TTB 14. Penjara Hati

1448 Words
"Rakha!" teriak Ica, sedikit berlari mendekat. Otomatis Rakha, Andika, Dimas, Dion, Yoga, dan Bima menoleh ke asal suara. "Bini lo noh dateng, sama selingkuhan!" bisik Dimas. Cepat Rakha menyikut perut Dimas yang membuat cowok itu meringis. "Lo kenapa bisa sampe ditilang si? Lo ugal-ugalan lagi apa balapan? Bunda sama Ayah tau? Papa ada nengok lo nggak?" cerocos Ica saat dia sudah berdiri di depan sel Rakha dan kawan-kawan. Tapi Rakha malah tidak menanggapi. Dia menatap dingin ke arah Daniel yang berdiri di belakang Ica. "Lo tadi kemana? Kenapa nggak langsung pulang?" Itu suara Rakha yang bertanya pada Ica tapi netranya menatap tajam Daniel. "Sorry gue ajak Ica jalan-jalan tadi," Daniel menyahut santai sembari memasukkan tangan ke saku celana. Ica memandang Daniel tak enak karena nada bicara Rakha yang tak santai, "Lo kenapa sih Kha?" sungutnya. Rakha bergeming, masih menatap penuh permusuhan pada Daniel yang seperti tersenyum menantang ke arahnya. "Niel, lo bisa balik sekarang, thanks ya udah anterin gue," kata Ica lembut menengahi. Tatapan Daniel ikut melembut ke arah Ica. "Oke Ca, gue balik dulu. Kalau perlu bantuan lo bisa telepon gue kapanpun," balas Daniel sambil menepuk pundaknya. Mereka saling tersenyum yang semakin membuat mata Rakha melotot. Ica mengantar kepergian Daniel sampai ke depan pintu kantor polisi. d**a Rakha rasanya benar-benar panas. Dia menggenggam tiang besi erat hingga urat-urat tangannya timbul. "Kenapa lo nggak bilang kalau lo kaya orang gila keliling kota Sampit cari Ica. Sampai kena tilang gini, di kira konvoi kelulusan," kata Andika. "Cemen banget lo jadi cowok, tinggal bilang aja si!" kompor Yoga. "Keburu di tikung si KuDaniel lo!" kata Dion ikut-ikutan. "Lo pada ngomong apa si? Nggak jelas!" sentak Rakha yang akhirnya buka suara. "Halaah, ada yang nggak mau ngaku perasaannya bro," timpal Andika sambil menaik turunkan alis ke arah yang lain. "Lo nggak pernah gini sebelumnya Rakha. Sama Jihan mantan terindah lo itupun, lo nggak sebucin ini! Wah parah si kalo lo nggak ngakuin perasaan sendiri!" "Serah lah Dim, kita lihat sampe mana dia kuat bertahan!" kata Yoga menepuk pundak Dimas. "Paling kalau sampai keduluan orang, dia ngamuk!" kompak mereka menertawai Rakha yang masih memelototi arah pintu. Rakha hanya diam tidak mampu menyangkal lagi, tapi dia juga terlalu takut untuk mengiyakan. Dia takut mengakui perasaannya. Dia takut Ica tidak membalas perasaannya dan menjauh. Ah, Rakha memang pengecut. Tak lama, Karin, Ica juga Om Panji datang. "Sambil menunggu orang tua kalian, biar om urus jaminan penangguhan penahanan dulu," katanya sambil berlalu ke arah administrasi. "Patungan lo semua, bayar om gue!" itu Karin yang melipat tangan di pinggang. "Ck gitu doang perhitungan banget si!" sahut Dion. "Alah, bilang aja nggak mau bayar lo! Syukur mau gue tolongin," balas Karin. Kompak mereka semua mencibir. "Kalau sama babang, boleh bayar pake ini nggak Rin?" kata Dimas mulai merayu. Dia mengeluarkan bentuk hati kecil dari saku bajunya. Kompak mereka memperagakan ekspresi mau muntah. "Eh Rin Rin minggir jangan di situ!" kata Andika ikut menimpali. Karin melihat ke bawah mengikuti arah pandang Andika yang menunjuk-nunjuk ke kakinya. "Banyak semut. Kamu terlalu manis soalnya!" sambung Andika lagi. "Ahhaay," kompak cowok-cowok dalam sel itu ngakak. Mulai deh gombalan receh mereka, nggak peduli kalau sekarang mereka sedang berurusan dengan pihak berwajib. Dimana ada cewek manis nganggur, sikat! "Rin...." "Udah-udah, nggak mempan gue sama gombalan koin gitu!" sentak Karin. Ica ikut ketawa lihat Yoga meneguk kembali kalimatnya. "Huu nggak seru lo!" timpal Dimas. Tak berapa lama orang tua masing-masing datang menjemput anak mereka. Setelah menandatangani surat perjanjian, mereka semua diperbolehkan pulang. Tinggal Rakha yang masih menunggu Ayah. Sebenarnya tadi Papa Ica sudah melihat keadaan mereka, hanya saja Papa sengaja ingin memberi efek jera biar mereka merasakan hukuman ringan seperti push up dan di kurung dulu. Supaya mereka menyadari kesalahan yang sudah meresahkan pengguna jalan lain. Sementara di ruangan Papa Ica, Ayah dan Bunda Rakha tengah santai mengobrol. Seperti tidak terjadi apa-apa. "Biarkan saja dulu Rakha sama Ica menunggu. Kita lihat sampai mana batas kesabaran mereka," kata Ayah sambil menghirup kopi di depannya. "Aku yakin sebentar lagi Ica pasti datang ke sini merengek-rengek kaya waktu minta antar liat Rakha sunat dulu," balas Papa disambut tawa renyah mereka semua. *** "Gue ke ruangan Papa dulu ya, lo tunggu bentar!" kata Ica nggak sabar. Tapi tangannya di tarik Rakha sehingga dia tak jadi pergi. Ica mengerutkan kening bingung. Sekarang Ica mengikuti Rakha duduk di lantai, Rakha di dalam sel dan Ica di luar, duduk menyandar pada tiang besi itu. "Bener lo nggak jadian sama Daniel? Gelagatnya tuh KuDaniel suka sama lo!" tanya Rakha tiba-tiba. "Apa an si, kok ngomongin itu, sekarang lo pikirin caranya bebas dulu." "Lagian gue nggak mau kepedean, mana level Daniel sama gue Kha. Gue malah takut tau, dia ke 'kayaan'. Nggak cocok sama gue. Lo jan ngadi-ngadi deh ngomongnya. Kita cuma temenan kok," sambung Ica. Rakha mengulas senyum mendengar jawaban jujur Ica. "Oh ya? Emang tadi kalian kemana aja? Dia ngomong apa tadi?" Rakha tidak percaya, sebagai sesama laki-laki dia pasti tau gelagat para buaya darat sejenis dirinya. "Ke Jelawat, ikut mancing. Ehmm dia bilang apa aja tadi ya...Dia mau kuliah di LA trus gue lucu katanya! Gitu doang kok," kata Ica setelah lama mengingat-ingat. "Astaga Ica, lugu banget jadi cewek! Mana ada cowok muji-muji kalau nggak ada maksudnya," batin Rakha. "Enak banget ngomong LA, kaya mau ke pasar doang, Orang kaya sih bebas ya... Iya kali dia suka sama cewek biasa kaya gue, dia bisa pilih cewek cantik manapun yang dia mau, dia cuma mau temenan sama gue Rakha!" "Hmmm," Rakha malas menanggapi. "Trus sekarang lo gimana ini? Di penjara berapa tahun kira-kira? Sampe tua ya? Gue ogah temenan sama narapidana kalo gitu," cerocos Ica. Rakha menjitak kepala Ica, "bacot lo ya!" Sambil mengusap kepalanya Ica ngomong lagi, "Kalau sampai lo nggak dapet surat berkelakuan baik gimana? Kalau lo di tolak kuliah kedokteran gara-gara ini gimana Rakha? Lo pengen banget jadi dokter kan? Kenapa sampai kena razia si? Bahaya tau ugal-ugalan di jalan itu," kali ini Ica nampak serius, matanya bahkan sampai tak berkedip menatap Rakha. Sejenak, Rakha tertegun melihat wajah cantik itu yang terlihat sangat mengkhawatirkannya. Bahkan memikirkan sampai masa depannya. Ica benar-benar setulus itu. "Gue nggak pa-pa di penjara Ca. Di penjara sama hati lo yang tulus dan baik itu. Gue bersumpah mulai hari ini gue akan ngejar lo. Lo cuma punya gue!" batin Rakha. "Au akh!" kata Ica manyun. Dia kembali menyandar di tiang sel. "Ca..." kata Rakha setelah lama mereka saling diam. "Hmmm," gumam Ica yang kini malah mengantuk. "Gue... gue sama Zara nggak jadian kok." "Trus?" kata Ica mulai memejam. "Ya, gue nggak mau aja lo mikir yang aneh-aneh." "Gue nggak perlu sampe mikir kali. Emang lo aneh!" "Ca, gue serius." sungut Rakha. "Gue nggak peduli Rakha! Lo sama Zara, Naima, Jihan, Laura, Sinta kek. Tuh gue sampe apal nama mantan lo!" kata Ica yang semakin melemah karena kantuk. "Tapi kali ini gue janji, gue nggak akan asal pacaran lagi. Gue mau serius kuliah aja. Sama fokus ganggu hidup lo doang!" Ica mendadak duduk tegak, membuka mata lebar. Menoyor kepala Rakha, "bacot lo!" Mereka tertawa bersama, "Pelan-pelan Ca. Pelan-pelan lo harus nerima perasaan gue!" "Gue juga... waktu itu... gue nggak ciuman kok sama Zara. Dia aja yang malah mau nyosor." Sempat tertegun, Ica lalu menyahut cuek, "Ciuman juga nggak pa-pa kok, lo bukan pacar gue ini. Kenapa harus diperjelas si?" "Ya gue nggak mau aja lo mikir yang macem-macem, ntar lo aduin sama Bunda lagi," alibi Rakha. "Kapan gue pernah cepu si Kha?" "Sering! Tiap hari! Gue nyebat aja lo aduin!" Ica akhirnya ngikik. Iya betul, sesuatu yang menurut Ica tak baik untuk Rakha akan dia adukan agar cowok tengil di depannya ini tobat. Tapi untuk urusan percintaan rasanya, Ica malu untuk membicarakan hal itu pada orangtua. "O iya, selamat Kha!" Ica mengubah topik, mengulurkan tangan ke arah Rakha. "Maksud?" Ica nyengir, "otak lo ternyata keren juga! Kok bisa si lima besar? Nyontek atau ke dukun lo?" "Sembarangan, gue ngepet soal kali," kata Rakha asal mereka ketawa lagi lupa kalo lagi di tahan. Bicara dengan Ica memang semenyenangkan itu menurut Rakha. "Trus hadiahnya mana?" kata Rakha sambil mengulurkan tangan. "Ini nih cikal bakal gratifikasi!" Ica mencibir dan kembali menyender ke tiang sel. 'Cup' Ica melotot kaget saat bibir Rakha mendarat di pipinya. Dia menegakkan tubuh dengan menyentuh pipinya yang kena cium. Meski ciuman yang super kilat, tapi mampu mengantar gelenyar aneh yang membuat tubuhnya memanas dan pipinya memerah. "Satu sama!" kata Rakha sambil tersenyum manis menyugar rambut dan menaik turunkan alis. Puas melihat wajah malu Ica yang menggemaskan. "Ekhmmm!" deheman keras Papa yang sudah berdiri tak jauh dari sel, membuat dua orang itu kelabakan. Bunda dan Ayah juga ada disitu. Mereka memalingkan wajah malu kayak pasangan di gerebek polisi habis berbuat m***m di pos polisi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD