Chapter 4 - 6

1005 Words
CHAPTER 4                 Pak Danendra menerima kebaikan Elora, mereka kini menunggu di depan sekolah bersama motor vespa yang diseretnya. Tak butuh lama, sebuah truk pick up datang di hadapan mereka, seorang pria berpakaian montir yang khas yang hanya bagian kaki saja yang dipakai keluar dari sana.                   “Ayah!” sapa Elora tersenyum. “Ayah, bisa bantu guru Elora, gak? Bannya kempes.”                   Sang ayah walau berwajah seram, menoleh dengan senyum ke sang guru. “Ah, tentu saja. Ayo!”                   Ayah Elora mulai membuka pagar belakang pick up-nya di mana Elora ternganga ketika dengan mudahnya Pak Danendra mengangkat itu dan menaikkannya ke sana. Ia juga sempat melihat bentuk otot di balik baju kunonya yang membuatnya kelihatan begitu kurus.                   “Kuat juga Anda, Pak!” Ayah Elora yang menyadarinya tertawa pelan.                   Pak Danendra tampak salah tingkah. “Anu, emang didesain biar ringan,” dalihnya.                   Mereka pun masuk ke dalam pick up di mana Elora ada di tengah-tengah sementara ayahnya menjadi sopir dan gurunya penumpang sampingnya. Elora duduk berbagi dengan sang ayah.                   “Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih, ya, Pak!” ujar Pak Danendra.                   “Dengan senang hati, Pak! Asalkan Bapak bimbing anak saya dengan baik, biar jadi juara kelas terus!” Ayah Elora mengacak-acak rambut anak gadisnya itu.                   “Ih, Ayah!” kesal Elora. Sementara dua orang dewasa di antaranya tertawa.                   “Jadi, Bapak ngajar apa?” tanya Ayah Elora berbasa-basi.                   “Fisika, saya guru baru honorer di sini.” Ayah Elora mengangguk paham. Sementara mereka bercakap-cakap, Elora dengan intens menatap ke arah samping jendela di mana kelompok anak-anak berjaket bersama motor mereka seakan tengah berjaga di sana. Tak lupa, tiga gadis yang begitu Elora kenal, siapa lagi kalau bukan Mona, Ivanna, dan Clarisa. Elora menghela napas lega mereka tak sadar ia lewat.                   “Mana, sih, tu guru? Kata lo lo pada dia bakal lewat sini?” Mona menatap jengkel Ivanna dan Clarisa yang menatap takut.                   “Belum pulang kali, Sayang. Coba kita cek, deh, di sekolah!” Menaiki motor masing-masing, mereka pun kembali ke sekolah yang nyatanya, parkir guru, telah kosong begitu saja.                   Mona menggeram. “Hih, lucky banget, sih! Jangan-jangan ada yang kontekin dia? Gue curiga sama Elora!”                   “Sayang, santai, masih ada hari esok, oke? Kali ini, dia gak bakalan lepas. Dan oh, siapa tadi, Elora? Lets play with her too.”   CHAPTER 5                 “Bu, sungguh, itu bukan punya saya!” Elora membela dirinya.                   Wanita yang duduk di hadapannya menunjuk majalah dewasa yang bersampul pria shirtless yang basah kuyup menunduk sedemikian rupa.                   “Terus, terus kenapa ini saya temuin di bawah meja kamu?” tanya sang guru dengan galaknya, Elora menggeleng tak terima. “Ibu selalu lihat, bacaan novel kamu, novel dewasa, ‘kan?”                   “Roman belum tentu dewa—”                   “Sudah, kamu diem!” Sang guru menyela. “Ibu beri keringanan kamu tak ibu laporkan ke orang tua, tapi sebagai gantinya kamu izin minta sama ayah kamu jemput lebih lama.”                   Mata Elora melingkar sempurna. “Maksud Ibu, saya dihukum, gitu?”                   “Iya, membersihkan sampah di lapangan sampai pukul empat. Jangan coba-coba kabur karena Ibu bakal minta Pak Satpam buat liatin kamu.”                   Elora ternganga. “Tapi sumpah, Bu! Itu bukan punya saya!”                   “Tak ada bantahan, atau kamu mau Ibu laporkan ke orang tua kamu?” Elora terdiam, membaca novel pun sebenarnya amatlah tabu baginya, ia tak ingin hal tersebut terbongkar dari mulut sang guru. “Mengerti, Elora?”                   “Mengerti, Bu.” Elora pasrah saja.                   “Sekarang, kamu boleh balik ke kelas. Tapi ingat hal tadi, oke?” Elora mengangguk, ia berdiri dari duduknya melangkah gontai keluar ruangan.                   Di mana, di belakangnya tiga buah kepala mengintip, terkikik geli.                   “Rasain, tuh!” Clarisa menyumpahi.                   “Sekarang, gue yakin rencana kita yang lain bakal mulus.” Mona tersenyum lebar.                   “Mampus!” Ivanna menambah, ketiganya lalu kompak.                   Sementara bu guru yang ada di ruangannya menatap penasaran majalah dewasa di atas meja, menatap kiri dan kanan, ia lalu memandang kagum dengan pria yang ada di cover majalah tersebut.                     CHAPTER 6 Beberapa jam sebelumnya ....                   Banyak anak-anak yang memandang gerik Mona, Ivanna, dan Clarisa yang melakukan sesuatu pada salah satu meja yang ada di kelas. Walau setelahnya, mereka memilih diam tak peduli. Mona mengganjal sesuatu seperti buku tipis ke sebuah buku lain namun tebal di bagian bawah meja itu.                   Bel berdering tanda masuk kelas berbunyi, mereka bertiga buru-buru menjauh dari sana dan duduk di bangku masing-masing. Saat itulah, anak-anak yang berada di luar masuk termasuk si empunya meja.                   Elora.                   Semuanya yang ada di sana lalu duduk dengan tenang ketika guru perempuan masuk ke kelas. “Pagi, Anak-anak!” sapa sang guru.                   “Pagi, Bu!” sahut mereka.                   “Baiklah, langsung saja kita sambung pelajaran yang kemarin-kemarin, masih ingat?” tanyanya.                   “Hak Asasi Manusia, Bu!” jawab salah seorang murid.                   Elora mengeluarkan buku di bawah mejanya di mana ketiga mata gadis berpakaian ketat itu begitu memperhatikan dengan antusias. Perhitungan mereka tepat ketika menarik keluar buku, sebuah buku lain jatuh di lantai.                   Suaranya yang lumayan nyaring, membuat beberapa pasang mata menoleh.                   “Eh, itu apaan?” Seorang anak perempuan memekik sambil menutup matanya. Elora tampak tak kalah terkejut dengan objek yang mereka temukan.                   Sang guru yang penasaran ikut memandang ke arah mereka, sontak menghampiri ke sumber suara, dan belum Elora bergerak apa pun ia mengambil buku yang sebenarnya adalah majalah itu.                   “Astaga, kamu kenapa bawa-bawa ini ke kelas?” Elora siap bersuara untuk mengelak namun sang guru kembali bercakap. “Setelah habis mapel saya, ikut saya ke kantor! Jangan ada bantahan!”                   Bentakan itu, membuat Elora terdiam. Sedang tiga gadis yang menjadi dalang itu semua saling tos pelan. Elora melirik ke arah mereka dengan sendu, tahu siapa yang seharusnya bertanggung jawab tetapi ia tahu tak bisa melakukan apa pun.                   Sungguh, ia sejujurnya benar-benar khawatir dengan Pak Danendra sekarang.                   Mungkin Pak Danendra memang tak ada sangkut pautnya dengannya, bahkan Elora tak punya alasan kuat mengapa ia ingin menolong pria itu selain rasa terima kasihnya membantunya kemarin.                   Hanya saja, ia sejujurnya punya rasa bersalah jika tahu tetapi tak melakukan apa pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD