Untuk Dapatkanmu

937 Words
Dentuman musik keras, suara orang berbincang maupun tawa mengisi penjuru ruangan. Chelsea duduk pada sudut dekat dengan pintu masuk. Sedari tadi matanya mengawasi semua orang yang masuk ke ruangan, namun beberapa kali ia mengembus napas gusar saat tak menemukan sosok yang ditunggunya. Apa yang kuharapkan? Dia pasti nggak mau datang ke tempat ini. Lagian, dia nggak pernah suka keramaian. Aku aja yang terlalu berharap. Chelsea meneguk minuman soda yang sedari tadi tak disentuhnya. Khusus hari ini ia tak ingin bergaul dengan siapapun. Pikirannya terlalu sibuk memikirkan seorang lelaki, hingga tak mungkin rasanya jika ia bisa nyambung saat diajak berbincang. Di sisi lain, lelaki yang baru menyelesaikan pekerjaan paruh waktunya itu memperhatikan piring-piring yang baru saja disusunnya. Tepukan pada pundak membuatnya mengarahkan pandangan ke belakang punggung. “Biasanya anak muda sepertimu menghabiskan malam minggu di luar.” Lelaki tua itu melirik jam tangannya, “Shift-mu udah selesai dan malam masih panjang. Kenapa nggak sesekali pergi bermain bersama teman-teman seusiamu?” Angga tersenyum tipis dan menggeleng. “Jadi orang, harus menggunakan waktu dengan bijak. Aku nggak mau menghabiskan waktu untuk hal nggak penting seperti itu.” Lelaki paruh baya itu menggeleng-geleng tak setuju. “Waktumu akan terbuang sia-sia jika nggak menikmati hidup sesekali. Tahu-tahu, kau sudah tua sepertiku.” Angga hanya tersenyum singkat menanggapi ucapan lelaki yang sudah dianggapnya sebagai ayahnya sendiri. Lelaki itu berdecak sebal, memaksa Angga menikmati kehidupan mudanya jauh lebih sulit daripada mengerjakan soal matematika. “Berpesta, mabuklah di sana, dan jika beruntung kau bisa mendapatkan seorang gadis untuk dibawa pulang. Sesekali nakal itu perlu.” Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya, nasihan yang ia berikan tak terdengar baik, namun ia kehabisan cara untuk mengajari Angga arti masa remaja. Ia tak ingin pemuda itu menyia-nyiakan waktu yang ia miliki hanya untuk bekerja dan belajar saja. “Apa harus mabuk-mabukkan jika berpesta?” Lelaki itu tersenyum lebar mendengarkan minat Angga. Ia mengangguk antusias. “Ya memang seperti itu biasanya pesta. Apalagu gadis-gadis yang menghadiri pesta begitu mudah dirayu. Kau bisa mendapatkan pacar dalam semalam.” Ia terlalu semangat, hingga mendramatisir perkataannya, “Apalagi wajahmu tampan, Ga. Sekali kedip, sepuluh gadis ngantri.” Angga mengangguk-angguk. Pikirannya melayang pada sosok yang selalu merepotkannya kemana-mana. Walau terlihat meneybalkan dan sok gaul, sesungguhnya Chelsea terlalu polos. Pernah sekali Angga memergoki gadis itu digunakan oleh teman-temannya untuk mentraktir mereka semua. Atau Chelsea yang tanpa berpikir memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu saat ada yang menawarkan produk yang tidak ia pakai sama sekali. Gadis itu terlalu mudah dibodohi. Bagaimana jika gadis itu mabuk, lalu ada yang mengambil kesempatan? Semua pikiran buruk itu tanpa sadar memaksa kaki Angga untuk berlari dan meninggalkan tempat kerjanya, bahkan teriakan Om Dika yang mengatakan selamat berjuang terdengar begitu samar-samar. Pikirannya hanya satu; semoga kebodohan Chelsea tak kumat malam ini. Menit demi menit berlalu. Angga berdiri terpaku di hadapan rumah tiga lantai yang ada di hadapannya. Ia menimbang beberapa hal baik dan buruk yang akan terjadi jika ia memaksakan masuk ke sana. Pertama; ia tak banyak mengenal orang-orang yang hadir, kedua; di tempat seramai itu apa mudah menemukan Chelsea, dan ketiga; tidak mungkin ia menarik Chelsea keluar tanpa alasan khusus. Bisa-bisa gadis itu berpikir aneh akan dirinya. Angga mengeleng-geleng. Ia tak boleh banyak berpikir. Dengan berlari pelan Angga memasuki ruangan dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, matanya berhenti pada sosok gadis yang tengah duduk di meja bulat dengan beberapa orang yang tak begitu Angga kenal. Angga menimbang, apakah pantas dirinya ke sana? Bagaimana jika ia tak bisa membaur? “Angga ...” Suara gadis itu membuyarkan lamunan Angga, ia tersenyum kikuk kepada Chelsea yang melambaikan tangan ke arahnya. Wanita itu tersenyum bahagia, membuat Angga mematung sesaat. Melihat betapa baik keadaan gadis itu membuat Angga bagai orang bodoh, ia pun membalikkan tubuh dan hendak meninggalkan tempat itu. Kekhawatirannya sia-sia saja. Cengkraman pada pergelangan tangan, menghentikan langkahnya. “Kamu mau kemana lagi, Ga? Kamu ‘kan baru datang, masa mau pergi gitu aja?” gadis itu menatap Angga heran. “Aku ...” Angga tak mampu menyelesaikan kalimatnya, lebih tepatnya lagi, ia tak tahu alasan apa yang bisa ia utarakan untuk terbebas dari gadis itu. “Bergabunglah dengan yang lain. Hanya sebentar saja.” Gadis itu menatapnya memohon dan entah mengapa kali ini Angga tak bisa menolak. Ia tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Jhon yang mengundang Angga menyambut lelaki itu hangat dan mengucapkan terimakasih atas kedatangannya. Chelsea memperkenalkan Angga kepada beberapa teman yang tadi duduk bersamanya. Sesungguhnya, Angga pernah melihat mereka beberapa kali, namun ia tak tahu nama mereka semua. Yang ia tahu, mereka adalah teman palsu Chelsea. Mereka semua pindah ke taman belakang rumah yang agak sepi dan mulai bermain permainan yang mengharuskan siapa saja yang kalah untuk minum minuman keras. Awalnya Angga menolak, namun Chelsea membujuk dengan mengatakan permainan itu hanya sebentar dan nggak akan membuat siapapun mabuk. Permainan dimulai. Beberapa remaja mulai menegak minuman saat mereka kalah dan begitupun dengan Chelsea. Akan tetapi, pada kekalahan kedua, Angga segera merampas kaleng bir Chelsea dan mewakili gadis itu menerima hukuman. Permainan masih terus berlanjut walau beberapa dari mereka sudah mabuk parah, termasuk Angga sendiri yang sedari tadi memaksa mewakili Chelsea menerima hukumannya. Semua orang sudah mulai pergi, meninggalkan Chelesea dan Angga. Chelsea tersenyum sembari menatap wajah tampan lelaki itu dalam diam. Tak ada cela pada wajah lelaki itu. Kejadian tadi malam saat ia bertemu Olive terlintas secara tiba-tiba di benaknya. “Mau tahu gimana cara gampang dapetin Angga?” Chelsea menatap Olive penuh harap. “Hamil aja,” ucap gadis itu asal, membuat Chelsea terkejut bukan main. “Gila ya!” “Kalau udah ada bayi, papamu mau ngomong apa? Suruh gugurin, nggak mungkin. Ngusir Angga dan biarin kamu hamil tanpa suami rasanya nggak mungkin juga. Dia pasti luluh dan langsung nyuruh kalian nikah. Nggak pacaran, tapi bisa langsung nikah.” Pemikiran kekanak-kanakkan itu kini terasa benar bagi Chelsea. Ia menyentuh wajah Angga dengan lembut dan mengecup bibir lelaki itu. Pertemuan dua bibir tanpa gerakan sedikit pun, cukup lama dan membuat jantung Chelsea berdebar liar. “Haruskah aku menggunakan cara licik seperti itu untuk memenjarakanmu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD