Morning Is Jenni, Night Is Lily

1338 Words
Pria yang mengenakan pakaian formal itu, menatap lurus ke lembaran berisi informasi para pegawai yang punya kedudukan cukup tinggi di bawah naungan Synopecti Group, perusahaan besar yang bergerak di bidang platform travelling. Lalu ketika tangan kekarnya itu berhenti pada lembaran yang menampilkan foto seorang wanita cantik dengan senyum manis yang amat di kenalinya, dia pun ikut tersenyum. “Jake, sepertinya Jenni adalah rival mu yang paling tidak bisa kau lupakan ya?” Jake –pria berpakaian formal itu- menoleh pada sekretaris yang duduk di sampingnya. Sekretaris yang juga merupakan teman semasa kuliah dulu, Adam, sapaannya. Senyum itu pun berubah menjadi seringai ketika Adam mulai membuka obrolan mengenai Jenni. “Kau tahu? Dulu Jenni menyaingiku dalam hal apa pun, dan selalu mengatakan aku bodoh karena terus kalah darinya. Aku tidak sabar saat dia tahu, aku adalan Branch Manager baru di Synopecti Group, perusahaan tempatnya bekerja. Sementara dia hanya menduduki jabatan sebagai ketua tim pemasaran.” Adam menatap Jake curiga. “Kau…tidak akan melakukan apa pun ke Jenni ‘kan? Umur mu sudah 28 tahun, tidak mungkin jalan pikiran mu masih sama seperti waktu kuliah dulu.” Jake menggeleng pelan. “Tentu tidak. Dulu aku mengerjai dia terang-terangan. Sekarang, aku akan mengerjai dia secara halus, mengingat jabatan ku yang cukup tinggi, aku tidak mau dikenal sebagai atasan yang tidak punya wibawa.” Adam menepuk dahinya. Sementara dalam hati berdoa. Semoga Jake baik-baik saja. Kenapa harus Jake yang dia doakan? Sebab dia tahu, Jenni lebih gila dari Jake. Terakhir kali Jake mencari masalah dengan Jenni semasa kuliah dulu. Jenni sampai nekat mengedit video dewasa, di mana wajah pemeran laki-laki di ganti oleh wajah Jake, kemudian disebar ke situs kampus mereka. Membuat Jake di skors dari kampus sampai pihak kampus tahu bahwa itu hanya editan. Dan dewi fortuna berada dipihak Jenni, sebab hukuman bagi Jenni hanya beasiswa yang dicabut. *** “Saya merekomendasikan influencer Henry yang baru-baru ini sedang naik daun.” Dengan bangganya perempuan berdarah Indonesia dan Ceko itu menunjukan sebuah foto seorang selebgram yang sedang naik daun karena melambungkan aspirasi masyarakat mengenai pentingnya kesehatan mental remaja. “Jenni. Saya ada pertanyaan,” ucap wanita paruh baya yang dari tadi fokus memantau presentasi dari Jenni. “Baik. Pertanyaan apa Bu Erica?” “Kenapa harus Henry? Bukannya image dia berbanding terbalik dengan produk terbaru kita?” Dengen sebuah senyum kecil. Jenni menjelaskan secara terperinci. “Menurut saja image Henry saat ini adalah pilihan yang cocok untuk mempromosikan product terbaru kita. Fitur terbaru yang kita kembangkan ini tentang penyewaan resort di alam terbuka dengan harga paling terjangkau…” Seperti biasa, Jenni paling pandai untuk orang-orang bungkam dengan pemikirannya sekaligus membuat orang lain terkesima dengan pola pikirnya yang istimewa. Tak heran, jika dirinya mendapat predikat satu sebagai pegawai yang diinginkan perusahaan mana pun. Jenni si jenius. Bayangkan saja, di umurnya yang baru menginjak 27 tahun, dia sudah menduduki jabatan sebagai kepala tim pemasaran selama kurang lebih 3 tahun. Itu berarti dia memegang posisi tinggi ini sejak usianya masih 24 tahun. Bahkan kali ini pun, meeting yang dibawakannya berjalan dengan lancar walau harus mempresentasikan hasil pemikirannya dan tim, di depan Bu Erica, Manager Pemasaran di Synopecti Group yang terkenal sangat galak jika ada kesalahaan sekecil biji sawi sekali pun. “Ada gossip yang menjurus ke fakta, katanya nenek tua itu mau pensiun,” ujar Celin, salah satu anggota tim pemasaran. “Maksud mu Bu Erica?” sahut Anna. Celin memutar bola matanya bosan. “Ayolah di bagian pemasaran memang diapa lagi yang paling tua? Tentu saja-” Sebelum Celin melanjutkan ucapannya. Jenni lebih dulu menutup mulut sahabat karibnya itu dengan tangan kanannya. Lalu dengan gerakan mata, dia menunjuk si orang yang menjadi topic pembicaraan, yang baru saja masuk ke kantin kantor. Tak lama setelah orang itu pergi. Dengan penuh semangat Celin melanjutkan ucapannya. “Sebentar lagi akan ada pembaharuan posisi tinggi di perusahaan kita. Si nenek itu sudah uzur, katanya dia mau pensiun.” “Tapi dia terlihat segar bugar. Tak ada tanda sama sekali kalau dia mau pensiun,” sahut Anna. “Pembaharuan posisi di perusahaan? Siapa saja yang di ganti posisinya?” tanya Jenni mengalihkan pembicaraan. “Aku tidak tahu siapa saja. Tapi yang pasti posisi Branch Manager akan diganti. Katanya Branch Manager yang baru adalah adik ipar dari pemilik perusahaan,” jelas Celin. “Dan gossipnya, dia sangat tampan sampai kau tidak cukup untuk melihatnya sekali saja.” Pembicaraan seperti ini, baru membuat Anna bersemangat. “Wah aku tidak tahu kalau itu,” ujar Celine, “memang siapa namanya? Barang kali aku bisa temukan di Instagram.” Celine sudah bersiap-siap dengan ponselnya. “Jake Achiles-” “Uhuk!” Jenni langsung terbatuk ketika Anna menyebutkan nama itu saat Jenni sedang menghabiskan jus jeruknya. Tanpa menunggu jeda untuk tenggorokannya, Jenni langsung bertanya, “siapa nama belakangnya?” Anna dan Celin saling berpandangan heran. Anna mencoba mengingat kembali, namun dahinya mengernyit dalam waktu singkat tanda bahwa dirinya tak mengingat. “Kau kenapa kaget begitu saat mendengar nama Jake?” tanya Celine penasaran, “namanya mirip dengan mantan mu?” “Sampai mati pun, aku tidak mau punya pasangan yang bernama Jake!” Nama itu sudah di blacklist dari kehidupan Jenni, mendengarnya saja sudah muak. Apa lagi menjalin hubungan dengan orang yang bernama Jake? Memanggil Jake dengan sebutan sayang, uh membayangkan saja Jenni tak sudi. “Kalau begitu. Jake adalah musuh mu?” Jenni menjentikan jari dan mengangguk. “Dia adalah musuh ku nomor satu semasa kuliah dulu. Dan dia berada di urutan pertama sebagai orang yang paling tidak ingin aku temui,” jelas Jenni menggebu-gebu. *** “Oh, Jenni, kau datang lagi?” “Kalau aku tidak ada. Nanti ibu ku akan kesepian.” Jenni mengulum senyum, kemudian memberikan satu kotak berukuran besar brownise coklat yang baru dibelinya sepulang kerja tadi, pada suster yang merawat ibunya yang sedang koma. “Terima kasih ya sudah menjaga ibu hari ini.” Suster yang dikenal dengan nama Mina, menolak halus pemberian Jenni. “Kau kenapa selalu bawa buah tangan setiap datang ke sini? Hei! Ini ‘kan pekerjaan ku. Sudah sewajarnya aku merawat pasien ku.” Jenni menggenggam tangan Mina, dan memberikan paksa kue yang dibawanya. “Tidak apa-apa. Aku baru saja gajian. Ini traktiran dari ku.” “Terima kasih,” mau tak mau Mina menerimanya, “kau jangan terlalu boros, kau tahu ‘kan pengobatan untuk ibumu memakan uang cukup banyak?” Jenni mengangguk kecil. “Tenang saja. Aku sudah menyiapkan uang yang cukup banyak.” “Oh, iya, kau benar! Kau ‘kan menjabat sebagai kepala tim pemasaran. Pasti penghasilan mu cukup banyak ya. Syukur kalau begitu.” Jenni tertawa canggung. Tak menanggapi apa pun lagi jika menyangkut masalah pekerjaan. Dengan jabatan yang dia duduki sekarang ini. Wajar banyak yang menganggap penghasilannya besar. Kenyataannya, penghasilannya itu tidak cukup untuk membiayai pengobatan ibunya apa lagi jika di tambah kebutuhan sehari-hari Jenni. Membuatnya harus mencari uang tambahan, yang tentu saja mengharuskan dia memiliki pekerjaan sampingan. Dia beruntung mendapatkan pekerjaan sampingan yang menghasilkan uang banyak bahkan melebihi gajinya. Namun disisi lain, Jenni juga membenci pekerjaan sampingannya dan tak ingin orang lain tahu. *** Pagi hari saat bekerja di Synopecti Group, dia adalah Jenni yang diinginkan perusahaan mana pun. Namun, malam hari- “Ugh, Lily kau selalu tahu cara membuat ku panas di bagian tertentu.” -Jenni adalah penari striptis. Dengan nama panggung, Lily. Yang di mana tubuhnya selalu menjadi incaran para VIP di club ini. Perlahan Jenni mulai membuka high heelsnya dengan gerakan yang sensual. Menundukan sedikit badannya agar belahan dadanya terlihat. Kemudian menari mengikuti tempo lagu seraya melepas satu persatu pakaiannya dan hanya menyisahkan pakaian malam berenda. “Lily, ayo tidur dengan ku malam ini. Aku akan beri sebanyak apa pun yang kau mau.” Tangan ringkih itu dia sembunyikan di belakang tubuhnya, sudah mengepal kuat ingin meninju pelanggannya yang sepertinya masih berusia jauh lebih muda dari pada dirinya. “Maaf. Saya tidak tertarik untuk hal semacam itu.” Jenni paling tidak menyukai lelaki yang menghabiskan uang untuk perempuan atas dasar nafsu. Ironisnya, sekarang ini dia berkerja setiap malam dengan lelaki yang seperti itu. Sial.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD