Aku yang baru

1584 Words
 Mata Riska dan Nick melotot mendengar kabar buruk mengenai Ryan yang kini terbaring koma. Spontan wajah Riska menjadi pucat dan sedih menahan tangis. "Bagaimana itu bisa terjadi, Jeff?! Apa sebegitu parahnya hingga dia bisa koma?! Di rumah sakit mana dia dirawat sekarang?!" Riska mencecar pertanyaan pada Jeff. Tak lama ia menoleh ke arah Nick lalu bangkit memberikan Richard pada Mbok Karti. "Sebaiknya kita berkemas dan kesana sekarang, Nick. Entah kenapa perasaanku tak enak sekarang. Aku takut--" "Sstt…" Nick mendekap Riska dan berusaha menenangkannya yang paham jika takut kehilangan Ryan seperti kehilangan Aldi beberapa tahun yang lalu. Ia tahu jika sosok Ryan takkan pernah bisa hilang dari hati Riska karena pernah saling mencintai. Bahkan Riska selalu memikirkannya seperti sekarang. "Aku yakin dia pasti segera siuman, Ris. Percayalah jika Ryan lebih kuat daripada Aldi." Nick melepaskan pelukan dan memegang kedua bahu Riska. "Kau tetaplah disini dengan anak-anak biar aku dan Jeff pergi ke sana malam ini." "No, Nick!" Riska menolak. "Bagaimanapun juga aku harus melihatnya dan meyakini jika dia tidak separah yang aku pikirkan sekarang. Please.." Ia memohon dengan wajah melas dan mata berkaca-kaca. Nick menghela nafas pasrah dan tak ingin bertengkar ketika sepupunya dalam keadaan koma dan istrinya memaksa untuk pergi. Tapi melihat ketiga anaknya ia menjadi ragu. Nick menjadi dilema. "Tapi, Ris. Bagaimana dengan anak-anak kita? Mereka tak bisa kau tinggal begitu saja, Sayang." Nick memberi alasan dan meminta solusi agar ketiga anak mereka tak terlantar hanya karena melihat keadaan Ryan di Jakarta. "Kita akan membawanya bersama Mbok Karti dan menaruhnya di apartemenku. Bagaimana?" Sahut Riska cepat. Nick mengangguk pelan. Ide Riska memang tak bisa ia tolak karena selain bisa melihat Ryan mereka harus menaruh ketiga anak di sebuah tempat, untunglah mereka masih mempunyai apartemen di Jakarta dan Nick bisa mengabulkan permohonan Riska.  "Baiklah, Ris. Tapi ke apartemen ku karena aku yakin Ryan pasti dirawat dekat apartemenku." Ucap Nick, memberi saran. "Terserah, Nick. Yang pasti kita berangkat malam ini." Riska menyahut lalu menoleh ke arah Mbok Karti. "Berkemas-kemaslah, Mbok. Kita ke Jakarta malam ini." ❤❤❤ Riska, Nick dan Jeff berlari kecil di sepanjang koridor rumah sakit lantai 1. Langkah mereka terhenti setelah mendekati ruang ICU dan terlihat Jane dan Raaj duduk di depan ruangan itu. "Tia," Riska memeluk Jane yang matanya sembab dan menangis. "Ryan, Ris. Dia--" "Dia pasti segera siuman, Tia. Aku yakin dia pasti baik-baik saja." Potong Riska menguatkan Jane yang menangis terisak-isak. Jane menggeleng. "Keadaannya parah, Ris. Kedua rahangnya retak dan tulang hidungnya patah karena air bag itu tidak berfungsi. Wajah Ryan membentur kaca mobil dan dia--" Jane melepaskan pelukan dan memandang Riska yang meneteskan air mata. "Harus melakukan operasi setelah siuman." "Apa?! Operasi? Operasi plastik maksud, Tia?" Mata Riska melotot tak menyangka jika wajah Ryan rusak dan harus melakukan operasi plastik. Ia menyayangkan wajah tampan Ryan yang pernah ia nanti dan hadir dalam hari-harinya sebagai kekasih harus berubah. Tapi demi kebaikan dan kesembuhan Ryan, operasi itu harus dikerjakan secepatnya setelah siuman. Jane mengangguk sambil mengusap pipinya yang basah. "Ya, Ris. Aku gak bisa bayangin kalau wajah Ryan berubah, Ris. Dia satu-satunya yang aku punya." Air mata Jane kembali menetes dan tak bisa membayangkan jika kehilangan Ryan apalagi wajah Ryan yang akan berubah. Riska meraih, menggenggam dan  mengusap pelan telapak tangan Jane. "Kita berdoa saja demi kesembuhan Ryan, Tia. Semoga saja Ryan berhasil melewati masa komanya dan cepat sembuh. Tia harus kuat, Ok?"  Jane mengangguk dengan wajah sedih dan kembali menangis. ❤❤❤ Tiga hari kemudian,  Rumah sakit swasta Harapan Kita, Jakarta Selatan Riska menggenggam tangan Ryan yang masih tak sadarkan diri. Ia terus berdoa dan berharap Ryan segera siuman agar tak lagi melihatnya di rumah sakit. Sejak dulu Riska membenci rumah sakit. Semenjak ibunya dirawat hingga tiada, ia tak ingin menjejakkan kaki di gedung yang mayoritas berwarna putih itu. Tidak hanya kehilangan ibundanya, bahkan suami yang sangat ia cintai juga mengembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Itulah mengapa ia berharap Ryan cepat sadar dan sembuh agar bisa di rawat di apartemen daripada di rumah sakit dengan bau obat yang menusuk dan sejuta kenangan yang mengingatkannya pada kedua orang yang ia cintai. "Bangunlah, Yan. Sadarlah.." Ia memohon dengan air mata menetes memandangi tubuh Ryan yang serupa dengan Aldi. Ditempeli selang, beberapa kabel menempel di d**a, dan wajah yang ditutupi perban. "Kumohon, sadarlah, Yan. Richie membutuhkanmu dan aku juga tak ingin kehilanganmu dengan cara seperti ini. Kumohon, bangunlah…" Air mata Riska menetes dan membasahi telapak tangan Ryan. Tak lama jari Ryan bergerak pelan dan spontan membuat Riska terkejut dan langsung menatap wajah Ryan walau hanya mata dan mulut yang terlihat, ia bisa melihat jelas gerak bibir Ryan walau pelan.  "Ris.." Suara Ryan seperti berbisik. Riska bangkit dan perasaannya campur aduk sekarang. Bahagia dan cemas menjadi satu. Riska menggenggam lagi tangan Ryan. "Bangunlah, Yan. Kami semua menunggumu." Ia memohon dan kembali menangis haru ketika melihat Ryan membuka mata pelan. "Sakit..Ris," Ryan mengerang kesakitan. Riska menggeleng dan tersenyum. "Kau pasti sehat, Yan. Percayalah padaku." Ia menyakinkan Ryan agar pria itu tidak shock melihat keadaan yang sebenarnya. "Aku harus panggil dokter. Ini kabar baik. Aku pergi sebentar dan jangan kau pejamkan matamu lagi, Yan. Sebentar saja.." Riska melepaskan pegangannya lalu berlari menuju pintu. Sesampai disana ia tersenyum ke arah dokter yang sedang bicara dengan Jane. "Dokter..Ryan sudah sadar. Dia sudah siuman," ucapnya. Mendengar ucapan Riska, dokter spontan memanggil perawat lalu masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa. Riska memeluk Jane dan tersenyum bahagia. "Ryan sudah sadarkan diri, Tia. Sudah kubilang dia akan siuman dan sembuh. Dan dia berhasil. Melewati masa kritisnya. Bahkan dia bicara padaku," Ia memberitahu dengan penuh haru dan Jane juga ikut terharu. Dan ia bisa melihat jelas cinta itu masih ada di mata Riska walau mereka tak bisa bersama. Seperti dirinya dengan Ardi. ❤❤❤ Keesokan harinya Riska mengunjungi Ryan bersama Nick. Kali ini Ryan terlihat lebih baik kecuali wajahnya yang masih diperban.  Riska duduk di single chair samping Ryan yang terbaring sementara Nick berdiri dibelakang Riska sambil memegang kedua bahunya. "Apa aku terlihat seperti mumi?" Tanya Ryan pada mereka. Riska spontan menggeleng. "Tidak, Yan. Kau tetap Ryan yang kami kenal. Tak ada yang berubah." Ia membalas untuk menguatkan Ryan agar tidak pesimis melihat wajahnya yang diperban. "Kau takkan mengenalku lagi, Ris. Wajahku hancur dan lusa aku harus ke Korea untuk melakukan operasi plastik. Aku kehilangan wajahku.." Ryan menghentikan ucapannya tapi tangisnya tak bisa ia tahan. Riska menggenggam tangan Ryan dan sempat menjadi perhatian Nick. Tapi Nick bersikap maklum karena saat ini Ryan membutuhkan motivasi untuk cepat pulih seperti semula, terlebih lagi harus kehilangan wajahnya yang tampan. "Apapun wajahmu kami selalu menyayangimu, Yan. Dan kami yakin operasi itu akan berhasil karena kudengar jika rumah sakit di Seoul itu langganan artis dan korban kecelakaan. Tak ada satupun pasien yang gagal, Yan. Begitu juga denganmu nanti." Riska semakin mengeratkan genggaman. "Percayalah, kau masih tampan dan menarik. Percayalah padaku, ok?!" Apa yang Riska katakan memang benar. Saat ini Ryan membutuhkan motivasi dan kepercayaan diri jika Tuhan masih menyayanginya untuk hidup. Walau Laura tak bisa berada disisinya sekarang. Ryan mengangguk pelan seperti suaranya. Ia tak bisa banyak bicara karena rahangnya terasa sakit. "Kau benar, Ris. Aku harus semangat dan yakin dengan kekuatan doa dan kehendak Tuhan. Karena Tuhan masih menyayangiku." Riska mengangguk setuju dengan kalimat 'kekuatan doa dan kehendak Tuhan', karena tak ada manusia manapun yang bisa melawan kehendak Tuhan. Sama seperti takdir mereka yang tak berjodoh sebagai suami istri tapi bersatu menjadi sepupu dari suami dan sahabat.  Sahabat yang saling mencintai. ❤❤❤ Sebulan kemudian, Bogor "Jeff, apa kau bisa gantikan aku meeting bersama Pak Indra di Kafe Nona?" Tanya Riska pada Jeff yang sedang berbisik dengan Dini. Jeff mengangguk setuju karena pekerjaannya sudah selesai di resort, walau sebenarnya ia sudah merencanakan untuk mengajak Dini kencan tapi terpaksa menunda selama beberapa jam sebelum makan malam. "Baiklah. Aku akan temui dia nanti, Ris." Balas Jeff menatap Riska yang memukul pelan bahunya sendiri. "Apa Nick tidak pulang hari ini?"  "Tidak, Jeff. Mungkin besok siang. Malam ini ia ada meeting bersama para investor dari Jerman dan besok pagi menemui Anwar di kantor penerbitan." Sahut Riska mengingat kegiatan suaminya yang super sibuk dan membutuhkan asisten pribadi agar pekerjaannya sedikit berkurang. Jeff menghela nafas prihatin membayangkan kesibukan Nick seperti Aldi semasa hidup. Penuh dengan acara dan kesibukan. Tapi disisi lain Jeff bernafas lega karena Nick tak bisa mengusiknya lagi dengan lelucon konyol yang biasa ia lakukan terhadapnya. Seketika Jeff tertawa dan membuat Riska terheran-heran. "Kenapa? Apa ada yang lucu?" Tanya Riska yang terheran. Jeff menggeleng walau masih tertawa. "Tidak. Tidak apa-apa," sahutnya. Riska menggeleng. "Kau aneh!" Tuduhnya lalu beranjak meninggalkan mereka menuju kamarnya di lantai dua. Sesampai kamar setelah melihat ketiga anak mereka yang masih tertidur, Riska kembali ke kamar sebelah. Ia berdiri di balkon sambil memandangi beberapa pengunjung sedang berenang dan duduk-duduk di taman.  Riska menghirup udara sore yang sejuk. Ia meraih handphone dari saku rok nya lalu melihat sebuah nomor kontak sambil memikirkan pemilik kontak itu. "Bagaimana kabar dia sekarang?" Gumamnya. "Ini sudah memasuki 3 minggu dia berada di Seoul. Kuharap operasinya berjalan lancar." 'Tok tok tok tok' "Masuklah." Pinta Riska setengah berteriak tanpa menoleh kebelakang dan menyangka jika itu Jeff. Setelah mendengar seruan Riska, seorang pria tampan masuk membuka pintu dan menutupnya pelan. Ia berjalan mendekati Riska sambil tersenyum. "Apa kau tak menyambut kedatanganku, Ris?" Tanya pria itu dengan suara berat. Riska tertegun mendengar suara yang tak asing dalam hidupnya. Suara yang sangat ia kenal dan takkan pernah ia lupa. Pemilik suara yang pernah ia cintai beberapa tahun yang lalu. Riska tersenyum lalu berbalik dan memanggil sebuah nama. "Ryan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD