TTB 4. Cita-cita

1476 Words
Siang itu seusai praktek agama di mushola sekolah bagi yang muslim, dan di aula bagi agama lain, Rakha dan teman-temannya kembali ke kelas. Beberapa siswa masih ada di mushola menunggu antrian untuk praktek shalat. Dimas dan Alvin mengeluarkan beberapa kursi dan meja dari dalam kelas ke depan selasar untuk mereka duduki bersama. Hitung-hitung cari angin dan mau menggoda ciwi-ciwi adik kelas yang lewat. Rakha menghembus nafas lega saat dia sudah mendudukkan b****g di sebuah meja dan menyandarkan badannya di dinding luar kelas. Kakinya dia tekuk sebelah dengan tangan menyampir di lekukan itu. Dia membuka dua kancing teratas seragamnya lalu menyugar rambut ke belakang. 'Keren sih si Rakha ini.' "Si Dion belum keluar bro?" itu Yoga yang mengawali percakapan. "Belum kayanya, bego emang tu anak, Al Fatihah nggak hafal, di suruh ngulangkan sama Pak Ahmad." "g****k di piara," kompak mereka tertawa. "Eh, bro ngomong-ngomong lo beneran putus sama adik kelas itu? Siapa sih namanya?" Dimas mengalihkan topik menghadap Rakha. "Naima? Iya baru kemarin putus." "Weehh, emang beda playboy cap kadal gonta ganti terooss!" "Eh, lo denger ya, cewek itu kudu di koleksi, seleksi, baru dah eliminasi!" Rakha emang beneran songong kalau urusan cewek. Yah dia memang semudah itu mendapat kekasih. Siapa yang bisa menolak pesona Rakha? Meski bukan anak konglomerat, tapi tampang dan prestasinya dalam bidang akademik maupun olahraga patut di acungi jempol. Rakha ini bintang lapangan voli loh. "Enak bener jadi dia, gue seumur-umur jangan kan seleksi, pacaran aja belum pernah apalagi mau eliminasi," gerutu Dion yang tiba-tiba muncul dari arah mushola. "Itu sih nasib lo jadi jomblo karatan, belum nembak cewek udah di kabur aja ceweknya. Mana nggak hafal Al Fatihah lagi. Mental kan lo!" Sontak lima cowok itu tertawa. Tawa mereka terdengar nyaring karena memang keadaan sekolah sedang sepi. Kelas X dan XI sedang belajar di kelas. Hanya beberapa dari kelas XII yang berada di kelas. "Eh bukan nggak hafal ya, nggak lancar doang, gugup di pelototin Pak Ahmad. Lagian apa enaknya sih punya cewek, ngabisin duit iya," Dion masih tak mau kalah. "Emang dasar lo bego plus medit." Yoga mentoyor kepala Dion yang di balas tendangan oleh sang empu kepala. "Punya cewek tu enak tau, kadang suka di bawain makanan, di kerjain PR terus buat grepe-grepe juga. Lumayan kan main squisy tiap hari" Dimas menaik turunkan alis menjelaskan sambil nyengir, tangannya mengepal dan membuka praktek gaya meremas. "Huuu emang dasar lo m***m!" Kompak mereka berempat mentoyor kepala Dimas balik. "Ehh, ni kepala di akikahin mak gue ya, main toyor aja lo pada!" "Eh eh tu ciwi lewat," tunjuk Dion. "Adee gangguin Kakak dong!" "Ciyee Kakak..." kembali mereka berlima ngakak. Tiga orang siswi kelas XI yang melewati mereka menunduk malu-malu di perlakukan begitu. Bahkan dua siswi di belakang mereka putar balik tak jadi melintas. "Eh si Marisa gimana kabarnya?" Alvin yang sejak tadi diam kini mulai bersuara saat tawa mereka reda. "Marisa yang kemaren ngereog di lapangan?" Kini mereka berlima tertawa lagi. Memang Rakha akui dia keterlaluan, membuat gadis itu malu ditertawakan satu angkatan, pasti orang-orang akan ingat 'Ica yang ngereog di lapangan'. Tapi mengerjai Ica adalah kesenangan tersendiri buatnya. "Dia deket sama lo kan Kha? Kenalin kita-kita dong. Sayang cewek cantik kaya Marisa di anggurin doang." Belum sempat menyahut, tiba-tiba suasana sekolah yang awalnya sepi mulai terdengar suara jejeritan dari berbagai sisi. Di tengah riuh itu, tim basket Daniel rupanya mulai memantul-mantulkan si bundar berwarna oranye di lapangan basket di tengah halaman. Jadi, lapangan basket ada di tengah, yang di kelilingi kelas-kelas bertingkat gitu. "Kak Rakha bisa ngomong sebentar?" Konsen lima sekawan itu dari tengah lapangan buyar setelah mendengar suara halus yang berdiri tak jauh dari mereka. "Ciye ciye yang disamperin cewek..." Kompak Alvin, Dimas, Dion, dan Yoga meledek Rakha. Rakha menyugar rambutnya ke belakang. Menaikkan kerah baju. "Susah emang jadi cowok ganteng. Sekelas Daniel Daniel itu mah lewat!" sombong Rakha, turun dari atas meja dan mengikuti langkah Naima menuju lorong sekolah yang agak sepi. "Mau ngomong apa an?" "Emm emm Marisa udah jelasin semua," kata Naima mengawali kalimatnya sambil memilin ujung seragam putihnya malu-malu. Rakha menaikkan sebelah alis bingung dengan maksud Naima. "Emm kita... kita... balikan lagi ya Kha. Please gue nyesel putusin lo. Gue janji nggak akan gitu lagi." Naima mengangkat jari telunjuk dan tengahnya di depan telinga. Senyum semanis madu gadis itu tebarkan berharap Rakha luluh. Rakha ikut tersenyum, Naima pikir Rakha akan menerima maafnya, tapi kalimat yang keluar dari mulut Rakha di luar dugaan Naima. "Di mana lo ketemu Ica? Kapan?" Naima diam sejenak, lalu menjawab ragu, "kantin, barusan." Rakha menghembus nafas lega dan berbalik menuju kantin. Namun sebelum dia jauh melangkah, Rakha menjawab keraguan Naima. "Sorry Nai, gue nggak pernah mengulang kisah dengan orang yang sama dua kali. Silakan lo cari pengganti gue." Rakha lalu melanjutkan langkah menuju kantin sambil bersiul. Tangannya dia masukkan dalam kantong celana dan melangkah gagah penuh percaya diri khas seorang Rakha. Di kantin, Ica nampak tidak berselera. Dia hanya mengaduk-aduk Tupperware persegi yang berisi makan siangnya dari sang mama. Dia merebahkan kepala di atas meja beralas tangan menatap ke arah Karin yang asik mengunyah bakso. "Kok gue nggak kayak orang-orang ya Rin?" Karin mengerutkan dahinya bingung dengan pertanyaan sohibnya. "Maksud lo?" "Yaa, orang-orang udah pada persiapan buat tes masuk PTN, bahkan ada yang sampai ikut bimbel. Padahalkan ujian aja belum." "Trus?" "Kok gue nggak kepikiran sama sekali ya? Gue mau kuliah di mana, mau punya profesi gimana, cita-cita gue apa nggak ada gambaran sama sekali. Sebobrok itu emang otak gue?" Karin tertawa geli. "Lo ikut kuliah kaya gue aja lah, ambil 'Hukum' biar jadi lawyer kayak bokap gue," "Ck, gue nggak suka ngebacot, adu mulut sama Rakha aja gue sering kalah, apalagi sama terdakwa." Spontan Karin menjentik dahi Ica, lumayan keras hingga sang empunya mengaduh. "Secara nggak langsung lo bilang bokap gue suka ngebacot oon!" Ica nyengir aja. Dia lalu mengingat-ingat orang di sekitarnya yang semuanya on point dengan passion masing-masing. Rakha, dari kecil sudah kepingin jadi dokter, sampai sekarang juga nggak goyah cita-cita itu. Dia bahkan sudah tau mau masuk PTN mana sesuai dengan jurusan kedokteran yang diambil. Karin, kuliah hukum kaya bokapnya. Kak Ane, guru. Bang Rio, bahkan sekarang sudah jadi Bintara Polisi sesuai dengan cita-citanya sejak kecil mengikut jejak papa. Ica menghembus nafas lelah. Apa dia tidak usah kuliah aja ya? Lagipula Ica juga capek otaknya di suruh mikir mulu. "Cacamarica hey hey!" Suara melengking dari arah depan membuyarkan lamunan Ica. Tak perlu menengok siapa pemilik suara itu, sudah pasti Rakha, si cowok tengil. Rakha menduduki kursi depan Ica dan Karin tanpa di komando. "Napa ni orang?" tanya Rakha heran ke arah Karin, tapi tangannya menarik kotak bekal Ica tanpa permisi. "Galut, galau akut!" Karin terkekeh sendiri. Dia berdiri meninggalkan Ica dan Rakha ingin mengambil es jeruk pesanannya. "Eh, lo ngomong apa sama Naima?" Rakha menoel puncak kepala Ica yang masih rebahan. "Emang dia bilang apa sama lo?" Ica menjawab tanpa berbalik dan masih sambil rebahan santuy. "Dia bilang lo udah jelasin semua. Dia mau balikan sama gue." "Ya bagus lah! Jadi gue nggak di cap pelakor lagi sama dia." "Apa? Lo dikatain pelakor sama siapa?" Rakha sungguh tak terima, "emang gue suami dia?" gerutunya. "Auk ah, trus lo balikan lagi sama Naima? Selamat deh, jangan gerecokin gue lagi, sono lo!" usir Ica ketus. "Gue mana pernah yang namanya balikan sama mantan. Kalo udah putus ya putus aja!" Rakha menjeda sejenak sebelum menyambung kalimatnya. "Pokoknya ya Ca, lo jangan pernah ngerendahin diri lo dari cewek-cewek yang pernah deket sama gue!" Ica tetap diam, malas berdebat dengan Rakha. Siapa yang merendah? Ica hanya menjelaskan sesuai dengan pertanyaan yang diajukan Naima. Tidak bawa-bawa perasaan. Terus mengoceh hingga nasi dalam bekal Ica tersisa separo. Sampai Karin datang dengan dua gelas es jeruk. Rakha langsung menyerobot es itu dan meminumnya hingga setengah. "Rakha! Minum gue!" Hardik Ica saat dia bangun dan melihat minumannya di seruput Rakha. "Elah pelit amat, dikit doang!" "Dikit apa an sisa setengah gini!" "Tuh nasi lo juga dah habis dia makan," kali ini Karin ikut mengompori. "Ihhh Rakha!" Asik berebut minuman dengan Rakha, tiba-tiba Karin menepuk lengan Ica dengan tatapan tak beralih dari makhluk indah yang berdiri di depan kantin bersama teman-teman tim basketnya. "Omo omo daebak!" "Subhanallah!" Dua gadis itu tiba-tiba terpanah asmara terkagum terpesona melihat sosok tampan yang baru memasuki kantin dan langsung menuju kabinet minuman melewati mereka. Daniel, the most wanted and popular boy di SMA Taruna Jaya, sempat melirik ke arah mereka sepersekian detik namun langkahnya terus melewati meja Ica, Karin dan Rakha. Meski begitu sudah membuat dua cewek itu melting brutal. Jantung jedag jedug, air liur muncrat dan mata kaya salto dari kelopaknya. "Ganjen!" Rakha mentoyor kepala Ica hingga dia agak terhuyung ke belakang. Namun Ica tetap cuek matanya fokus menelisik makhluk indah ciptaan Tuhan di sana. Kesempatan ini hanya akan mereka rasakan beberapa minggu lagi, karena mereka akan segera lulus. Rakha memutar bola mata malas, dia bangkit dan berlalu dari kantin sambil berdecak sebal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD