Seorang perempuan terlihat berusaha menahan rasa sakit, dari sebuah pedang yang menusuk pada perutnya. “Aku... tak merasa memiliki musuh... Ta-tapi kenapa kau be... buat begitu pa... daku?” Ia menatap kearah seorang pria yang sedang berdiri di depannya. Wanita yang terkujur lemas diatas lantai itu, perlahan kesadarannya mulai memburuk.
Sedikit demi sedikit, bulir-bulir air mata turun melewati pipinya yang kemerahan. Matanya perlahan tertutup dengan memegang perutnya, dimana terdapat cairan merah kental keluar dari dalam tubuhnya yang tersayat . Hingga cairan merah itu membanjiri lantai disekitarnya. “Dewa, tolong beri aku kesempatan! Sungguh semuanya, tak adil untukku... tolong Dewa yang agung!” batin wanita berparas cantik sesaat sebelum kehilangan nyawanya.
***
Abad pertengahan, tepatnya di sebuah kerajaan yang jauh di pedalaman hutan. Kerajaan itu dikelilingi oleh hutan angker, di mana konon orang-orang dari luar kerajaan tak akan dapat menemukan keberadaan kerajaan yang istimewa itu, Kerajaan Yopherian. Tak hanya itu, kerajaan Yopherian memiliki berbagai artefak peninggalan sihir yang terkenal didunia. Mereka punya batu tambang berharga yang kekayaannya tak akan habis. Bahkan sang raja dari kerajaan itu adalah keturunan dari sainttes yang di puja oleh para pendeta dan uskup agung.
Hiduplah seorang wanita cantik yang lahir dari rahim seorang ibu pelayan dan ayah dari raja Yopherian. Hingga sang pelayan diangkat menjadi seorang selir di sana. Karena memang pernikahan politik sudah sewajarnya disana. Alhasil, sang raja menikah dengan ratu tanpa rasa cinta. Karena sang selir yang tak mempunyai darah bangsawan atau pun sihir, sehingga selir itu pun harus menerima kenyataannya walau pun ia menikah terlebih dulu, daripada sang ratu.
Raja Yopherian yang di kenal agung dan dermawan serta bijak sana, hanya kepada sang selirnyalah hatinya berlabu. Kepribadian sang raja begitu dingin pada semua orang, termasuk pada sang ratu. Akan tetapi sang raja berubah ketika sedang bersama sang selir pujaan hati, yang bernama Ireis. Kebahagiaan mereka lengkap setelah melahirkan sang putri cantik yang bernama, Janey Yopherian. Beberapa bulan kemudian, sang selir Ireis meninggal dunia karena penyakit aneh. Raja begitu berduka saat itu, terutama Janey yang masih balita dan masih memerlukan sosok sang ibu untuk merawatnya.
Beberapa tahun berlalu. Sang Raja kini telah menginjak usia tua dan harus menurunkan takhtanya. Namun, ia tak pernah sedikitpun menyambangi kediaman ratu. Walau bagaimana pun, kesetiaanya pada sang pujaan hati Ireis tak akan sirna, walau maut memisahkan mereka. Alhasil, kini kerajaan Yopherian tak mempunyai putra mahkota, hanya ada seorang putri. Tetap saja, ia tak bisa meneryskan tahkta untuk menyandang sebagai Raja di Yopherian. Sehingga, ratu begitu membencinya.
Sedari kecil hingga menginjak remaja, Janey tak pernah mendapatkan pelukan, dan perhatian dari orang tuanya. Karena sang raja begitu sibuk dengan segala hal dan terkadang ia harus turun meninjau masalah pada rakyatnya, menghadiri beberapa pertemuan besar dengan kerajaan lain, atau pun sesekali ia akan pergi berburu demi menghilangkan kejenuhan. Bagaimanapun sibuknya, beliau tak bisa menghilangkan sosok sang kekasih hati dari pikirannya itu. Ia tak bisa mengalihkan perhatiannya, pada sosok Ireis.
Janey, memang dihormati di kerajaan Yopherian karena gelarnya itu, namun tetap saja di belakangnya banyak sekali rumor buruk mengenai dirinya serta ibunya. Setiap hari ia terus belajar dan belajar demi mendapatkan perhatian dari sang ayah, Raja Yopherian. Terapi sebagimanapun pintar dan cerdasnya Janey, sang raja tak pernah menunjukkan rasa kasih sayangnya pada sang putri satu-satunya itu. Sungguh begitu sulit untuk kedua orang itu menghabiskan waktu bersama, selain untuk makan malam dan acara besar. Janey tak pernah bertemu bahkan untuk bercengkerama sekalipun dengan sang ayah.
Hingga, saatnya Janey beranjak dewasa. Sang ratu membuat pesta debut untuk Janey. Dimana pesta seorang putri bangsawan menuju kearah kedewasaan dan bersiap untuk menikah. Beberapa bangsawan hadir dan beberapa kerajaan yang dekat dengan kerajaan Yopherian pun di undang. Dan saat itulah hal yang tak terduga terjadi. Ketika pesta dimulai pengumuman yang tak pernah terduga pun diucapkan oleh sang raja.
“Aku... Raja dari kerajaan terkuat sihir Yopherian, dengan ini menyatakan untuk memberikan cincin pusaka kerajaan Yopherian yang sangat berharga, pada anakku... putri Janey Yopherian!” ucap sang Raja dengan berdiri di hadapan semua orang, sambil mengangkat tangan kanannya dimana sebuah kotak berwarna hitam dan diatasnya terdapat sebuah cincin yang begitu berkilau.
Semua orang terlihat terkejut. Bahkan beberapa dari mereka, tak setuju dengan keputusan sang raja. Karena itu adalah benda yang sangat berharga untuk kerajaan Yopherian. “Kami mohon, dengan sangat pada anda yang Mulia! Saya sebagai penasihat kerajaan dan sekaligus tangan kanan anda yang selalu setia mengabdi pada anda... saya merasa, keputusan anda tergesa-gesa dan harus di pikirkan kembali, yang Mulia!” ucap salah seorang pria yang berlutut di bawah lantai sambil menatap pada Raja Yopherian.
“Titah ku tak bisa di patahkan! Tak ada pengecualian apa pun!” tampik sang baginda dengan wajah seriusnya. Semua orang di sana seketika hening.
“Putriku kemarilah!” ujarnya kembali dengan menatap kearah sang putri Janey, yang tengah berdiri diantara para tamu undangan. Perlahan dengan pasti, Janey melangkah menuju keatas podium dimana sang ayah yaitu raja Yopherian berada. Seperti biasa tanpa berekspresi sang raja menatap Janey dengan tatapan sendu. Selalu seperti itu, Janey merasa karena mungkin dia begitu persis dengan sang ibunda. Dan pemikiran Janey bahwa, sang baginda selalu menghindarinya karena itu. Mungkin baginda merasa sedih, jika melihat dirinya.
Janey berjalan menunduk dengan perasaan tak karuan. Lebih tepatnya perasaan takut, yang paling banyak dari pada perasaan senang. Karena baru kali ini, namanya di ucapkan dari bibir sang baginda. Setelah beberapa tahun lamanya ia hidup didunia. Terlebih lagi baginda menyebut dirinya, putriku. Setelah tiba di hadapan sang baginda, Janey memberi hormat dengan masih menundukkan kepala. Sang baginda raja pun berduri dari singgasananya. Perlahan langkah sang baginda mulai mendekati Janey yang berdiri dengan menundukkan kepala.
“Berikan tangan mu!” ujarnya dengan suara rendah. Janey segera menjulurkan tangan kanannya dan seketika itu pula tangan sang baginda menyambutnya. Tak butuh waktu lama, cincin pusaka itu kini telah berada di jari manis tangan kanan Janey.
“Kau pantas mendapatkan ini! Tolong, jagalah benda ini seperti aku yang selalu menjaga rakyatku dan menjaga perasaanku untuk ibumu,” tutur sang baginda dengan mata berkaca. Sang baginda meminta Janey untuk menatapnya. Mereka pun saling bertatapan beberapa detik dan sang baginda memeluk Janey dengan perasaan haru. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja air matanya menetes keluar. Mungkin perasaan yang dirindukannya saat ini, tengah tercurahkan pada sosok sang ayah. Ia tak pernah merasakan pelukan yang begitu hangat dan tenteram, dari orang tuanya.
Setelah beberapa menit berlalu, sang baginda pun melepaskan pelukan itu. Ia kembali ke singgasananya, dengan duduk tenang dan ekspresi wajahnya dingin seperti semula. Pesta pun berlalu dengan canggung. Karena beberapa dari tamu undangan tidak terima dengan keputusan yang baginda inginkan. Selesai dengan pesta debut sang putri satu-satunya.