Sudah hampir sepuluh menit kami duduk di pinggir jalan desa yang sepi. Matahari memanaskan kulit, membuat tubuhku terasa seperti terbakar. Langit cerah, tapi sama sekali tak menunjukkan belas kasihan. Angin pun pelit berhembus. Aku menyeka keringat di pelipis dengan sisa tenaga yang ada, sementara Arvind berdiri mematung seperti sedang menghitung waktu yang tak kunjung memihak. Lalu, sebuah mobil pengangkut rumput ternak melintas. Tanpa pikir panjang, Arvind mengangkat jempolnya. Nada suaranya mendadak berubah, tak lagi dingin dan angkuh seperti biaSanaza—melainkan penuh kerendahan hati. “Maaf, Pak. Saya dan istri saya tersesat dari rombongan saat jalan-jalan. Dia kehausan... Boleh kami menumpang sebentar untuk mencari penginapan?” Kata "istri" yang keluar dari bibirnya membuat dadaku m

