2. Pertemuan atau Penghakiman?

1360 Words
Semalam lagi-lagi aku mendapat teror dari Ibu Widya yang mengingatkanku untuk hadir di acara pertemuan keluarga hari ini. Oleh karena itu, saat ini aku sedang duduk di depan meja rias untuk bersolek dan memberikan penampilan maksimal—biarpun saat ini aku tidak memiliki gandengan. Selama berada di depan cermin, aku tidak henti-hentinya menghela napas. Malas sekali rasanya kalau harus dihadapkan dengan Tante Arum nanti, saat pertemuan keluarga! Tulisan "Mama" muncul di layar ponselku saat benda pipih itu berdering. Ibu Widya ini tidak henti-hentinya mengingatkan aku mengenai pertemuan keluarga. Aku yakin kalimat pertama yang akan diucapkannya pada saat aku menerima panggilannya adalah... "Kamu di mana?" Gotcha! Give me some applause. "Masih di apart, Ma." "Gimana sih, kok masih di apartemen? Kesiangan banget nanti kamu. Kan harus ke Bogor dulu, nanti gak ketemu sama keluarga besar yang lain kamunya," omelnya. Memang itu yang aku harapkan sebenarnya, Ma. "Siap, Ma, aku otw ya sekarang." Dan kalimat itulah yang aku keluarkan untuk menghindari omelannya selanjutnya. "Awas aja kalau kamu kabur, ya! Mama mah bisa tau kalau kamu kabur," ucapnya memperingatkanku. "Iya, Mamaku." Aku mengakhiri panggilan dan menyelesaikan dandanan lalu pergi mengambil kunci mobil. Lepas itu, aku mengendarai mobilku menuju rumah Tante Arum yang berada di Bogor. Sesampainya aku di rumah Tante Arum, sepertinya beberapa keluarga besarku sedang bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing. Beberapa kali aku berhenti untuk menyapa dan disapa. "Kok baru sampai?" Pertanyaan basa-basi yang selalu keluar pada awal sapaan yang aku balas hanya dengan senyum-senyum palsu. "Ma, kakak datang tuh." Gani yang melihatku memasuki rumah Tante Arum pun langsung memanggil Mamaku tanpa menyapaku terlebih dahulu. Melirik ke samping Gani, ada laki-laki yang terlihat rapi dan terlalu banyak senyum menurutku, sepertinya dia yang menjadi pacar Gani saat ini. Aku sedikit mengangkat sudut bibirku untuk membalas senyumannya. "Eh, ini anak baru datang. Dasar, bukannya berangkat dari pagi malah jam 11 baru jalan." Suara Mamaku menyentuh telingaku. "Yang penting kan aku datang, Ma." "Ada aja jawabannya kalau dibilangin." Mamaku berbalik menuju dapur. "Kok kamu baru datang jam segini sih, Nim? Harusnya tuh tadi pagi, sekalian bantu-bantu Tante." Suara lain yang membuat aku harus menarik napas, Tante Arum. "Iya, Tante, tadi aku beres-beres apartemen dulu," ucapku mengelak. "Udah datang telat, mana gandengan kamu?" tanyanya sambil celingukan seperti mencari sesuatu yang berada di belakangku. Aku baru datang dan sudah langsung ditanyakan tentang gandengan? Memangnya dia tidak lihat apa wajahku yang sangat cocok untuk dipanggil jomblo? "Belum ada, Tante," gumamku. Tapi sayangnya, telinga Tante Arum sangat tajam sepertinya. Dia melihat tepat di mataku. "Belum ada? Kok bisa belum ada? Adik kamu aja udah ada gandingan tuh, kok kamu belum ada?" "Ya emang belum ada yang cocok kali, Tante." "Bukan masalah cocok atau enggaknya, kamu yang masang harga tinggi palingan juga. Makanya cowok pada minder buat deketin kamu," ucapnya. Memangnya aku barang dagangan apa yang harga bisa diatur sesuai pemilik?! "Ya terus gimana dong, Tante? Kalau misalnya bukan aku yang masang harga tinggi, tapi merekanya yang emang gak mau deketin aja, gimana?" "Ya mungkin itu karena badan kamu yang terlalu kerempeng." Jleb. Kenyataannya lidah memang tak bertulang ya. "Makanya, makan yang banyak, badan tuh diisi," lanjutnya. "Aku makannya banyak kok, Tante. Tapi kayaknya emang badanku dari sananya udah kayak gini aja, jadi mau digimanain juga gak bakal gendut," ucapku dengan suara yang menahan marah. "Ya enggaklah, kalau kamu usaha naikin berat badan, terus nambah isi badan mah gak bakal deh kamu kurus kayak gini. Kan ada tuh s**u penambah berat badan." "Halah. Itu mah belum tentu bener, Tante," sahutku. "Ya paling enggak kamu minum obat cacing kek, Nim, ya ampun deh. Bisa aja kan kam cacingan." Yang begini ini yang membuat aku malas untuk bertemu dengan Tante Arum. "Ma, udah deh, jangan kayak gitu, Teteh Nimasnya jadi gak nyaman kan tuh," ucap Raisa adik sepupuku, anaknya Tante Arum. Mereka berdua memiliki sifat yang berbeda 180 derajat. "Loh, Mama kan cuma ngasih tau aja." Mana ada ngasih tau tapi berasa kayak mojokin? "Ya udah nanti lagi aja ngasih taunya ya, Ma," tambah Raisa. Aku bersyukur Raisa membantuku terlepas dari ocehan Tante Arum. Sedangkan adik kandungku? Dia sedang mesem-mesem melihat aku dikuliahi oleh Tante Arum. Adik durhaka memang! Di dalam rumah ini masih ada beberapa keluarga besarku. Aku duduk di sofa mengasingkan diri, tapi ternyata tetap saja aku disapa karena aku merupakan salah satu dari cucu tertua di keluarga ini. "Teteh apa kabar?" tanya Anggia salah satu dari banyaknya sepupuku. "Kabar baik. Kamu sendiri apa kabar?" "Baik, Teh. Teteh kerja apa deh, Teh?" "Um... aku jadi HRD hotel, Gi," sahutku. "Anggi mau kerja tapi enggak boleh sama suami Anggi, Teh. Kan sedih ya?" ucapnya sambil menampilkan raut sedihnya. "Kenapa gak dibolehin?" tanyaku. Aku tidak heran, melihat bagaimana sikap posesif suaminya. "Jadi tuh katanya, nanti aku malah lirik kanan-kiri cari yang lebih ganteng dari dia, lebih mapan dari dia gitu, Teh. Tapi aku berani sumpah gak pernah yang kayak gitu, Teh. Kalau liat doang kan gak masalah ya, Teh, selagi kita gak main mata gitu. Kita kan punya mata, kalau gak sengaja lihat masa masih mau disalahin ya?" terangnya. Aku menghela napas. "Kasihan ya suami kamu," sahutku. Dia mengernyit. "Kok malah suamiku yang dikasihani, Teh?" "Ya jelas lah, dia merasa gak bisa ngasih kamu lebih, jadi merasa ketakutan. Padahal gak semua perempuan melihat laki-laki itu dari berapa banyak uang yang dia pegang atau seberapa tampan wajah yang terawat. Bodoh aja kalau dia malah justru ngekang kamu hanya untuk mengurangi rasa takut yang dia alami. Sakit tuh suami kamu." Selesai aku berucap, tiba-tiba suami Anggi datang menghampiri kami. "Anggi, kamu masih mau lama di sini? Aa ada kerjaan nih," ucapnya sambil berlagak melihat jam tangannya. Aku berdecih sambil membuang muka. "Eh ada Teh Nimas, apa kabar, Teh? Sendirian aja nih?" tanyanya saat melihat keberadaanku. Aku menoleh ke arahnya saat namaku disebut. "Ini kan ada kalian berdua di sini," sahutku datar. "Maksudnya, Teteh datengnya sendirian aja?" jelasnya. "Kalau ngajak orang nanti makanannya cepat habis, kamu gak kebagian deh." Dia tertawa. "Teteh bisa aja," sahutnya. "Ayo, Gi. Kita pulang sekarang aja," ucapnya yang kini beralih pada Anggi. "Ya udah deh. Teh, aku pamit ya," ucap Anggi padaku. "Iya hati-hati." Setelah kepergian Anggi dan suaminya, Mama dan Tante Arum duduk menempati sofa yang baru saja ditinggal pergi oleh yang menggunakannya barusan. "Teh, itu si Nimas mesti dicariin jodoh kayaknya mah, Teh. Dia mah jadi awewe cuek sama jutek pisan sih, mana ada jejaka yang mau." Siapa lagi kalau bukan Tante Arum—yang sepertinya memiliki cita-cita sebagai komentator bola tapi tidak kesampaian. "Ya biarin lah, dia mau fokus kerjaan dulu kali," sahut Mamaku. "Iya, Tante. Sekarang ini aku lagi fokus kerjaan dulu," sahutku. "Emang kamu mau ambil jabatan setinggi apa lagi sih? Nanti cari suaminya makin susah aja. Perempuan tuh gak usah neko-neko deh, terima wae apa ayana. Emangnya kamu mau jadi perawan tua?" sahutnya. "Arum kamu kalau ngomong itu dijaga kenapa, gitu-gitu Nimas teh anak Teteh juga. Ponakan kamu, ieu teh," bela Mama. "Lagian kayaknya sih ini Teteh yang nyuruh kali ya, buat naikin jabatan mulu?" "Enggak. Memang belum ketemu jodohnya kali," sahut Mamaku. Tante Arum membenarkan posisi duduknya menghadap Mama dan berucap, "Gini loh, Teh. Si Gani anak Teteh yang kedua aja udah ada gandengan. Soalnya badan dia bagus, anaknya juga ceria, ramah, supel. Lah ini anak Teteh yang pertama kenapa beda jauh sama adiknya?" "Kita cuma kakak-adik, Tan. Bukan kloningan, wajar aja kalau aku sama Gani itu beda. Cuma karena lahir di rahim yang sama kan belum tentu punya karakter yang sama. Anak kembar seidentik apapun itu juga masih aja tetep ada yang beda," sahutku dengan sedikit keras. "Ya tetep aja, kamu sama Gani tuh bedanya jauh banget. Kayak bumi sama langit," sahutnya. Aku menarik napas panjang. "Gani ya Gani, aku ya aku, gak usah banding-bandingin orang dong, Tan. Tante sama Mama juga bedanya jauh banget kok," ucapku. "Udah deh, aku pamit pulang duluan," lanjutku. "Heh. Ini anak dibilangin kok malah kabur sih, gak bisa ngadepin kenyataan tuh anaknya, Teh," ucapnya. "Aku cuma terlalu seneng dengerin omongan Tante kok, aku pulang biar bisa mikirin baiknya gimana. Kali aja pas di jalan pulang aku ketemu sama jodoh." Aku bangun dari sofa dan pergi meninggalkan Mama, Tante Arum, Gani dan pacarnya yang sepertinya masih memperhatikan punggungku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD