1. s**l atau Beruntung?

1674 Words
Aku baru saja sampai di apartemen saat mendengar bunyi pesan masuk di ponselku. Aku tidak merasa terlalu lelah hari ini, tapi segera aku menghela napas setelah membaca pesan dari—yang ternyata—Mamaku. Pertemuan keluarga. Hal yang sangat aku hindari setelah aku beranjak usia menjadi seperempat abad, bahkan setahun yang lalu acara ini sudah aku hindari setelah mendengar beberapa ucapan dan pertanyaan dari keluarga besar yang selalu sama tiap bulannya. Baru saja aku akan meletakkan ponselku tanpa membalas pesan Mama, ponselku berdering menunjukkan sebuah nama yang tertera di sana, yakni "Mama"—sepertinya ponselku itu tersenyum mengejekku karena gagal untuk tak mengacuhkan pesan Mamaku. Dengan menghela napas, aku menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponsel pada telingaku. "Dengan Nimas, ada yang bisa saya bantu?" "Heh, maneh pura-pura gak tau kalau ini dari Mama, apa?" "Oh, Bu Widya, ada apa ya, Bu?" "Ini barudak nya. Kamu teu baca pesan Mama?" "Yang mana tuh, Ma?" tanyaku pura-pura tidak mengetahui. Aku meringis. Maafkan aku, Tuhan. Terdengar suara helaan nafas. "Kenapa Mama yakinnya kamu udah baca dan sengaja teu balas aja ya?" Hah! Seorang ibu dan telepatinya pada seorang anak memang tidak bisa dipungkiri! Tidak akan pernah bisa bohong kalau sama Mama meski kita sudah sekolah tinggi-tinggi, lewat telepon aja masih bisa tau mana yang bohong dan mana yang jujur, apalagi kalau ketemu langsung. Aku masih diam saja—sebenarnya agar tidak menambah dosa dusta lagi—menunggu kelanjutan ucapannya. "Idih, malah cicing wae ieu barudak! Kamu datang loh ya nanti ke pertemuan keluarga!" Terdengar bukan seperti sebuah pertanyaan, melainkan titah. Mama itu Ratunya di rumah, jadi tidak boleh ada yang bantah titahnya. Tapi kali ini, aku ingin sekali membantah perintahnya. "Tapi, Ma...." "Enggak lagi-lagi deh. Harus, kudu wajib, mesti datang kamu kali ini. Apalagi acaranya di rumah Tante Arum," ucapnya. Di rumah siapa tadi Mama bilang? Tante Arum? Astaga, aku semakin malas kalau begini caranya. "Apalagi di rumah Tante Arum, Ma. Aku males banget," rengekku. "Hush. Gak boleh gitu kamu tuh. Gitu-gitu Tante Arum tuh masih tantemu juga! Digetok nanti kalau kamu gak dateng sama Tante Arum. Lagian kamu tau mulutnya tentamu itu kayak gimana," ucapnya dengan nada memperingatkan khas ibu-ibu. "Ya elah, Ma." Aku masih saja merengek, berharap agar Mama membolehkanku untuk tidak menghadiri pertemuan keluarga ini. "Udah gak usah ngeluh! Kalau kamu gak datang nanti ya, namamu Mama coret dari kartu keluarga!" Mataku membelalak. "Jahat banget sih, Ma. Emang gak sayang-sayang apa, udah bawa-bawa aku di perut Mama sembilan bulan, ngelahirin susah-susah, ngasih aku makan sampe gede, terus sekarang mau dicoret dari daftar nama kartu keluarga? Parah." "Udah tau kalau kamu punya hutang banyak sama Mama, diminta datang ke acara keluarga aja susahnya kayak nyeret sapi buat dikurbanin," ucapnya. Bu Widya ini kalau berbicara selalu menyentuh kalbu. Ucapannya barusan sangatlah menusuk hatiku. Aku kan sama sapi bertolak belakang. "Iya nanti aku pikirin lagi deh," ucapku pada akhirnya. "Gak usah pikir-pikir lagi. Harus datang kan tadi Mama bilangnya." Aku menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. "Iya oke deh, Bu Widya." "Gitu kek, dari tadi ngomong kayak gitu aja susah banget kayaknya. Untung Mama dapet gratis nelpon dari operator, kalau enggak mah sayang-sayang atuh pulsa Mama cuma buat nelepon kamu lama-lama.  Udah ah, Mama mau siapin makan malam dulu buat Papamu." Jadi intinya Mama nelepon karena aji mumpung lagi dapet bonus telepon gratis? Kenapa sedikit nyesek ya mendengarnya? "Nggih, ndoro Ratu," ucapku semakin lemas. “Gaya banget, orang Sunda aja gaya-gayaan pake bahasa Jawa,” dumel Mama sebelum menutup sambungan teleponnya dan tidak memberikan kesempatan untuk aku menjawab dumelannya. Selepas menyelesaikan panggilan telepon dari Mama, aku berjalan menuju kamar mandi dan memilih mandi dengan cepat agar aku bisa segera merebahkan tubuhku pada ranjang. Tidur adalah hal yang paling efektif untuk mengurangi kepenatan. Jika orang lain akan berlama-lama merendam tubuh di bak mandi, lain dengan diriku yang lebih memilih tidur sebagai obat lelahku. Tidur yang cukup akan memberikan energi ekstra pada diriku keesokan harinya. *** "s**l," umpatku saat aku terbangun dan menyadari bahwa aku sudah dapat dipastikan kesiangan. Aku bergegas bangun dari ranjang dan berlarian menuju kamar mandi—kalau di rumah keluarga, Mama pasti langsung teriakin aku karena lari-larian. Aku segera merapikan penampilan dan keluar dari apartemen tanpa sarapan. Padahal, sarapan adalah hal terpenting untukku. "s**l. s**l. s**l," rutukku selama di perjalanan. Saat ini aku memilih menggunakan jasa ojek online, cepat dan hemat untuk pilihan ini. Kenapa ini gak ada yang nerima-nerima sih? Ada aja ya kejadian kalau orang lagi buru-buru. Akhirnya, ada juga yang mau menerima orderanku. Tapi aku belum merasa tenang saat aku masih harus menunggu ojek yang kupesan datang. Aku mengetuk-ngetuk sepatuku di depan lobi apartemen. Ibu jariku mengetuk-ngetuk layar ponselku yang sedang dalam kondisi mati. Sampai akhirnya ojek yang kupesan datang, aku langsung saja naik ke boncengan motornya sambil menerima helm yang disodorkan padaku. "Hotel Maladewa kan ya, Mbak?" tanya pengendara ojek ini saat kami sudah seperempat perjalanan. "Iya, Mas. Bisa tolong jalannya dipercepat gak? Saya udah telat banget nih," ucapku. "Oh, boleh, Mbak." Setelah berucap seperti itu, dia langsung menaikkan kecepatan pada motornya. Aku sedikit lebih tenang sekarang, walaupun kemacetan di Jakarta tidak pernah bisa dipungkiri. Sesampainya di halaman hotel Maladewa, aku bergegas turun, memberikan uang seharusnya dan juga tip karena telah menyelamatkan aku dari keterlambatan yang sangat parah. Saat akan memasuki lobi, entah bagaimana ceritanya, kakiku tersandung dan hampir saja terjatuh. Bisa saja penggambaran diriku yang sudah-sudah di hotel ini akan hancur di pagi ini, jika saja aku tidak mampu menyeimbangkan diriku. Aku sempat lupa kalau hari ini ada perkenalan manajer umum yang baru. Tapi aku justru melewatkan sesi perkenalan itu. Kenapa sih, s**l banget deh kayaknya aku hari ini. Apa jangan-jangan ini yang namanya kualat gara-gara ngebohongin Mama kemarin malam? Aku memukulkan kepalaku berkali-kali dan berhenti saat ada tangan seseorang yang menahan tanganku—untuk tidak melanjutkan perilaku anarkisnya. "Kenapa kamu pukul kepala kamu?" tanyanya. Aku menoleh dan sempat terpana dengan ketampanan lelaki yang ada di hadapanku, tapi aku kembali menormalkan wajahku dan memasang wajah datar. Untung saja aku tidak membuka mulutku dan membuat diriku sendiri malu. "Oh, gak apa-apa, Pak," ucapku sambil melihat tangannya yang masih menggenggam pergelangan tanganku. "Bisa tolong lepaskan tangan saya?" ucapku sambil tetap tersenyum sopan. Dia melirik sebentar ke arah tangan kami lalu melepaskan tanganku dari gengga-mannya. Dia mengangkat kedua tangannya seperti tanda menyerah sambil berucap, "Oh, oke." "Maaf, saya harus bergegas. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku karena lelaki di depanku masih saja memperhatikanku. Melihatnya yang masih tetap diam, aku menambahkan, “jika tidak ada, maaf saya harus meninggalkan Anda. Ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan," ucapku dengan sedikit menampilkan raut wajah sedih. Melihat dari ekspresinya yang terlihat terkejut, sepertinya aku akan tertahan di sini lagi. "Kamu kerja di sini? Bagian apa?" "HR manager," ucapku singkat. Dia kenapa sih, gak tau orang lagi buru-buru apa ya. "Wow, kamu kenapa gak ikut perkenalan general manager yang baru?" ucapnya sambil memasukkan telapak tangannya pada saku celana panjangnya. Kalau dilihat-lihat laki-laki di depanku ini memiliki badan yang ideal seperti oppa-oppa Korea, kalau adikku bilang. Aku akan merasa sangat pendek kalau-kalau aku tidak menggunakan stiletto-ku saat ini. Pikiranku lebur saat ada tangan yang melambai di hadapan wajahku. "Kenapa malah melamun?" tanyanya. Aku mengerjap dan bertanya, "Maaf, tadi ... tanya apa ya?" Dia terkekeh dan menunjukkan lesung pipinya. Aduh, kalau Gani melihat laki-laki ini, pastilah Gani akan teriak gembira. "Kamu kenapa gak ikut perkenalan general manager yang baru?" tanyanya sambil tersenyum. Aku meringis sebelum menjawab, "Saya kesiangan. Mohon maaf, saya harus bergegas, Pak," ucapku sambil melihat ke arah jam tanganku. Aku menyadari sesuatu yang aneh. Kalau dia tamu, kenapa bisa tau kalau ada pergantian general manager? Sepertinya dia menyadari kebingunganku, sehingga dia tersenyum lagi. "Saya general manager yang baru di sini, Kailani Fayyadh. Kamu boleh panggil saya Kai," ucapnya sambil mengulurkan tangannya menunggu balasan jabatanku. Aku membelalak, terdiam lalu mengerjapkan mataku. "Maaf, Pak. Saya tidak mengetahui," ucapku sambil membalas uluran tangannya yang masih menggantung di hadapanku. Tangannya kenapa alus pisan sih. Merasa tersaingi kan aku jadinya sebagai perempuan. Kembali dari pikiranku yang mengabur, seketika aku mengernyitkan dahi, masa iya GM semuda ini? "Gak masalah. Siapa nama kamu?" "Nimas Edrea Laquitta dan biasa dipanggil dengan Nimas di sini, Pak." Aku masih sangsi walau tetap menggunakan sopan santunku. Aku mencoba melepaskan jabatan tanganku. "Nimas," gumamnya melafalkan namaku. "Kalau begitu, saya boleh izin, Pak? Ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan." "Oke, silakan." Dia mengulurkan tangan berlagak mempersilakanku untuk berjalan terlebih dahulu. Aku tidak ada pikiran bahwa laki-laki tadi adalah general manager-ku yang baru. Pasalnya, biasanya yang menjadi manajer umum adalah orang-orang yang sudah berumur. Terang saja aku terkejut mendengar dia mengaku sebagai general manager. Oh! Atau itu mungkin hanya triknya? Tapi trik buat apa? Gak mungkin juga dia ngaku sebagai manager cuma ke aku ‘kan? Aku menghentakkan kakiku kesal dan berjalan menuju ruanganku. Sebelum memasuki ruanganku, aku melewati meja Vira dan melihatnya sedang merapikan dandanannya. Sebelum aku yang bertanya mengenai kebenaran mengenai ucapan laki-laki yang tadi kutemui, ia sudah bertanya padaku lebih dulu. "Tumben amat dah lo terlambat, Nim? Terus itu kenapa muka ditekuk banget?" tanyanya. "s**l banget gue hari ini. Btw, tadi udah perkenalan manajer ya?" Matanya seketika berbinar saat aku membahas mengenai perkenalan manajer, belum-belum ia menjawab, aku sudah meyakini bahwa laki-laki yang kutemui di bawah sudah berkata jujur apa adanya. "Iya. Anjir ganteng banget, Nim! Gue yakin lo gak bakal nolak deh kalau diajak jalan sama dia—tapi yang jadi masalah adalah dia mau atau enggak ngajak lo jalan. Gue aja kalo gak mikirin laki gue mah udah gue gares dah tuh cowok," ucapnya dengan semangat. Aku menoyor kepalanya dan mencibir. "Lo mah kalo liat cowok bening dikit juga bakal dipepet. Dasar bini kurbel," ucapku. “Lha, gue gak kurbel ya, gue kan hampir tiap malem—" Sebelum ia melanjutkan ucapannya, aku sudah berbalik dan meninggalkan dia yang sedang meneriakiku dengan banyaknya ucapan v****r mengenai kegiatan dia di ranjang dengan suaminya. Aku menutup telingaku dan berjalan lebih cepat. Masih terdengar suara tawanya melihat aku yang pergi terbirit-b***t. Vira, Mama dan Gani itu sejenis. Tipe-tipe perusuh dan penghancur mood orang yang sangat ampuh. Merasa kesal di dekat mereka itu bukan hal yang tabu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD