I Love You

2225 Words
Ryan tersenyum memandang Riska yang terheran dengan penampilan wajah barunya. "Apa kau sama sekali tak mengenalku hingga kau tak mau memelukku, Ris?" Ia melebarkan kedua lengan dan bersiap menerima sebuah pelukan. Riska menggeleng, mendekati Ryan lalu memeluknya dengan mata berkaca-kaca. "Tidak, Yan. Kau tak berubah. Kau.." Melepaskan pelukan lalu melihat wajah Ryan yang terlihat sedikit berbeda. "Terlihat lebih muda dan tampan. Aku rasa Laura pasti akan overprotektif melihat suaminya lebih tampan sekarang." Godanya lalu terkekeh. Raut wajah Ryan berubah setelah mendengar nama Laura disebut. Entah mengapa Riska merasakan sesuatu sedang terjadi antara Ryan dan Laura. Sesuatu yang mengancam pernikahan mereka. "Ada apa? Mana Laura? Apa dia belum kembali dan tidak menemanimu selama di Seoul?" Riska penasaran Ryan selalu mengalihkan pembicaraan jika menyinggung Laura. Seperti sekarang. Ryan menghela nafas dan menatap lekat bola mata Riska. "Boleh aku duduk?" Meminta izin dan kembali mengalihkan pembicaraan. "Silahkan, Yan. Kau mau kopi?" Tawar Riska yang paham Ryan menolak untuk menjawab untuk kesekian kali lalu melangkah menuju pantry. Ryan menyandarkan punggung di sofa sambil mendongak. "Ya. Aku takkan menolak, Ris," jawabnya lalu pandangannya menyusuri isi ruangan. "Dimana Nick? Aku tak melihatnya dibawah?" Ia menoleh melihat Riska menekan tombol di dispenser kopi setelah menadahnya dengan cangkir. "Dia di Jakarta sejak kemarin." Riska membawa kopi lalu menaruhnya di atas meja. "Kau tahu kalau dia super sibuk. Tapi Jeff merasa senang jika Nick tak ada disini." Dahi Ryan mengernyit. "Kenapa bisa begitu?" Kali ini ia yang penasaran. Riska menghela nafas lalu menaruh bantal sofa di atas pangkuan. "Kau tahu jika Nick hobi mengusik Jeff sejak kecil. Selalu ada saja kejahilannya yang membuat Jeff kesal begitu juga dengan Mario. Tapi Mario.." Ia menggaruk kepala lalu tertawa sendiri. "Menikmati kejahilan Nick walau ujung-ujungnya dia balas dendam. Mereka seperti anak kecil, Yan. Tapi itulah Nick." Riska tertawa lagi mengingat Nick. Ryan tersenyum memandang Riska. "Kau bahagia?" "Ehm? Tentu. Aku bahagia mempunyai suami yang mencintaiku dan memiliki 3 anak. Dan aku bahagia melihatmu bahagia juga, Yan." Riska menjawab jujur dengan senyum bahagia. Ryan terdiam sebentar lalu melirik kopi. "Boleh aku meminumnya?" Riska tertawa melihat Ryan bersikap seperti tamu. "Minumlah, Yan. Kau tak perlu meminta izin padaku. Apa karena wajahmu yang baru kau juga berubah jadi canggung padaku? Atau kau amnesia?"  Riska tertawa membuat Ryan tertawa juga lalu meneguk pelan kopi. "Kau sudah melihat Richie?" Tanya Riska sambil bangkit. Ryan menggeleng. "Belum. Aku harus melihatnya sekarang, Ris." Ia bangkit dan melihat anggukan kepala Riska.  "Oke. Mari kuantar kau melihatnya sekarang. Aku yakin Richie kaget melihatmu. Karena Papanya makin tampan sekarang." "Berhenti memujiku, Ris." "No, Yan. Itu fakta." ❤❤❤ Nick meluruskan kaki di meja dengan punggung bersandar di sofa. Ia menghisap rokok pelan memandang ke arah balkon melihat Mario berdiri memunggunginya. "¿Has estado buscando un asistente para mí? (Apa kau sudah mencari asisten untukku?)." Tanya Nick yang tak lama Mario membalikkan tubuh lalu mengangguk. "Publiqué un anuncio ayer y estaba muy interesado.  Pero ... (Aku sudah memasang iklan kemarin dan banyak berminat. Tapi..)," Mario berjalan mendekati lalu duduk di depannya. "Debo seleccionarlos, según me mandes. (Aku harus menyeleksi mereka, seperti perintahmu)." Ia mengambil sebatang rokok di atas meja lalu menyulutnya. Nick melipat kaki dan menjejakkan di lantai. "No hay necesidad de ser bella o guapa. Lo que quiero que sea profesional, trabajador y dispuesto a obedecer mis órdenes. (Tak perlu yang cantik atau tampan. Yang aku mau dia profesional, pekerja keras dan mau menuruti perintahku)," timpalnya, membutuhkan asisten agar bisa banyak menghabiskan waktu bersama Riska dan ketiga anaknya di Bogor.  Bekerja sebagai pemegang saham pada dua perusahaan besar di Indonesia, manajer sekaligus owner resort di Australia dan menggantikan Aldi pada urusan novel, menyita banyak waktu Nick hingga membuat jarang bertemu dengan istri dan anak.  Untungnya Riska memahami karena sudah terbiasa dengan kegiatan Aldi yang semasa hidupnya yang sama sibuk seperti dirinya. Tapi kini Mario tak dapat diandalkan lagi setelah membuka sebuah bar di area Jakarta pusat dan harus bolak-balik Indonesia Spanyol setiap bulan untuk mengurus perkebunan anggurnya disana. Ia memang membutuhkan asisten seperti Mario. Profesional, cekatan dan berani. Tapi tak mudah. Harus bisa lolos pada tahap penyeleksian Mario yang tentunya tak mudah. Mario mengangguk paham permintaan Nick yang selektif. Karena demi kebaikan sahabatnya yang sudah berkeluarga. "Bien. Te lo diré mañana. (Baiklah. Besok akan ku kabari)." Menyetujui permintaan Nick. "¿Vas a casa a Bogor mañana? (Apa besok kau pulang ke Bogor?)." Nick menggaruk kepalanya sambil berpikir. Sudah dua hari lamanya ia meninggalkan Riska dan ketiga anaknya. Dan kepalanya menjadi pusing, terlebih lagi tidak bercinta dengan Riska yang menjadi kewajibannya, rasanya membuatnya stress dan ingin melampiaskan kekesalannya pada seseorang dan hanya ada Mario saat ini. "Después de que me ocupe de la novela de Aldi mañana por la tarde. Pero esta tarde debo …(Setelah aku mengurus novel Aldi besok siang. Tapi siang ini aku harus..)." Mario bangkit dan menggeleng. "Parece que tengo que ir al bar ahora. José me llamó antes. (Sepertinya aku harus ke Bar sekarang. Jose menelponku tadi)." Ia menghindar karena tahu Nick akan mengusilinya. "¡No! Nick se levantó y tiró de la camisa de Mario. —No puedes escapar de mí, Mario. Tenemos que terminar el juego ahora. Si no, te despojaré y luego te sacaré de aquí. (Tidak!" Nick bangkit dan menarik ujung kaos Mario. "Kau tak bisa kabur dariku, Mario. Kita harus menyelesaikan permainan sekarang. Jika tidak, aku akan menelanjangimu lalu mengeluarkanmu dari sini)." Ancam Nick tapi Mario menggeleng tak setuju. "No, Nick. Será mejor que vuelvas a Bogor ahora, me ocuparé de las novelas de Aldi en lugar de ser tu publicación mensual. (Tidak, Nick. Sebaiknya kau pulang ke Bogor sekarang, biar aku yang mengurus masalah novel Aldi daripada jadi bulan-bulananmu)." Tawar Mario dengan wajah melas. Nick tersenyum lebar. "¡¿En serio?! Si mientes, cortaré tu cuerpo y recogeré tu sangre y se la daré a José. (Benarkah?! Jika kau bohong akan ku iris tubuhmu dan menampung darahmu lalu kuberikan pada Jose)," ancamnya lagi. Mario mengangguk lugas. "¡Lo prometo! Si miento, puedes apoderarte de mi Bar, ¿cómo? (Aku janji! Jika aku berbohong kau bisa mengambil alih Bar milikku, bagaimana?)." Ia meyakini Nick yang serius sambil menatapnya lekat. Nick melepas kaos Mario. "Muy bien. Entonces puedes irte ahora.(Baiklah. Kalau begitu kau boleh pergi sekarang)." Memberi izin pada Mario yang bergegas mengambil kunci mobil di atas meja. "Muy bien, yo iré primero.  Adiós .. (Baiklah, aku pergi dulu. Bye..)." Mario pamit lalu berlari kecil sambil menghela nafas lega meninggalkan Nick dan beranjak dari sana. Nick kembali duduk lalu meraih handphone. Ia menghubungi Riska karena rindunya tak dapat dibendung lagi setelah membayangkan akan bercinta setibanya di Bogor. Nick melakukan video call dan tak lama panggilannya tersambung dan melihat jelas Riska sedang berada di kamar anak mereka. "Hai, Sayang." Melambaikan tangan ke arah Riska yang tersenyum. "Kau sedang apa? Bagaimana kabar anak-anak? " tanyanya melihat Riska duduk di dekat tempat tidur Richie. Riska membalas lambaian Nick. "Aku menemani mereka, Nick. Dan mereka terus menyebut namamu. Kapan kau pulang?"  Nick berpikir sebentar. "Sepertinya lusa," ucapnya berdusta.  Mendengar kata 'lusa', Riska menekuk wajah tak semangat. "Hmm...kau memperpanjang waktumu di Jakarta, Nick."  Menghela nafas kecewa. "Ya. Apa kau merindukanku? Choka-choka?" Tanya Nick memandang penuh hasrat. Riska menoleh sekeliling dan hanya terlihat Ryan sedang menggendong Richie di balkon. Ia mengangguk. "Ya. Cepatlah pulang," pintanya dengan nada memelas. Nick berdehem mendengar suara Riska yang memohon dan seketika membangun kan juniornya. "Bagaimana kalau kita vcs (video call s*x) sekarang?" Tawar Nick memasang wajah m***m. Riska menggeleng lugas. "No, Nick! Sampai kapanpun aku tak mau melakukan itu." Ia menolak mentah-mentah tawaran Nick yang terdengar konyol dan menjijikkan. "Aku tak ingin vcs, yang ku pinta cepatlah pulang. Kami merindukanmu." Sekali lagi Riska meminta. Walau Nick selalu menagihnya untuk bercinta lebih dari sekali itu tak jadi masalah asalkan Nick cepat kembali dan berkumpul dengan keluarga kecilnya lagi. Nick tersenyum lebar. Rasanya ia ingin menjangkau Riska dari balik layar handphone lalu mencium bibir, choka-choka dan berakhir dengan bercinta penuh hasrat membara. Tapi ia harus menahan hasrat itu walau juniornya menegang keras.  "Baiklah. Aku cari Doraemon dulu untuk meminjam pintu ajaibnya agar bisa cepat menemuimu." Ucap Nick dengan lelucon konyolnya. Riska menggeleng dan mencibir. "Kau membual!" Ledeknya kesal. Nick tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Riska yang semakin menggemaskan. "Baiklah, Sayang. Aku tutup dulu. Aku harus pergi, Bye Sayang." Melambaikan tangan lalu mematikan panggilan. Melihat Riska mempercayai omongan, Nick bergegas mengambil jaket dari kamar, menutup pintu balkon lalu memastikan apartemennya aman untuk ia tinggal. Nick mengambil kunci mobil lalu beranjak meninggalkan apartemen untuk segera pulang, menemui keluarga kecilnya di Bogor. ❤❤❤ "Apa tadi itu Nick?" Tanya Ryan yang samar-samar mendengar percakapan Riska dengan Nick. Ia menurunkan Richie dari gendongannya dan membiarkan anak itu berjalan pelan menuju Riska yang menyambut dengan menjulurkan kedua lengan lalu memangkunya. "Ya. Dia terpaksa menunda kepulangannya besok," jawabnya sambil memeluk erat Richie dan mencium kedua pipinya.  Riska menatap Ryan yang terdiam melihat keakraban dirinya bersama Richie yang tak ada ubahnya seperti anak dengan ibu kandungnya, walau seharusnya Laura lah yang patut merawat Richie. "Maukah kau menjawab pertanyaanku, Yan?" Pintanya menagih jawaban. Ryan duduk di sofa, tak jauh dari mereka. "Apa? Kau mau menanyakan tentang Laura?" tebaknya. Riska mengangguk lemah walau sadar itu privasi Ryan. Tapi melihat Ryan yang selalu menghindar menjawab pertanyaan membuatnya penasaran. "Ya. Kau selalu tak pernah menjawabnya, Yan. Apa kalian sedang ada masalah?" Ryan tertunduk lalu mengangguk. "Sudah dua bulan ini kami bertengkar, Ris." Ia menghela nafas kecewa. "Hanya karena aku tak menuruti keinginannya untuk menunda kehamilan, ia marah padaku. Lalu..kami bertengkar hebat." Ryan menatap Riska dengan tatapan nanar mengingat hubungan yang selalu berjalan tak sesuai harapannya. Lagi-lagi hati Riska teriris jika mendengar hubungan Ryan yang memburuk dengan wanita pilihannya. Entah mengapa rasa bersalahnya timbul lagi dan kadang terpikir jika mereka berjodoh pasti tidak melihat Ryan sedih seperti sekarang. Bahagia seperti dulu. Tapi sayangnya itu tak mungkin. Kini ia sudah bahagia bersama Nick begitu juga Ryan yang sudah menikah, dan berharap pertengkaran itu hanya sementara saja. Seperti yang ia alami pada Nick. Pertengkaran pada suami istri yang berakhir dengan bercinta dan makin membuat hubungan mereka makin mesra. "Apa selama kau oplas dia tak menemuimu?" Tiba-tiba Riska terpikir kesana, ketika Ryan melakukan operasi plastik di Seoul. "Dia menemuiku walau hanya seminggu disana. Tapi kami tak banyak bicara. Dia masih marah padaku." Terang Ryan sambil menyandarkan punggung di sofa dengan lunglai. "Berdamailah, Yan." Pinta Riska. "Menurutku Laura hanya membutuhkan waktu untuk menjadi seorang ibu. Aku rasa ketika ia siap,  pasti merencanakan kehamilan dengan baik. Percayalah padaku." Menyakinkan Ryan. "Aku hanya tak sabar memberi adik untuk Richie. Tapi mendengar respon darinya membuatku marah." Sekali lagi Ryan menunjukkan rasa kecewanya terhadap Laura. Riska berjalan lalu duduk disamping Ryan yang terlihat putus asa. "Anak itu titipan Tuhan, Yan. Jika Laura belum menginginkan memiliki anak, anggaplah Tuhan merencanakan sesuatu yang lebih indah dibalik itu semua. Mungkin saja ia menginginkan quality time bersamamu atau.." Ia mengusap rambut Richie yang duduk di pangkuannya. "Richie belum menginginkan adik," sambungnya lagi. Ryan tersadar dengan semua ucapan Riska. Ia tak terpikir kesana karena hanya memikirkan keegoisannya saja selama ini. Tapi hari ini Riska menyadarkan bahwa ia harus menjalani hidup apa adanya, lagipula ia masih mempunyai Richie yang tampan.  Yang memang kebutuhan quality time antara ayah dan anak.  Walaupun Riska yang mengasuh, wanita itu memberi kebebasan pada Ryan untuk membawa Richie atau mengasuhnya. Tepat pada hari libur ia memang menjemput Richie bersama Laura untuk berlibur, sebelum mereka bertengkar. Ryan menghela nafas berat. "Kau benar, Ris. Aku sudah egois dan memaksa Laura untuk hamil sedangkan aku masih mempunyai Richie. Aku yang salah.." Riska mengusap punggung Ryan. "Hubungi dia dan minta maaf lah. Aku yakin Laura menerima maafmu," Ia tersenyum memandang Ryan yang tak lama membalas. "Ya. Akan kulakukan nanti." Balas Ryan menatap lekat wajah Riska yang tak pernah berubah walau bukan lagi anak sekolah yang pertama kali ia lihat. Apa yang dikatakan orang-orang memang benar. Cinta pertama tidak akan mudah dilupakan, seperti itulah sosok Riska didalam hatinya. Ia sudah memaafkan semua kesalahan Riska karena tahu di dalam cinta selalu ada maaf. Masih mencintai Riska? Ya. Tanpa kemunafikan Ryan masih mencintai Riska di relung hatinya paling dalam walau tak bisa ia ungkapkan seperti dulu. Karena wanita itu cinta dan kekasih pertamanya. Wanita yang takkan bisa ia hapus seumur hidup walau hatinya sudah terbagi sekarang. "Apa kau mau menginap disini? Mau kusiapkan kamar? Kau pasti lelah melakukan perjalanan jauh." Tawar Riska lalu menyodori Richie pada Mbok Karti. Ryan mengangguk setuju. Jarang-jarang ia mempunyai waktu lenggang apalagi lusa ia mulai bekerja lagi dikantor.  "Baiklah. Itu ide yang bagus. Sudah lama aku tak menginap disini. Lagipula ini weekend, aku akan meminta Raaj untuk menyusul sekarang." Menerima tawaran Riska. "Ok, aku akan menyuruh Jeff mencarikan kamar untukmu dan Raaj. Kau tunggu disini. Aku ke bawah dulu sebentar," "Ok, Ris." ❤❤❤ "Yan, apa kau mau--" Riska menyembulkan kepala dari balik pintu tapi terkejut melihat Ryan hanya mengenakan boxer saja dan dengan cepat ia menutup pintu lagi. Wajah Riska bersemu merah dan seketika mengutuk dirinya yang sudah membuka pintu kamar Ryan tanpa mengetuk pintu. Bodoh! Harusnya aku mengetuk pintu dulu! Dasar aku bodoh! Ia menggigit bibirnya mengingat tubuh Ryan yang hampir naked. Tubuh yang pernah ia miliki utuh. "Ris." Ryan membuka pintu dan tersenyum Riska masih berdiri di balik pintu. "Ada apa?" Melihat wajah Riska yang kaget dan tersenyum kecut. "Anu…" Riska gelagapan karena kaget tapi Ryan masih keadaan topless. Hanya mengenakan celana jeans saja. "Aku cuma mau mengajakmu makan malam bersama. Apa kau mau?" ajaknya yang setengah jam lagi menjelang makan malam. "Baiklah. Aku bersiap dulu." Ryan mengangguk setuju. "Ok, aku tunggu di lobi." Riska membalas lalu membalikkan tubuh untuk melangkah menuju lobi. Ryan menarik tangannya. "Tunggu, Ris," pintanya dadanya terbentur dengan d**a Riska karena saking kencang tarikan tangannya. Deg..deg..deg.. Jantung mereka berdetak kencang seperti merasakan sebuah rasa yang pernah mereka alami ketika pertama kali mereka berpelukan tanpa sengaja di toko buku. Sebuah momen indah yang tak terlupakan dan terulang lagi sekarang. Dan tanpa tersadar Ryan membisikkan sebuah kalimat yang masih mengambang di hatinya hingga saat ini. " I love you."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD