3. Seperti gembel

1324 Words
Gadis berpiama baby pink itu menatap pria berkaca mata di depannya garang. Bisa-bisanya Felix membawa gadis itu pergi dari kosnya di pagi hari tanpa memberi waktu untuk berganti pakaian, atau sekedar mencuci wajahnya. Felix yang merasakan tatapan mematikan dari Aca hanya bisa menunduk. "Maaf nona, saya hanya melakukan perintah." Ucapnya masih dengan menunduk. "Maaf? Felix, liat deh di sini." Ucap Aca menunjuk bagian sudut bibirnya. Aca tak menggunakan embel abang atau om karena dia tau bahwa Felix seusia dengannya. Awalnya Aca kagum karena pria itu bisa menjadi sekretaris di perusahaan besar di umur segitu, berbanding terbalik dengan dirinya yang masih sibuk dengan tugas kuliahnya. Sekarang sudut pandangnya mengenai Felix sudah berubah sejak pria itu mengusik paginya. Sekarang, Felix hanyalah pria menyebalkan dimata Aca. "Lo nggak liat masih ada bekas iler gue di sini, Felix. Gue sampe nggak sempet cuci mungka loh, kagak ganti baju, kagak sisiran. Terus lo bilang maaf? Leher lo mau gue gorok?! hah?!" Felix mendorong kaca matanya yang melorot, menggaruk tengkuknya yang tak gatal, entah kenapa dia merasa sedikit takut pada Aca. Wanita ternyata semengerikan ini, pikir Felix. "Terus, ini rumah siapa Felix? Iiiihhhh gemes gue pengen sentil ginjal lo tau nggak?!" Geram Aca lagi menyentil sisi kiri pinggang Felix. Aca benar-benar tak habis pikir atas tindakan Felix. Tidak hanya mengusik tidurnya di pagi buta, Felix bahkan memboyong Aca ke sebuah rumah di kompleks mewah. Apa Aldo memutuskan untuk menjual Aca pada konglomerat sebagai bayaran atas uang yang di bawa kabur itu?! "Sekali lagi, maaf nona. Ini rumahnya tuan Aldo." Rahang Aca terjatuh kebawah. Apa dia bilang? Rumah Aldo?! Sialan! Duk! Tanpa ragu Aca memukul punggung lebar Felix, membuat pria berkaca mata itu mengaduh kesakitan. "Lo gila ya?! Kenapa bawa gue ke sini pas bentukan kayak gembel gini sih?! Kalau dia tiba-tiba kagak mau nikahin gue karena ileran gimana?! Gue mau bayar utang pake apa Felix! Aarhhgg! Tai lo!" "Berisik." Gebukan Aca di punggung Felix terhenti ketika mendengar suara berat itu. Gawat! Aca langsung duduk di sofa ruang tamu itu, menundukkan kepala. Tak ingin Aldo melihat wajahnya. "Pagi, tuan. Saya sudah membawa nona Salsa sesuai perintah. Kalau begitu saya permisi." Pria berkaca mata itu pergi dari sana setelah satu anggukan dari Aldo. Felix masih merasakan panas di punggungnya karena gadis itu masih saja menatap kesal padanya sampai ia keluar dari ruangan itu. "Kenapa menunduk? Angkat kepala kamu." Pria yang masih mengenakan kemeja putih dan vest hitam itu menatap Aca heran. Kenapa wanita itu jadi ciut begini? Bukankah dia gadis yang sama dengan gadis yang mengajaknya menikah dengan lantang kemarin? "Kagak mau om." Jawab Aca sesingkat yang ia bisa sambil menggelengkan kepala masih tertunduk. Ck! Aca kaget saat mendengar decihan dari Aldo. Gadis itu mendongak sebentar dan kembali menunduk saat mata mereka bertubrukan. "Kenapa kamu terus memanggil saya om?" Jujur, pria itu juga risih terus di panggil begitu. "Ya, kan om lebih tua dari saya. Jadi, dipanggil om." Tangan Aldo terkepal menahan emosi. Kapan panggilan om itu akan hilang? "Kamu taukan jarak umur kita cuma delapan tahun?" "Tau, om. Tapi tetep aja om itu om-om. Jadi, harus dipanggil om." Aca juga merasa kesal. Kenapa pria itu terus mempermasalahkan panggilan 'om' itu. Gadis itu tahu bahwa Aldo berumur dua puluh sembilan tahun, terpaut delapan tahun darinya. Tapikan tetap saja, Aldo itu om-om dimata Aca. Rahang Aldo mengeras, tampaknya wanita itu akan tetap memanggilnya dengan sebutan 'om'. "Terserah." Suasana kembali hening. Baik Aldo ataupun Aca tak ada yang memulai percakapan. Selama lima menit meraka masih diam, Aca yang berusaha menahan kantuknya dan Aldo yang masih berusaha menormalkan emosinya. "Saya bilang, angkat kepala kamu." "Udah dibilangin kagak mau!" Benar, sikap keras kepala gadis itu juga menguji kerabaran Aldo. "Kenapa?" "Gue kayak gembel, om." Cicit Aca pelan dan masih bisa terdengar oleh Aldo. Pria itu sekuat tenaga menahan tawanya, bahkan sampai mencubit pinggangnya sendiri agar tidak tertawa. "Nggak papa, saya pengen liat gembel." Ujar Aldo tanpa dosa. Api di perut Aca menyala dengan membara. Apa-apaan pria ini?! Apa dia mengajak perang secara terang-terangan?! "Tai!" Aca mendongakkan kepalanya, menyibak rambut yang menutupi wajahnya dengan kasar, dan membalas tatapan Aldo penuh perlawanan. "Kamu mengumpat? Hmm?" "Kagak, ngaji gue barusan om." Jawab Aca sembari mencepol rambutnya asal menggunakan karet gelang yang ada di tangan kirinya. "So, kenapa om berbaik hati mengusik tidur Aca pagi ini?" Tanya Aca tersenyum sarkas pada Aldo yang duduk di hadapannya dengan bersidekap d**a. Gadis itu dengan berani manatap mata Aldo, tak peduli dengan penampilannya. Lagian, pria itu sendirikan yang mengatakan ingin melihat gembel? Silahkan! Lihat sepuasnya! "Alasan apa lagi. Menikah tentu saja." "What?!" Aca menyibak anak rambut di sekitar telinganya ingin memastikan pendengarannya. "Sekali lagi, om. Kagak denger barusan." Tambah Aca. "Tidak ada pengulangan." Bibir Aca langsung maju karena cemberut. Jika ada lomba membuat orang lain kesal, Aca pikir Aldo lah yang akan menjadi pemenangnya. "Dih! Om-om kok bad mood-tan!" Gumam Aca yang lagi-lagi bisa didengar oleh Aldo. "Kamu bilang apa?" "Kagak ada tombol replay, om!" Balas Aca membuat Aldo terdiam. Boleh juga perlawanan gadis itu pikir Aldo. Aldo menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya. Melakukan hal itu berulang kali hingga emosinya kembali normal. Vertigonya bisa kambuh jika terus berdebat dengan Aca. "Sudahlah. Seperti yang sudah saya janjikan, jika kamu menikah dengan saya selama tiga tahun, saya tidak akan meminta ganti rugi dan tidak membawa masalah ini ke jalur hukum. Sebagai seorang suami, saya juga akan memenuhi kebutuhan kamu dan saya juga mengizinkan kamu untuk tetap kuliah." Ujar Aldo menulai percakapan dengan serius, meskipun masih mengantuk Aca berusaha fokus mendengarkannya. "Sebagai seorang istri, setidaknya kamu melakukan separuh dari tugas kamu. Saya tidak suka ada orang asing yang masuk ke rumah ini, jadi saya tidak memiliki pembantu di sini. Tugas kamu hanya bersih-bersih, memasak saat saya ingin makan di rumah, dan berpura-pura menjadi sepasang suami istri yang harmonis di depan orang lain dan media. Setelah menikah kita juga akan menggunakan kamar yang terpusah, jadi kamu tidak usah khawatir. Sa-" Ucapan Aldo terhenti kala Aca mengankat tangan kanannya. Gadis itu tertawa tak percaya atas apa yang di dengarnya. "Mau nyari istri apa pembantu, om?" Tanya Aca sebelum melanjutkan ucapannya. "Aca nggak masalah sih om di suruh bersih-bersih, sadar diri juga kalau numpang di rumah ini. Tapi om, kalau Aca liat dari luar rumah om tiga lantai kayaknya. Buat bersihin kos-an Aca yang sepetak aja ngumpulin niat buat bersihannya lama banget loh om. Kalau soal masak, Aca cuma bisa masak telor, kalau om suka Aca juga nggak masalah masak tiap hari. Aca mau, setelah menikah kita tidur satu kamar. Aca nggak suka tidur sendirian, nggak masalah juga kalau di suruh tidur di sofa asalkan di kamar yang sama." Bukan apa-apa, gadis itu benar-benar tak suka kesepian, dia mau merasakan kesendirian itu lagi. Bahkan, untuk menghuni satu kamar seorang diri Aca tidak memiliki keberanian untuk melakukan hal itu. Aldo hanya mendengarkan dan mengangguk. Selagi permintaan Aca logis, Aldo tak masalah juga untuk mengabulkan. Mau tidur satu kamar pun, Aldo tak berniat menyentuh gadis itu sedikitpun. "Itu saja? Ada yang lain?" Tanya Aldo memastikan apakah ada lagi syarat khusus dari Aca. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban. Aldo pun kembali mengangguk paham. "Ya sudah, saya buatkan dulu kontrak sementaranya. Kamu tunggu di sini sebentar." Aldo bangun dari duduknya, hendak melangkah menuju ruang kerjanya yang ada di rumah miliknya hendak mengambil laptop. "Tu-tunggu!" Cicit Aca pelan membuat langkah kaki Aldo terhenti. Pria itu membalikkan badannya menghadap Aca. Menaikkan satu alisnya seolah bertanya 'apa?' "A-anu, ke-keluarga om emangnya ngerestuin pernikahan ini?" Tanya Aca takut-takut karena dari kemaren pria itu tak membahas orang tuanya sedikitpun. Aldo memiliki kekuarga yang utuh, berbeda dengan Aca. Papanya sudah lama meninggal, dan mamanya sudah kabur entah kemana. "Setuju atau tidak, kita nikah besok." Jawab pria itu dengan santainya sebelum pergi meninggalkan ruang tamu itu. Aca menatap tak percaya. Bisa-bisanya pria itu menganggap remeh restu orang tua seperti itu. Lalu apa katanya? Besok? Apa persiapan pernikahan bisa secepat itu?! "Anjim! Si om-om ngebet nikah!" Ujar Aca di dalam hatinya, menatap punggung Aldo yang mulai menjauh. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD