3. Kebetulan atau Kesengajaan?

1485 Words
"Nim, lo gak ke ruang rapat?" tanya Vira yang melongokkan kepalanya di pintu ruanganku. "Iya, ini gue lagi nyiapin bahan dulu, sebentar." "Asisten lo ke mana sih emang, Nim? Perasaan udah beberapa hari ini gak liat dia deh," tanyanya saat kami mulai berjalan menuju ruang rapat. "Ngundurin diri, gak tahan kali sama gue," sahutku dengan datar. "Lo sih, jadi orang jutek kok dipelihara, cogan dipelihara gak apa-apa deh. Apa mungkin karena lo belom ada gandengan ya, makanya jadi jutek gini? Ya kayak perawan tua gitu lah," ucapnya yang tentu saja membuatku mendelik padanya. "Anjrit. Gak di rumah, gak di kantor yang diomongin gandengan mulu, gak ada topik lain apa?" gerutuku dengan sedikit menaikkan intonasi suaraku. "Gak ada. Kecuali, lo udah ada gandengan, mungkin topiknya nanti berubah jadi 'kapan mau lanjut ke jenjang yang lebih tinggi?' kurang lebih kayak gitu deh topiknya," sahutnya disertai dengan kekehan. "Ah! Orang selalu gak puas kalo gak ngurusin hidup orang lain ya. Btw, tadi lo udah mirip banget sama emak-emak yang tukang nagihin cerita kehidupan orang," ucapku. Vira tertawa. "Gue kan emang calon emak-emak. Lo tuh, kapan mau jadi emak-emaknya?" Aku membuang muka dan meninggalkan dia di belakangku yang masih tertawa. k*****t benar memang, kalau punya teman calon emak-emak macam Vira ini. Kami akan memasuki ruangan bersamaan dengan seorang laki-laki yang memiliki tinggi jauh di atasku. Laki-laki yang aku temui di lobby yang ternyata adalah manajer baruku. Setelah kutaksir kemungkinan usianya adalah sekitar 27-28 tahun. "Hai kita ketemu lagi, Nimas," sapanya. Ya iyalah ketemu lagi, kan nanti selalu ada rapat mingguan. Hampir saja aku memutar bola mata di hadapannya. "Iya, Pak. Selamat pagi," sahutku. Kami memasuki ruangan dan memulai rapat evaluasi yang biasa diadakan pada hari senin, awal minggu. Akan dilihat apakah bagian keuangan stabil, bagian operasional stabil, juga apakah bagian marketing mampu menciptakan solusi pemasaran terbaru. Aku sendiri dari bagian operasional harus memperhatikan kinerja dari para karyawan, pembagian gaji, penerimaan dan pemecatan karyawan. "Oh iya, Nimas. Saya mendapat kabar mengenai komplain kemarin, katanya ada OB yang seenaknya masuk kamar tamu hotel dengan alasan mau merapikan kamarnya, padahal tamu tersebut tidak sama sekali memanggil layanan kebersihan kamar," Kai menegurku. Aku sudah yakin sekali masalah ini akan dibahas pada rapat awal minggu. Apalagi mengingat bagaimana terdengar kontroversi sekali saat terjadinya kejadian tersebut. Tamu tersebut mendatangi resepsionis kami dengan suaranya yang cukup membuat semua orang yang berada di lokasi menoleh ke arah sumber suara. "Iya, Pak. Saya sudah mendapat kabar dan langsung saya selesaikan saat itu juga. Memang OB itu tidak mengakui kesalahannya, Pak. Bahkan sampai akhir pun ia tetap tidak mengaku." "Kamu bisa pastikan hotel kita tidak tercemar dengan berita ini?" tanyanya. "Saya meminta kepada tamu untuk tidak menyelesaikan lewat jalur hukum. Tapi mengingat bagaimana media sosial saat ini sangat berpengaruh. Yang saya takuti bukan perihal tamu tersebut melaporkan pada pihak berwenang, melainkan menyebarkan isu-isu yang tidak baik mengenai Maladewa ke berbagai media sosialnya, Pak, atau justru pengunjung yang saat itu turut menyaksikan, Pak." "Kamu buat perjanjian dengan dia?" "Saya mengatakan untuk membuat perjanjian, Pak. Tapi ia menolak dengan alasan dia yang merasa rugi akan hal ini." "Sepertinya kali ini bagian marketing harus berusaha ekstra untuk membersihkan nama Maladewa. Lalu bagaimana dengan OB itu? Kamu pecat?" ucapnya sambil menyandarkan punggungnya pada badan kursi. "Setelah tamu tersebut check out, saya berbicara dengan OB tersebut. Melihat dari gerak-gerik dia yang terlihat tenang pada saat di hadapan saya, sepertinya memang dia melakukannya dengan sengaja. "Saya pikir, kemungkinan hal ini tidak terjadi pertama kali, Pak. Dengan ketenangannya yang seperti itu saya yakin dia sudah merasa ahli untuk mengelak. Jadi, saya memutuskan untuk memecat OB tersebut, Pak. Dia bermasalah, Pak. Saya juga meminta maaf karena sempat kurang jeli saat menerimanya sebagai karyawan Maladewa, Pak." "Pilihan bagus," ucapnya mengakhiri perbincangan denganku mengenai OB yang melakukan kesalahan. Kini sasaran topik berganti menuju bagian marketing. "Kalau begitu kita akhiri rapat kali ini sampai di sini. Terima kasih atas kinerjanya," ucapnya sambil menutup rapat evaluasi minggu ini. Aku merapikan berkas-berkas yang aku bawa dan beranjak dari tempat dudukku. Aku dan Vira keluar paling pertama karena kami yang berada pada posisi di dekat pintu. "Nim, lo bukannya gak ada ya pas perkenalan manajer baru? Kok dia bisa kenal lo sih?" tanya Vira. "Lo inget waktu gue nanya soal manajer baru? Gue waktu itu ketemu Pak Kai di lobi sih, dan gak tau kalau dia manajer baru tadinya. Gue ngomong kayak biasa aja gara-gara dia ikut campur urusan gue," sahutku. Vira membulatkan matanya. "Terus gimana caranya lo bisa tau dia manajer? Kan gue belom ngomong waktu itu." "Ya, gue nanya ke dia, soalnya dia bahas alasan gue gak ikut perkenalan manajer baru. Masa iya orang luar tau kalo ada perkenalan manajer baru. Ya gue tanya lah, akhirnya dia jawab kalau dia si manajer baru itu. Awalnya gue masih ragu, tapi pas gue tanya lo dan lo jawabnya kayak gitu, ya jadi percaya deh kalau dia manajer barunya. "Tapi kok bisa ya, semuda itu udah bisa jadi general manager?" "Ya emang karena dia kompeten kali, Nim," ucapnya. Dia melirikku sebentar. "Lo sadar gak sih, kalau dari tadi tuh Pak Kai merhatiin lo melulu?" Aku mengernyit dan menoleh padanya. "Gak tau gue, mungkin karena tadi gue lagi bahas soal OB itu, jadi ya wajar kalau gue diperhatiin. Udah ah, gue mau kerja, kalau sama lo mah gak bisa jauh-jauh dari gosip." Aku melanjutkan langkahku meninggalkan Vira seorang diri. Berkutat dengan pekerjaan sejak setelah rapat eval tadi, membuatku melupakan kegiatan yang wajib aku lakukan, yakni makan siang. Maag-ku sering kambuh kalau sampai melupakan jam makan siang. Aku juga lupa membawa bekal untuk hari ini. Jangan pernah berpikir kalau yang membawa bekal itu hanya anak sekolahan. Menurutku, para pekerja kalau sempat membuat bekal lebih baik membawa bekal saja. Selain bisa mengetahui tingkat kebersihannya, makanan yang dibuat sendiri juga bisa menghemat pengeluaran yang besar. Sayangnya, aku sedang merasa tidak ingin membuat masakan tadi pagi. Melihat jam dinding menunjukkan jarum pendeknya pada angka dua, aku menghela napas pendek dan bersiap untuk keluar ruangan lalu mencari makanan. Bertepatan dengan aku yang keluar ruangan, aku bertemu dengan OB yang sepertinya baru saja membawakan makanan pesanan dari pegawai yang lain. "Eh, Bu Nimas, selamat siang, Bu," sapanya. Aku hanya membalas dengan senyuman singkat. Aku yakin sekali dia sedang mencaci di belakangku. Tapi aku tak peduli dan terus saja melanjutkan langkah. "Mas, sotonya satu ya," ucapku saat aku sudah berada di warung soto yang terletak di belakang hotel Maladewa. "Pakai bawang gorengnya, Mbak?" "Iya, Mas." Aku mengecek ponselku yang tidak memiliki notif satupun. Oh, ada satu. Dari Gani. Ia meminta aku untuk membelikan tiket konser boyband Korea yang akan datang ke Indonesia. Anak satu ini, aku harus menghemat pengeluaranku, dia malah minta uang hanya untuk menonton konser. Baru saja aku akan membalas pesannya dengan beberapa makian, ada suara yang menginterupsi kegiatanku. "Kamu baru mau makan siang?" Aku menoleh dan melihat keberadaan Kailani yang sudah duduk di bangku hadapanku. "Eh, Pak. Iya, saya baru sempat makan," sahutku. "Bapak juga baru mau makan siang?" "Sebenarnya tadi saya sudah makan siang, tapi karena mau soto, jadinya ke sini lagi," ucapnya. "Mas, sotonya satu ya, Mas," ujarnya menoleh pada penjual soto. "Oh iya, Pak. Mau pakai bawang goreng, ndak, Pak?" Samar-samar aku mendengar percakapan Kai dengan tukang soto mengenai bawang goreng. "Enggak deh, Mas," tolaknya. "Sibuk banget sama hapenya, ada apaan sih?" Aku mengangkat pandanganku. "Kenapa, Pak?" "Kamu. Dari tadi liat hape melulu, ada yang lebih menarik dari saya?" tanyanya dengan senyum manisnya. Ini ceritanya dia lagi menggombal? Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya. "Um ... ini ada pesan dari adik saya," sahutku. "Oh, kamu punya adik?" tanyanya dengan wajah yang tertarik. Aduh, sebenarnya aku malas sekali harus bercerita tentang keluargaku. "Iya, Pak." "Laki-laki atau perempuan?" Dia bertanya lagi setelah kami mendapatkan pesanan soto kami. "Kalau laki-laki kenapa dan kalau perempuan kenapa ya, Pak?" Dia mengangkat alisnya. "Ya, saya cuma mau tau aja kok, tentang keluarga kamu," sahutnya dengan senyuman mautnya. Senyumannya itu loh, gak baik banget buat jantung. Lihat dikit bisa ketagihan. "Bapak ini general manager atau petugas sensus?" Dia tertawa. "Kamu itu keliatannya jutek, tapi lucu juga ya," ucapnya. Mengernyit, aku berkata, "Kok saya gak merasa melucu ya, Pak?" "Tapi saya ketawa, itu berarti kamu lucu," ucapnya dan tersenyum. "Bapak ini ternyata receh ya selera humornya?" ucapku sebelum memasukkan suapan soto di sendok pertamaku. Dia terkekeh dan mengikutiku memulai menikmati soto di hadapan kami. Setelahnya dia melanjutkan beberapa pertanyaan padaku. Terkadang dia tertawa, terkadang dia hanya terkekeh, terkadang ada kernyitan di dahinya, tapi tetap terlihat menawan. Kenapa harus ada orang semacam dia? "Oh iya Nimas, kalau di luar pekerjaan kamu panggilnya Kai aja ya, saya merasa tua banget kalau kamu manggilnya pakai sebutan ‘Pak’ terus-terusan," ucapnya saat kami sudah keluar dari tenda warung soto—yang soto pesananku juga dilunasi olehnya. "Loh kok gitu?" ucapku disertai dengan kernyitan di dahiku. "Biar gak senjang aja." Setelahnya, aku tidak berniat membuka percakapan. Dia disapa oleh beberapa orang dan aku pamit terlebih dahulu padanya yang diiyakan olehnya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD