Amelia membawa aku ke rumahnya. Rumah Amelia cukup megah, di dalamnya juga nyaman, ada sofa, ranjang, kulkas, mesin cuci, lemari, dan masih banyak perabotan lain. Amelia menawarkan makanan kepadaku, banyak sekali makanan yang dihidangkan ada seekor ayam panggang, beraneka kue, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
"Ini kan hari peringatan kematianku jadi mama yang memasak ini semua, setiap tahun beliau pasti mendoakanku dan menyiapkan ini semua. Mama juga mengirim aku uang sekoper, tuh lihat banyak kan uangku", sambil menunjuk ke sebuah koper.
"Sudah 8 tahun tapi mama masih tetap merasa kehilanganku, aku ini putri semata wayangnya. Aku berharap mama bisa bahagia di dunia", wajah Amelia terlihat sedih.
Akupun makan dan berterimakasih kepada Amelia. Dan izin pulang ke tempat ko Edy karena harus membantu di sana lagi.
"Terimakasih ya Amel atas makanananya, boleh kan aku panggil Amel".
"Sipp, Dra, aku juga panggil kamu Dra, bagaimana?"
"Boleh".
"Nanti malam aku ke restoranmu sekalian makan mie di sana baru kita mencari keberadaan suami dan anakmu".
"Oke".
Saat aku dan Amelia berjalan keluar rumah, seorang pria berjaket kulit dengan mengendarai motor ninja berwarna hijau berhenti tepat di depan kami.
"Hai, Amel cantik. Siapa ini di sebelahmu?"
"Ini teman baruku, dia arwah yang baru meninggal".
"Aku Leonardo, panggil saja Leon".
"Aku Diandra".
"Nama yang cantik seperti pemiliknya. Aku tinggal di seberang, kalau kamu ada waktu boleh mampir ke sana".
Diandra melihat ke seberang, nampak rumah yang teramat megah.
"Wah, rumahmu megah".
"Iya, aku ini termasuk orang kaya di dunia ini maupun di dunia manusia namun aku meninggal karena kecelakaan motor yang menggenaskan".
"Aku juga meninggal dalam kecelakaan mobil, mobil kami terbakar dan aku berada di dalamnya, jasadku hangus terbakar".
"Kita sama-sama mengalami kematian yang menyedihkan mungkin kita bisa berteman".
"Terimakasih. Kalau begitu aku pamit dulu, Leon, Sampai jumpa lagi Amel".
Diandra pun kembali ke restoran bakmie ko Edy dan malampun tiba, Amelia datang, makan dan berbincang sebentar lalu aku minta izin untuk selesai lebih awal ke ko Edy.
"Ko Edy orang yang baik dan pengertian. Dia meninggal 5 tahun lalu karena bunuh diri. Padahal di dunia dia adalah orang kaya di kampungnya tapi entah kenapa dia memilih bunuh diri dan berakhir seperti kita menjadi arwah penasaran", cerita Amel kepadaku.
"Ternyata kekayaan memang tidak menjamin kebahagiaan. Dan kebanyakkan dari kita mengalami kematian yang menyedihkan".
"Aku rasa itulah sebabnya kita menjadi arwah penasaran, Dra. O, iya Dra, kamu meninggal karena kecelakaan mobil kan, kalau begitu kita harus ke lokasi kecelakaan terlebih dahulu".
Kami lalu pergi menuju dunia manusia dan sampai di sebuah halte.
"Dimana lokasi kecelakaan mu, Dra?"
"Di daerah pedesaan dan lokasinya cukup jauh dari sini, bagaimana kita ke sana?"
"Kita naik bus", sambil menunjuk bus di halte.
"Apa arwah bisa naik bus?"
"Tentu".
"Bagaimana caranya?"
"Kita hanya perlu menunggu manusia naik bus, begitu pintu bus terbuka kita akan ikut masuk bersama mereka".
"Jadi kita tidak bisa membuka pintu tanpa bantuan manusia".
"Kita tidak bisa menyentuh benda-benda yang ada di dunia manusia, meskipun bisa itu akan menguras banyak energi kita".
"Itu ada manusia yang akan naik bus, ayo kita ikut naik".
Kamipun bergegas naik dan mencari tempat duduk yang kosong. Dan kami turun di dekat halte tempat lokasi kecelakaan dan melanjutkan dengan berjalan kaki.
"Disini tempat kecelakaan itu, mobil kami masuk ke jurang, dan tak lama kemudian meledak".
"Kalau begitu aku akan bertanya dengan arwah penunggu di sini".
"Arwah penunggu?"
"Iya karena ini di jurang pasti ada yang menunggu".
Kemudian kami bertemu seorang nenek dekat jurang, beliaulah arwah penunggu jurang tersebut. Kami bertanya kepadanya mengenai kejadian tersebut.
"O, kecelakaan kemarin ini, aku mendengar suara ledakan yang keras dan aku melihat 3 orang di sana. Seorang pria dewasa, seorang balita dan,....", Nenek itu melihat ke arahku.
"Kamu terbakar di dalam mobil".
"Iya, Nek. Akulah korban wanita dalam kejadian tersebut. Ada hal yang ingin kutanyakan, maukah Nenek memberitahuku kemana mobil ambulance membawa korban kecelakaan itu. Aku waktu itu langsung dibawa oleh malaikat penjemput jadi aku kehilangan jejak mereka".
"Oo, tentu Nenek tahu. Ambulance itu bertuliskan Rs. Kasih Bunda".
"Terimakasih Nek atas informasinya, Aku ingin sekali menjenguk suami dan anak ku".
"Iya sama-sama, Cu. Tapi saran Nenek kamu lebih baik tidak mencari mereka, itu akan membuatmu semakin susah untuk melepas mereka. Apa yang sudah kita tinggalkan lebih baik kita ikhlaskan".
Aku tertegun mendengar ucapan nenek itu tapi aku ingin melihat keadaan mereka. Aku hanya ingin memastikan mereka baik-baik saja.
Segera aku mendatangi rumah sakit tersebut bersama Amelia. Aku cukup kesulitan untuk masuk karena pintu kaca rumah sakit tertutup dan karena hari sudah malam tak ada manusia yang datang sedangkan Amelia karena dia sudah cukup lama meninggal, Amel dapat menembus dinding dengan energinya.
"Dra, aku bisa membantumu menembus dinding ini tapi mungkin akan menguras energiku".
"Terimakasih, Amel. O, iya Mel kapan aku bisa mempunyai kemampuan menembus dinding sepertimu".
"Semua arwah berbeda tingkat energinya, Dra, ada yang butuh seminggu, sebulan bahkan setahun. Ayo pegang tanganku dan kita masuk".
"Iya Mel".
Kami pergi berkeliling, mencari kamar demi kamar, dan tak lama aku melihat Alesandra keluar dari sebuah kamar.
"Itu Alesandra, saudara kembarku, ia baru keluar dari kamar itu".
"Ayo, Dra, kita ikuti dia".
Alesandra berjalan menuju meja perawat.
"Sus, Sean sudah terlelap. Aku ingin ke ruang ICU sebentar. Titip Sean ya Sus".
"Iya, mba kami pasti terus memantau".
"Terimakasih Sus".
"Jadi tadi itu kamar dimana Sean di rawat dan sekarang Alesandra ingin ke ICU, mungkinkah Febri disana".
Aku dan Amelia terus mengikuti dan masuk ke ruang ICU. Disana terbaring seorang lelaki dengan banyak perban di tangan, kaki serta kepala. Dia juga memakai alat bantu pernapasan. Dan itu, ya benar itu suamiku Febri.
"Papah", aku sedih melihat keadaan Febri dan tak dapat menahan air mataku.
Sementara Alesandra berbicara ke Febri bahwa dia akan melakukan acara pemakaman besok.
"Febri, aku ingin memberitahumu kalau besok aku akan memakamkan Diandra di TPU Kayu Jati, aku minta izin darimu ya, kamu harus cepat sadar demi Sean".
Aku hanya bisa menangis melihat suamiku. Aku tidak bisa menyentuhnya, aku tidak bisa memberinya semangat, aku bukan istri yang baik. Akupun tak bisa berlama-lama di sana melihat suamiku. Saat Alesandra keluar kami pun ikut keluar dan tangisku pun pecah saat itu. Amelia memelukku dan berusaha menenangkanku.
"Aku harus ke pemakamanku besok, Amel, aku...., ", menangis sesegukan.
"Iya, Dra, aku akan menemanimu".
Kami menunggu sampai pagi di rumah sakit di depan kamar Sean. Dan akhirnya Alesandra datang bersama Erick. Akupun ikut masuk ke kamar saat mereka masuk. Aku melihat Sean, disini aku berkaca-kaca, aku rindu memeluknya, membelainya, menciumnya, tapi..... Aku sedih namun aku senang melihat keadaan Sean yang baik, hanya luka lecet di tangan dan kakinya serta lembam di area pipi kirinya.
"Sean, hari ini kita mau pulang ke rumah. Sean senang kan. Tante juga mau bawa Sean melihat mama. Sean doain mama ya supaya bahagia di sana".
Mereka pun menuju pemakaman bersama mobil ambulance dan aku ikut serta di dalam mobil.
Di pemakamanku hanya ada Alesandra, Erick, beberapa teman Alesandra dan beberapa kerabat Febri. Karena kami anak yatim, kami tidak mempunyai keluarga sedangkan Febri juga hanya anak tunggal, ayahnya sudah lama meninggal dan ibunya belum lama meninggal saat Sean baru berumur 3 bulan. Pemakamanku berjalan lancar, mereka membaca doa dan menabur bunga.
Aku melihat papan nisanku sendiri bertuliskan namaku Diandra, lahir 24 Mei 1990, wafat 24 Mei 2014. Hancur rasanya hati ini, aku benar-benar sudah menjadi arwah.
"Sean, ini mama Sean, sekarang bobo di sini. Sean sama Tante ya, Tante akan selalu menjaga dan melindungi Sean", Alesandra menangis dan memeluk Sean.