2. First Meet

881 Words
Memiliki tubuh kecil dan tinggi badan yang tidak seberapa bukanlah pilihannya, Alexa juga tidak mempermasalahkannya. Tetapi, terkadang tinggi badannya itu mengganggu juga. Dari seluruh anggota keluarga, mengapa hanya dirinya yang dikaruniai tubuh mungil? Mengapa ia harus mewarisi gen ibunya yang tidak bisa tumbuh tinggi? Parahnya ibunya masih memiliki tinggi badan dua centimeter lebih tinggi dibandingkan dengan dirinya. Bukan hanya satu atau dua kali ia dianggap anak sekolah menengah pertama. Padahal usianya telah menginjak sembilan belas tahun, ia adalah seorang mahasiswa ilmu ekonomi di Universitas of Cambridge, London. Universitas itu adalah salah satu universitas terbaik yang berada di peringkat ke dua terbaik di Inggris dan berada di peringkat keenam di dunia. Kesulitan lain saat ini adalah, ia harus mengenakan sepatu dengan hak di atas 10 centimeter karena tidak mungkin mengenakan sepatu sneaker atau sepatu boots untuk menghadiri pesta pernikahan Grace dan William. Meskipun sepatu yang ia kenakan cukup nyaman karena Grace mendesain khusus untuknya, tetap saja Alexa kesulitan untuk melangkah dan bertahan lama berdiri di atas sepatu dengan tumit runcing seperti ujung tombak itu. "Gabe...." Rengek Alexa sambil menarik ujung jas yang dikenakan oleh Gabriel. Saat itu mereka berdua masih di tengah-tengah acara pesta pernikahan Grace dan William. Gabriel tahu, sepupunya itu sangat rewel dan menyusahkannya. Alexa memiliki empat saudara, tetapi ia lebih sering merengek kepada Gabriel. Padahal jika dipikir-pikir Gabriel memiliki adik yang usianya hanya terpaut dua tahun dari Alexa, kenapa Alexa tidak menempel kepada Wilson saja? "Apa lagi?" Gabriel, meski ia terganggu nyatanya ia memang tidak bisa mengabaikan Alexa. Mungkin karena ia tidak memiliki adik perempuan, nalurinya sebagai anak pertama membuatnya menjadi lembut terhadap Alexa dan memperlakukan gadis itu sebagai adiknya. "Kau belum diizinkan," ucap Gabriel yang tahu dengan apa maksud Alexa. Gadis itu menatap gelas berisi wine di tangan Gabriel. "Wilson meminumnya," protes Alexa, bibirnya tampak memberengut. Gabriel meletakkan gelas di tangannya lalu dengan gerakan lembut mengelus rambut di atas kepala Alexa. "Wilson dua puluh satu tahun," ujarnya. "Kenapa begitu rumit peraturan keluarga kita?" Gabriel tersenyum lembut kepada Alexa, pria itu merogoh saku jasnya dan menggeser layar ponselnya, mengamati barisan huruf yang tertera di sana kemudian membalas pesan. Ia melirik jam di bagian atas layar ponselnya lalu menekan kunci layar ponselnya dan memasukkan benda pipih itu ke dalam sakunya kembali. "Kau berpikir terlalu banyak, kami tidak masalah dengan aturan keluarga," ucap Gabriel sambil sedikit menggelengkan kepalanya. Di dalam keluarga besar mereka ada sebuah aturan, di mana semua anak-anak di keluarga Johanson tidak diperbolehkan untuk mengonsumsi minuman beralkohol hingga usia dia puluh satu tahun. Awalnya hanya keluarga Johanson saja yang menerapkan aturan tersebut, tetapi keluarga Smith juga ikut menerapkannya. "Ayo, ikut denganku," ucap Gabriel. "Ke mana?" "Ke lounge, bukankah kau ingin melihat tempat itu?" Gabriel menaikkan sebelah alisnya. Bibir Alexa sedikit menganga, sorot tampak matanya berkilat. "Kau serius?" "Apa aku terlihat sedang bercanda?" "Bagaimana jika Daddy tahu?" "Aku bertanggung jawab, lagi pula hanya sepuluh menit dan kau juga kupastikan hanya meminum orange juice di sana" Gabriel merengkuh bahu Alexa menggunakan lengannya lalu mengajak gadis itu keluar dari  tempat di selenggarakannya pesta pernikahan paling mewah tahun ini di London. Alexa mengernyit, ia mengamati desain lounge yang ia kira adalah tempat yang menakjubkan, tetapi nyatanya hanya ada meja dan sofa, meja bartender dan kursi tinggi di depan meja bartender juga sebuah panggung live music yang tidak begitu besar. Dibandingkan dengan tempat itu bahkan masih mewah ruang mini bar milik keluarganya. "Sudah terjawab penasaranmu?" "Ck, sama sekali tidak menarik," ucapnya dengan nada sinis. Gabriel terkekeh. Ia merasa geli karena kepolosan Alexa, tempat itu masih sepi karena khusus live music kebetulan sedang diliburkan dan juga waktu masih menunjukkan pukul tujuh malam, terlalu dini untuk orang-orang bersantai dan mengonsumsi minuman beralkohol. "Teman-temanmu itu berbohong, aku yakin jika kau pergi ke club malam, tempatnya tidak lebih baik dari ini, kau pasti tidak akan merasa nyaman," ucap Gabriel meyakinkan Alexa. "Kalau begitu ayo pergi dari sini," ucap Alexa sambil menarik lengan Gabriel. Gabriel menahan gadis itu. "Tunggu, aku harus bertemu temanku sebentar," katanya. Alexa menatap Gabriel dengan bibir tampak mengerucut. "Sepuluh menit. Oke?" Gabrile mengangguk, ia melangkahkan kakinya menuju sebuah sofa di mana seorang pria duduk sementara Alexa masih menempel di lengan Gabriel dengan cara yang sangat posesif. "Ken...." Gabriel menyapa pria yang sedang duduk sambil menatap layar ponsel di tangannya. Pria itu mendongakkan wajahnya, memasukkan ponsel ke dalam saku celananya lalu berdiri. "Gabe, apa kabar?" Sapa Kenzo. Kenzo dan Gabriel, mereka telah bersahabat baik selama Kenzo tinggal di London dan setiap kali Kenzo mengunjungi London, ia selalu menyempatkan dirinya untuk bertemu Gabriel meski hanya duduk beberapa menit sambil menikmati secangkir kopi. "Ah, kabarku sangat baik, bagaimana denganmu?" tanya Gabriel. "Oh, iya. Perkenalkan dia sepupuku, Alexandria Johanson." Kenzo tersenyum, matanya menatap menatap Alexa. "Hai, senang bertemu denganmu," katanya. "Hai." Hanya itu yang keluar dari bibir Alexa. Malas, tidak tertarik untuk berkenalan. "Namanya Kenzo," ucap Gabriel. "Hmmm...." Alexa hanya bergumam. Kedua sahabat itu mulai berbincang dalam obrolan yang tidak Alexa mengerti dan tidak ingin mengerti, ia meraih ponsel yang berada di dalam clutch bag miliknya lalu memiringkan posisi ponselnya, bermain game. Ia bahkan tidak memedulikan ketika Gabriel menempelkan sedotan ke bibirnya, ia hanya melirik menggunakan ekor matanya lalu menghisap orange juice melalui sedotannya lalu kembali melanjutkan acaranya bermain game. Sekilas Kenzo melirik ke arah Alexa. Anak manja. Itulah kesan yang langsung terpatri di otaknya. Tiba-tiba otak Kenzo sibuk menilai Alexa yang tampak sedikit menyebalkan dan terlalu acuh. Memang sedikit menggemaskan, tetapi jika Kenzo harus menghadapi gadis itu sudah pasti ia tidak akan memiliki kesabaran seperti Gabriel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD