kesal tidak dijemput kemarin. “Gimana perjalanan panjang kemarin? Sorry, Bunda nggak jemput.” “Hmm… Melelahkan.” Tangannya menuang air minum dan meminumnya. “Tadi malam, kata Misha  dia dikejar Genderuwo. Kamu tahu?” tanya Bunda. Latifah mengangguk dan menjawab, “Latifah nyium bau kehadiran hantu itu di sekitaran rumah tadi malam.” “Tapi dia gak akan bisa masuk ke dalam rumah. Oia, Bunda cuma mau pesan, jangan pernah masuk ke rumah sebelah. Kalau berkunjung cukup di depan saja jangan sampai masuk.” “Kenapa?” Latifah yang merasa penasaran sebenarnya tahu maksud Bunda melarangnya, karena Bunda indigo dan feeling seorang Ibu itu tidak pernah salah. “Ada sosok  jahat dan dia terkurung di salah satu ruangan di sana. Bunda juga kurang tahu kenapa hantu itu sering mengganggu. Dari cerita karyawan di kantor sih, dulu dia meninggal karena ngelukain dirinya sendiri di toilet, katanya patah hati karena pacarnya meminta putus setelah nggak mau diajak nikah. Awalnya hantu itu emang usil. Lama-lama malah jahat. Dari hawanya hantu itu dia penuh dendam. “Bunda takut kamu penasaran dan nekat pergi ke rumah itu. Hantu itu nggak akan bisa masuk ke rumah ini karena sudah Bunda pagar. Meskipun begitu, mungkin saja dia bakal ngusilin kamu di luar rumah. Hantu itu masih penasaran, jadi hati-hati.” Yang terlintas di pikiran Latifah setelah mendengar ucapan panjang kali lebar dari sang Bunda, Latifah menyimpulkan jika hantu itu meninggal karena menyimpan dendam. “Tapi kenapa yang tinggal di situ, betah?” tanya Latifah. “Karena yang tinggal di rumah itu Ibu dan Adiknya. Adiknya sih merasa terganggu, sampai mentalnya benar-benar kacau, tatapi Ibunya yang terlalu menyayangi roh itu bahkan dia senang-senang saja jika roh tersebut menampakkan diri. Sekalipun dengan keadaan sangat menyeramkan.” Latifah mengernyitkan dahi bingung sekaligus penasaran dengan sosok yang baru diceritakan oleh Bundanya. Latifah yakin jika hantu itu hanya sekedar ingin usil saja tak mungkin tega mengganggu Adiknya sendiri sampai membuat mentalnya terganggu. Pasti ada hal lain. Tapi apa? Dan mengapa dia menampakkan diri dengan keadaan menyeramkan? Bukankah paras menyeramkan itu untuk menampakkan diri dengan orang-orang jahat? “Dia hantu perawan, jangan sesekali mencari tahu tentangnya.” Bunda berkata seolah tahu maksud dari pikirannya. Latifah pun beranjak dari meja makan dengan membawa satu apel digenggamannya. “Latifah, ingat ucapan Bunda. Jangan berurusan sama hantu perawan!” “Iya.” Latifah menutup pintu kamarnya dengan mulut terus mengunyah apel, tetapi pikirannya berkelana pada hantu yang baru diceritakan Bundanya. Bukan tanpa sebab, menurutnya aneh saja. Jika hanya pacar hantu itu memutuskan hubungan karena belum siap menikah apa akan sedendam itu? Latifah jadi punya kesimpulan sendiri jika pacar hantu itu melakukan kesalahan lain. Tapi apa? **** Selesai meeting, Zafran langsung beranjak setelah atasannya keluar dari ruangan terlebih dahulu. Seketika di pikirannya terlintas ingatan yang tertuju pada Latifah. Gadis itu sedikit terlihat…menyedihkan. Kemampuan yang dimiliki gadis itu sangat langka, mengetahui keberadaan hantu dan jenisnya hanya dengan menggunakan indera penciumannya? Apa itu termasuk indigo? Zafran baru mengetahui ada kelebihan seperti itu. Zafran tahu jika gadis itu hanya berteman dengan hantu anak kecil berparas Belanda yang juga dia lihat kemarin, tetapi bagaimana bisa gadis itu melihat hantu anak kecil tersebut? Bahkan alasan yang dia katakan kemarin saja masih jauh dari kategori logis. Tetapi, hantu anak kecil itu baik, dia bahkan menampakkan wujud cantik dan menggemaskannya seperti anak seusianya pada Latifah, namun tidak dengan orang lain. Jika Latifah yang melihatnya, mungkin hantu itu tampak cantik dan menggemaskan, tetapi jika orang lain yang melihatnya mungkin akan sangat mengerikan. Darah yang mengalir dari matanya, punggungnya yang meganga lebar memperlihatkan tulang-tulangnya yang hilang, seolah memberi tahu jika dia mati dengan cara mengenaskan. Mengingatnya saja membuat Zafran meringis kasihan. Anak sekecil itu dibunuh dengan cara setragis itu? Hanya manusia tak memiliki belas kasih yang melakukan hal sekeji itu. Zafran melangkah menuju motornya masih dengan  memikirkan gadis bernama Latifah dan kemampuannya itu. Tetapi langkah kakinya terhenti saat seseorang memanggilnya. “Zafran?” Zafran menoleh, melihat seorang perempuan setengah baya dengan pakaian kasualnya yang serba tertutup kecuali wajah anggunnya. Langkah kaki itu berjalan mendekatinya. Wanita itu adalah Bu Hanum—Bundanya Latifah. “Ada apa, Bu?” “Saya mau ngucapin terima kasih karena kemarin kamu mau memberi tumpangan untuk anak saya.” Zafran mengangguk sopan dengan memasang senyuman. “Tidak masalah, Bu. Lagian kemarin saya sekalian meeting di kantor pusat. “Oh ya, Bu. Kalau boleh nanti saya boleh mengajak Latifah untuk menunjukkan keindahan malam Bukit Lawang?” tanyanya meminta izin. Bunda Latifah sedikit berpikir. Dia tahu jika Zafran pemuda baik-baik dan pemuda di hadapannya ini juga dapat melihat mereka yang tak terlihat. Bunda pun mengangguk mengizinkan dan berkata, “saya percaya sama kamu. Asalkan jangan pulang terlalu malam.” “Terima kasih, Bu.” Bunda Latifah mengangguk dan melangkah kembali ke ruangannya. Kini Zafran tahu jika atasannya itu sangat mencintai anaknya. Zafran yakin jika kesepian Latifah juga karena benteng yang sudah dibuat tinggi-tinggi karena keposesifan Bundanya. Tak pikir panjang, Zafran pun kembali melangkah menuju motornya dan pulang terlebih dahulu untuk makan siang sebelum kembali ke lapangan. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD