Awal tersematnya julukanku

1171 Words
Aulia zaskia putri, seorang putri keluarga biasa dengan rambut agak ikal dan selalu memakai kacamata. Wajahku tergolong biasa, sehingga tak ada pria yang tertarik mendekat selain untuk menanyakan hal di luar mata pelajaran di kampus. Hidupku terasa sepi, karena mayoritas mahasiswa tak ada yang mau berteman atau pun dekat denganku. Kata mereka, aku terlalu pendiam dan tidak seru. Tak pernah nyambung kalau diajak bicara. 'Gimana mau nyambung kalau yang mereka bahas adalah nama tempat mewah yang bahkan tak pernah kukunjungi!?' 'Tahu nama tempatnya saja sudah untung!' 'Jelas jelas mereka menjauhiku bukan karena itu! Aku yakin betul, mereka pasti memilih menjauh karena statusku sebagai orang biasa! Kalau saja aku tak pintar, mungkin membalas sapaan atau mengobrol sebentar pun mustahil terjadi. 'Mereka mau ngobrol sebentar kalau ada perlunya doang! itu pun benar benar jarang terjadi!' Suram, pendiam, dan tak punya teman, jika kau menyatukan ketiga kata itu, maka jawabannya ialah aku. 'Huh!' 'Masa bodo, ini lebih baik dari pada memiliki musuh!' 'Setidaknya semua orang masih membalas sapaanku, meskipun itu terlihat terpaksa. Kehidupan damai ini gak terlalu buruk juga kok!' pikirku sembari tersenyum saat duduk di kursi kelas yang kala itu nampak masih kosong beberapa, karena memang aku selalu datang di waktu yang paling pagi. Aku selalu datang paling pagi, karena rumahku begitu jauh dari kampus. Lagipula lebih baik datang lebih dulu, dari pada terlambat. Tanpa terasa, waktu perlahan berlalu. Semua kursi, kini telah terisi. Kecuali kursi di sampingku yang memang selalu kosong dan tak berpenghuni. 'Aku juga tak tahu mengapa, padahal aku tak menggigit. Kenapa tak ada satupun orang yang mau duduk disampingku sih?' Aku berpikir dengan kesal. "Anu, nona yang berkacamata!" "Aku boleh duduk di sampingmu kan!?" aku tersentak saat sedang melirik ke kursi di sebelahku yang kosong. "Eh ... " "Apa!" semua orang tersentak kaget, sama halnya denganku. Bagaimanapun, pria yang baru saja bersuara ialah seorang anak baru berwajah idola. Berwajah tampan, bertubuh atletis, berambut hitam berkilau dengan sentuhan poni yang melengkapi ketampanannya. 'O ... orang seperti itu ingin duduk denganku!' wajahku terasa terbakar, sementara jantungku terus berdebar. 'Meski aku bisa saja berkata tidak, tapi apa ada alasan untuk mengatakan itu?' "Du ... duduklah, kau boleh duduk disebelahku." jawabku dengan sedikit terbata bata. Aku kesulitan menata ekspresiku seperti biasa. Sementara pandangan liar orang orang terhadapku perlahan memanas tak seperti biasannya. Apalagi para gadis yang nampaknya menyukai penampilan anak baru ini. 'Se ... seram ... , entah mengapa bulu kudukku berasa berdiri, meski tak melihat ke arah mereka. Rasanya seperti aku bisa membayangkan, seberapa buruknya tatapan kebencian yang mereka arahkan padaku, saat ini!" "Yo, Kutu!" "Apa kau sedang melamun?" "Hyakk!" "A ... apa yang sedang kau lakukan!?" Aku tersentak kaget, saat menyadari telunjuk anak baru itu menusuk tepat di sekitar pinggangku. Ekspresi kagetku ialah kemarahan, dan ekspresi tersebut tak pernah ku keluarkan sebelumnya. Karena kebanyakan orang tak pernah membuatku kaget setiap kali ingin mengatakan sesuatu. Mereka selalu berhati hati dan berbicara begitu pelan entah mengapa. 'Lagipula, apa apaan dia ini?' 'Baru datang, seenaknya saja memanggilku dengan sebutan kutu!' emosiku meluap saat memandang wajahnya. Meski dia terlihat tampan, entah mengapa rasa canggungku sebelumnya, menghilang begitu saja. "Wah wah wah, ternyata marahmu serem juga ya?" pria itu membalasku dengan tatapan santai. Sementara semua orang selain dia, entah mengapa gemetar ketakutan sembari berbisik satu sama lain. 'Apa mereka semua takut pada wajah marahku?' 'Masa sih!' 'Mustahil ah, wajahku tak semengerikan itu ... kan?' batinku bertanya tanya. "Roni, Aulia!" "Sudahi perdebatan kalian, kelas akan segera dimulai!" bentak seorang dosen yang kala itu sedang bertugas mengajar. "Ba ... baik pak ... ," kami merespon bersama sembari tertunduk pelan. "Seperti yang diharapkan dari Pak Toni, cuma dia doang yang berani membentak gadis menyeramkan itu," bisik seseorang yang tak sengaja terdengar jelas di telingaku. 'Gadis menyeramkan?' 'Apa aku tak salah dengar?' 'Jadi mereka menjauhiku bukan karena statusku sebagai orang biasa?' 'Memangnya bagian mana dariku yang terlihat menyeramkan?' 'Semuanya nampak normal bagiku.' Aku bercermin sembari mencoba menata ekspresiku. Dan entah mengapa, pria disampingku malah tertawa. "Gah!" "Apa apaan ekspresimu itu?" "Kau sedang tersenyum atau mencoba untuk menakuti?" "Mayatpun pasti akan lari saat melihat ekspresimu saat ini!" ucapnya keras tanpa merasa berdosa. "Roni ... Aulia ... !" "Berhenti membuat keributan dan segera menulis!" bentak pak Toni merespon tawa pria s****n yang duduk di sampingku. "Ta .. tapi kan Pak!" "Dia yang berisik, bukannya aku!" jawabku membela diri sembari menunjuk ke pria tak tahu diri yang baru saja menertawaiku. "Meski tak berisik, tapi kamulah sumber keributannya. kalau kamu tak membuat ekspresi aneh sambil bercermin, mana mungkin dia tertawa?" jawab pak Toni dengan tampang seramnya. 'Aneh?' 'Memangnya ekspresiku seaneh itu ya?' pikirku sembari bercermin. "Bapak bilang cepat tulis!" "Berhenti bercermin! ini bukan jurusan tata rias atau sejenisnya!" Pak Toni kembali membentakku dengan kesal. "Ba .. baik Pak!" jawabku sembari segera mencoba meraih buku dan pulpenku. 'Ma .. mana pulpen dan bukuku?' Aku bingung saat menyadari bahwa di atas mejaku, tak terlihat buku serta pulpen yang telah lama kusiapkan. 'Kemana sebenarnya pulpen dan bukunya ya?' Aku mencari kebawah dan ke samping meja, tapi tak kunjung ketemu juga. "Cari ini ya?" "Maaf Kutu, aku pinjam dulu ya?" "Soalnya aku lupa bawa keduanya," bisik Roni dengan wajah kampretnya. 'Pantas saja kucari tak ada, ternyata ada di dia toh!' 'Sebenarnya dia niat kuliah apa gak sih!' pikirku sembari menepuk wajah dengan pelan. "Kembalikan!" ucapku pelan dengan nada mengancam. "Gak! Kalau ini kukembalikan, aku nulis pake apa dong?" jawab Roni sembari menarik mundur buku dan pulpen yang sedang kucoba untuk rebut kembali. "Lantas! memangnya aku peduli!" bentakku kesal dengan emosi yang sudah tak tertahankan. "Kalian berdua, keluar!" "Bapak gak mau lihat orang yang gak fokus belajar, berada di dalam kelas yang sedang bapak ajar!" bentak Pak Toni merespon kegaduhan yang kami buat. "Tapi pak!" jawab kami kompak. "Keluar! dan renungkan kesalahan kalian!" bentak pak Toni tanpa memberi toleransi. 's****n, ini pertama kalinya aku diusir keluar dari jam pelajaran karena membuat kegaduhan!' 'Kalau bukan karena orang ini, aku pasti ... ,' "Hei, Kutu!" "Nih, kukembalikan!" "Sekarang dah gak guna lagi, toh kita kan dimintai untuk keluar." Roni melempar buku dan pulpen yang dia ambil tanpa permisi ke arahku dengan tampang tak bersalah. 'Dasar cowok s****n!' 'Kalau mau balikin, balikin dari tadi dong!' 'Bikin kesel aja! gara gara dia, aku kan jadi ketinggalan satu jam pelajaran!' batinku kesal sembari menatapnya dengan penuh kebencian. "Habis sudah anak baru itu, dia pasti sudah dikutuk. Aulia sudah menandainya dengan mata kejamnya," bisik orang orang yang tak terjangkau oleh pandanganku. "Sst awas, nanti dia dengar," bisikan lain yang kudengar sebelum berbalik menuju ke sumber suara. 'Apa aku salah denger ya tadi?' pikirku bingung sembari menengok ke kanan dan ke kiri. Semuanya nampak senyap dan begitu fokus menulis. "Tunggu apa lagi kamu?" "Cepat keluar!" bentak pak Toni yang merasa kesal karena aku tak kunjung keluar. "Hei kutu, ayo keluar!" "Nunggu di luar sendirian bosenin tahu!" teriak Roni dengan tampang tak bersalah sembari melambai di pintu keluar kelas. 'Siapa juga yang mau nemenin kamu!' 'Ih nyebelin banget deh, bisa gak sih berhenti memanggilku kutu!' 'Aku ini punya nama tahu!' batinku kesal sembari berjalan ke luar kelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD