2. Tujuh ratus ribu rupiah

1394 Words
Sebentar lagi hari berganti, namun Aldo masih sibuk dengan berkas-berkasnya. Pria itu menyesap kopi hitam kesukaannya, sudah mulai dingin tapi pria itu tetap menikmatinya. Tok! Tok! "Masuk!" Tanpa melihat siapa yang datang, Aldo sudah tahu siapa yang memasuki ruang kerja miliknya. "Bagaimana kontrak dengan pihak Malaysia itu, Felix?" Tanya Aldo pada sekretarisnya. "Mereka membatalkan kerjasamanya dengan kita tuan." Ujar pria berkaca mata itu menundukkan kepalanya. Brak! "Sialan! Bahkan berita menjijikan itu sudah sampai ke negara tetangga." Aldo kesal, bahkan menggebrak meja pun tak dapat meredakan amarahnya. Sudah banyak kontrak yang dibatalkan, Aldo tak mau kehilangan lebih banyak kontrak lagi. Ditambah, harga sahamnya yang tak kunjung juga naik benar-benar membuat Aldo pusing. Benar, tak ada jalan lain. Hanya itu jalan satu-satunya yang Aldo miliki. "Felix, atur pertemuan saya besok siang dengan Aca." Ujarnya menatap Felix yang berdiri tegap menghadap padanya. Felix sedikit memiringkan kepalanya. Siapa Aca? Felix yakin, tak ada kolega bisnis mereka yang bernama Aca. "Salsa Pricilla, Felix." Ujar Aldo lagi mengerti bahwa sekretarisnya itu bingung. "Baik tuan, dimengerti. Kalau begitu saya permisi." "Tunggu!" Pria berkaca mata itu menghentikan langkahnya. Tak biasanya Aldo bersikap seperti ini, seolah ragu-ragu hendak mengatakan sesuatu. "Ya tuan, ada yang bisa saya bantu?" Aldo berpikir sejenak. Apa ia tanyakan saja? Tapi bagaimana kalau dia dianggap aneh? "Kopi saya sudah dingin, buatkan yang baru." Felix mengangguk dan melangkah keluar dari ruangan Aldo. Meninggalkan pria itu sendirian dengan pikiran yang bercabang. Aldo sebenarnya ingin bertanya. Apa dia terlihat setua itu? Apa sudah banyak kerutan di wajahnya? Jujur, Aca yang memanggilnya dengan sebutan 'om' benar-benar mengusik pikiran pria itu. "Sudahlah, ayo fokus bekerja Aldo!" ... Diwaktu yang sama, tapi tempat yang berbeda terdapat seorang gadis yang sibuk menghitung uang miliknya. "Lima ratus...enam ratus...tujuh ratus." Gadis itu tersenyum kecut menatap uang nya. Helaan napas berat terdengar jelas dari Aca. "Anjir! Hutang gue tujuh ratus juta, duit gue cuman tujuh ratus ribu. Susah banget astaga hidup jadi manusia. Tau gini mending jadi batu." Aca terus mengomel tak jelas. Sedikit memelankan suaranya karena takut teman sekamarnya yang tengah tidur itu terganggu. Gadis itu juga kesal, celengan ayam miliknya sudah dipecahkanpun tak cukup untuk membayar hutangnya itu. "Mama gue hebat banget b*****t! Bisa-bisanya kabur bawa duit orang, kagak takut dipenjara apa ya? Rasa dijual gue anjim!" Aaarrrghhhhh!!!! Aca menenggelamkan wajahnya di permukaan bantal dan berteriak melepas kesal. Merasa sudah puas berteriak gadis itu kembali duduk di atas ranjang dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. "Ini gimana bayar uangnya? Mau ngepet juga kagak bakalan nyampe tujuh ratus juta, sialan emang! Mau bunuh diri tapi dosa gue udah bejibun, kagak bunuh diri hutang segunung. Hidup gue warnanya kelabu semua anjir!" "Aca, jangan berisik udah malem!" Gadis itu spontan menutup mulutnya kala mendengar protes dari mulut teman sekamar. "Iya, sorry." Aca meraih ponselnya di atas nakas. Membaca beberapa artikel yang berkaitan dengan Aldo. Cukup banyak, tapi gadis itu terus membaca tulisan di internet itu. Banyak ujaran kebencian yang diutarakan untuk Aldo dan entah kenapa membuat api di perut Aca kembali bergejolak. "Emang kenapa anjir kalau ngegay? Ini berita belom tentu bener. Kalau benerpun, yang ngegay kan Aldo, kok netizen yang sibuk sih?!" Entahlah, Aca juga tak paham kenapa ia bisa berkata begitu. Gadis itu jelas bukan pendukung LGBT, tapi dia juga tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Selagi itu tidak mengganggu aktivitas hariannya, Aca tidak akan peduli dan tidak akan ikut campur dengan hal itu. "Orang ngegay emangnya nambah hutang negara apa ya? Loh! Kok gue yang kesel sih?! Aargghh! Kagak tau deh!" "ACAAAA!!!!" Gadis itu terlonjak kaget, hampir saja ponselnya jatuh mengahantam lantai kalau saja Aca tak memiliki refleks yang bagus untuk menangkap sesuatu. "Astaga Nurul! Kaget gua tai!" Buk! Sebuah bantal mendarat tepat di wajah Aca, lemparan Nurul--teman sekamarnya tak meleset sedikitpun. "Eh dugong prindapan! Udah gue bilang jangan berisik! Besok gue ada kelas pagi! Liat tuh jam udah pukul berapa anjir! Tidur nggak lo?! Kalau kagak gue sambit nih?!" Aca hanya tersenyum cengengesan, benar juga, ini sudah sangat malam. Tidak hanya Nurul, Aca juga mempunyai kelas pagi besok. Sebaiknya dia tidur, mengikuti perintah Nurul. Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas kasur, mencari posisi yang nyaman untuk tidur. "ALLAHUAKBARRRR!!!!" Belum sampai satu menit Aca kembali membuat keributan. Nurul benar-benar tak mengerti dengan Aca. Kenapa teman sekamarnya ini tak pernah bisa diam bahkan saat malam hari pun?! Tidak bisakah ia tertidur dengan tenang?! "APA LAGI SIH CA?! AH ELAH!" Ujar Nurul tersulut emosi. Keinginan gadis itu hanya tidur, sesederhana itu. Tapi menjadi hal sulit jika kamu satu kamar dengan Aca. "Nurul...gue belum bikin laprak b*****t. HUAAAAA!!! GIMANA DONG?!" Nurul menggeleng tak percaya, lalu menyumbat kedua telinga nya dengan earphone. "Serah lo deh Ca, dari kemaren-kemaren gue suruh bikin kagak juga lo kerjain. Nikmatin deh masa susah lo. Gue bantu do'a." Nurul menutup mata, memilih mengabaikan Aca untuk kembali tidur. "Duuhhh gimana nih?!! Lo kebiasaan sih Ca! Nunda-nunda mulu! Udah tau pelupa juga! Arrgghh! b*****t!" Gadis itu terus merutuki dirinya tanpa henti. Sepertinya malam ini akan banyak keringat dan air mata yang akan bercucuran. ... Buruk. Hari ini sangat buruk! Bahkan dia dipagi hari yang cerah ini, gadis itu sudah diberikan siraman rohani oleh dosen tercinta. Lapraknya dikira asal-asalan oleh sang dosen, padahal Aca sudah semalaman membuatnya tanpa tidur sedetikpun. Tring! Sebuah notifikasi masuk pada ponsel Aca. Dengan tidak semangat gadis itu melihat siapa pengirim pesan itu. "Lo ngeluh karena kena omel dosen Ca? Liat nih, masalah lebih gede dateng!" Ujar Aca melihat room chat pada ponselnya. Aca menerima pesan dari Felix. Pria yang menjabat sebagai sekretaris Aldo itu memberi tahunya lokasi, tempat mereka akan bertemu nanti. Setidaknya Aca bersyukur tidak di suruh ke kantor milik Aldo itu lagi, dia tidak suka suasana hitam putih ruangan kerja pria itu. Aca perlahan menjauh dari lingkungan kampus, lalu berhenti di persimbangan untuk menunggu angkot. Sepanjang jalan gadis itu kembali membaca artikel yang bersangkutan dengan Aldo. Aca baru paham, ternyata kabar tentang dirinya gay itu berpengaruh besar pada perusahaan milik pria itu. Selama dua puluh menit akhirnya Aca menemukan restoran yang dimaksud oleh Felix. Gadis itu memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Apa pantas untuk tempat seperti ini? "Udah lah! Bodo amat soal pakaian!" Gadis itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran dengan perpaduan warna silver dan gold itu. Terkesan mewah di mata Aca. "Maaf nona, meja atas nama siapa?" Tanya seseorang yang bekerja di sana. "Aldo Althazka, mbak." Jawab Aca sedikit kikuk, gadis itu merasa aneh saja dipanggil nona. Menggelikan pikirnya. "Mari, saya antar." Pelayan itu menggiring Aca pada sebuah meja di lantai dua. Mata Aca menangkap bahu luas pria itu tengah bersandar di sandaran kursi yang ada di sana. "Emang ya, aura orang kaya itu beda." Gumam Aca yang hanya bisa didengar oleh dirinya. Pelayan itu pergi setelah mengantarkan Aca. Karena aura yang dipancarkan oleh Aldo terlaku terang membuat Aca tak sadar kalau Felix ternyata ikut berdiri di samping bosnya itu. Wajah Felix yang terkesan ramah membuat Aca tanpa sadar melambaikan tangannya, menyapa. Tentu hanya dibalas anggukan oleh Felix. "Hai, om." Sapa Aca pada Aldo yang tiba-tiba saja berwajah masam saat di sapa oleh Aca. "Duduk." Aca menurut, gadis itu diam dan duduk berhadapan dengan Aldo saat ini. "Jadi gimana, ada uangnya?" "Astaga! Ni om-om! Kagak ada basa-basinya anjir!" Cekcok Aca dalam hati. Gadis itu menelan sliva nya dengan payah. Mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam sana dan meletakkannya di atas meja. "Ck! Kamu bercanda?!" Aldo benar-benar tersulut emosi. Apa gadis ini mempermainkannya?! Hanya ada tujuh lembar uang ratusan ribu di atas meja. Apa gadis itu lupa berapa banyak uang yang di bawa kabur oleh mamanya?! "Siapa yang bercanda sih om. Emang duit gue cuman ada segini om. Lagian kok om bisa ditipu sih sama tante-tante?! Hah?! Kok bisa ditipu sama mama gue, om?! Yang susah gue jugakan om! Astaga Aca nyebut!" Gadis itu mengusap dadanya setelah meracau tak jelas. Gadis itu tak bisa lagi menyaring perkataannya. Aca hanya akan mengucapkan apa yang ingin ia ucapkan sekarang. Terlepas dari uang tujuh ratus juta itu, Aca yakin Aldo juga membutuhkan dirinya. Bersikap kurang ajar sedikit tidak akan menjadi masalah pikir Aca. "Udah lah om. Kita nikah aja, capek gue. Toh yang bakalan rugi juga lo, om." Setelah selesai dengan kalimatnya, Aca tak memberikan kesempatan pada Aldo untuk berbicara. Gadis itu langsung pergi dengan lari terbirit-b***t dari sana. Bahkan Felix pun dibuat ternganga. Apa gadis itu serius? Apa gadis itu tidak mengerti konsep menikah? Kenapa semudah itu bagi Aca untuk memutuskan menikah dengan Aldo. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD