Aku adalah seorang kutu buku penyendiri. Pribadi yang sulit memulai dan mengikuti percakapan dengan orang lain. Serta kesulitan untuk menata ekspresi.
Sebenarnya itu agak kurang nyaman untukku. Tapi karena sudah setahun lebih kulewati dalam kesendirian, entah mengapa aku malah ketagihan untuk terus larut dalan kesendirian. Rasanya seakan aku sudah menyerah untuk berinteraksi dengan orang lain.
'Yah, menjalani hidup sendirian tak ada buruknya juga kok. Setidaknya aku tak menjadi korban bully seperti di novel novel yang sering kubaca.'
"Senyum lu manis juga ya Kutu!"
"Tapi ngapain juga cengar cengir sendiri sambil senderan di jendela?"
Roni mendekatkan wajahnya saat aku terlarut dalam lamunanku.
'Cih! hampir saja aku lupa. Aku sedang dihukum sekarang! dan semuanya gara gara si bar bar ini!'
"Hei hei, kemana perginya senyuman tulus tadi?"
"Wajahmu sekarang bener bener nyeremin tahu!"
Roni menatapku dengan muka tengilnya.
'Tu ... tunggu dulu, setelah kupikir pikir bukankah wajahnya sudah terlalu dekat!?'
"Wah wajahmu berubah memerah dah kaya bunglon aja bisa berubah warna gitu,"
"Mu ... mundur!"
"Ka ... kalau tidak aku teriak nih!" Aku dengan reflek mendorong Roni dengan kedua tanganku yang mungil.
"Dingin banget sih!"
"Aku kan cuma mencoba untuk akrab. Gak perlu pake acara teriak atau dorong juga kali!" Roni menggenggam tanganku yang kala itu masih menempel di sekitar wilayah dadanya yang bidang.
'Bersentuhan ... kulit kami saling bersentuhan ... ,' tubuhku terasa panas dan ingin meledak kala itu. Perasaanku pun bercampur antara malu, takut serta khawatir.
"Le ... lepasin tanganku ... , tolong cepet lepasin," gumamku dengan air mata yang perlahan menetes. Aku
"Oi ... Kutu, ngapa malah nangis!?"
"A ... aku kan gak ngapa ngapain kamu, tar kalau ada yang liat gimana!"
Roni mencoba menenangkanku, tapi bagaimana bisa aku tetap tenang kalau tangannya terus menempel?
"Kumohon, cepat lepasin ... " Aku mulai agak meninggikan suaraku.
"Berhenti nangis dulu tapi, kalau gak bisa bisa orang lain pada salah paham!" Roni nampak panik, saat melihatku menangis secara reflek.
"Habis sudah, ini sudah lebih dari lima menit ..." gumamku dengan tangis dan pandangan yang tertunduk.
"Apa ya yang lebih dari lima menit?"
"Kaya mungut makanan yang jatuh aja," Roni terus mengoceh, tapi enggan untuk melepaskan tangan kiriku.
Tenaganya cukup kuat sehingga sangat sulit bagiku untuk melawannya.
"Aku tak pernah bersikap kasar pada orang sebelumnya, tapi karena ini sudah keterlaluan maka ... "
Aku menarik mundur tangan kananku,, kemudian menampar pipi kanannya sekeras yang kubisa.
Suara tamparannya terdengar cukup keras, sementara bekas merah di wajahnya aku yakin akan sulit untuk dihilangkan.
"Oi, sakit tahu!" Roni dengan reflek melepaskan tangan kiriku yang sebulumnya dia genggam erat dengan tangan kanannya.
Kemudian mengelus elus bagian pipinya yang memerah akibat tamparanku.
"Sakitmu sih gak seberapa, bentar lagi juga sembuh!"
"Sudah cukup lama aku menjaga diri agar tak bersentuhan langsung dengan seorang pria, gara gara kamu ... semua ini gara gara kamu!" Aku memeluk erat diriku sendiri dengan tubuh yang gemetar dan frustasi.
"Ha!?"
"Memang apa salahnya bersentuhan dengan seorang lawan jenis?"
"Kaya yang bakal hamil aja sampe seheboh itu!" gumam Roni kesal.
"Maksudmu aku mandul jadi gak bakal bisa hamil!?"
"Dasar cowok gak berperasaan!" Aku berlari meninggalkan wilayah depan kelas karena frustasi.
Ketika berlari, aku berpapasan dengan seorang pria dengan tinggi yang kurang lebih sama sepertiku. Wajahnya nampak tak asing, karena kami pernah sekolah di tempat yang sama ketika masih muda.
Wajah datar, gaya rambut yang terlalu lepek dan cara jalan seperti seorang pemalas.
'Dio?'
Mata kami sempat berpapasan, satu sama lain. Tapi, momen itu terjadi hanya dalam kurun waktu sekejab saja. Semua karena aku sedang berlari sekencang yang aku bisa.
"Oi Kutu! Tunggu!"
"Kenapa malah lari sih!" Roni mengejarku sekuat yang dia bisa. Aku mungkin akan terkejar dalam waktu dekat, beruntungnya Dio nampak membantuku untuk mencegatnya kala itu. Aku melihat kejadian tersebut saat berbalik sejenak.
Aku melanjutkan lariku, saat mengetahui bahwa ada yang menghambat Roni. Saat sampai di sekitar toilet wanita, akupun menyelinap masuk untuk menenangkan diri.
Tap tap tap! ketika aku sudah lama merenung di dalam kamar mandi, terdengar jelas dua buah langkah kaki yang terdengar terburu buru seakan mengejar sesuatu.
"Hei Cupu!"
"Gara gara lu, gue jadi kehilangan dia nih!"
"Gimana dong!" Suara Roni terdengar jelas di telingaku, tapi cara bicaranya benar benar berbeda karena sebelumnya dia tak pernah memakai bahasa kasar seperti lu dan gue.
"Cih, bukannya dia pergi gara gara lu?"
"Lain kali, sebelum pegang tangan cewek, kira kira dong!" suaranya persis seperti suara Dio yang ku kenal, tapi cara bicaranya berbanding terbalik dengan yang aku tahu.
"Memangnya gue tahu kalau cewek itu sepolos itu!"
"Gue tahu dia polos, tapi masa jaman sekarang masih aja ada sih orang yang percaya kalau bersentuhan doang bisa hamil!" Roni berteriak kesal.
"Kan dah gue bilang, ini semua gara gara orang tuanya!" Dio terdengar kesal.
"Iya, gue tahu!"
"Tapi ... jujur deh, emangnya ceritanya gimana sih sampe dia separno itu sentuhan ama cowok!?"
"Apa sih alasan orang tuanya bilang kalau sentuhan ama lawan jenis lebih dari lima menit bisa hamil?" Roni terdengar penasaran.
"Ngapain juga gue cerita ke lu!?"
"Lu tanya aja langsung ke dia, gue juga kaget karena gak nyangka kalau pola pikirnya masih sama seperti waktu SMP!"
"Padahal kan seharusnya waktu SMA dijelasin kalau proses hamil itu bukan karena sentuhan kulit!" Dio terdengar menghela napas setelah menjawab pertanyaan Roni.
"Ja ... jadi aku gak bakal hamil?" aku membuka pintu kamar mandi saat mendengar penjelasan Dio.
'Kata ibu, bohong itu dosa kan?'
'Lantas kenapa ibu bohong padaku selama ini!'
'Bikin malu aja sih!'
'Aku kan percaya berat ama ibu!'
Aku berlari tanpa arah dengan wajah yang memerah karena malu.
"Pftt!!"
"Hahahahaha!"
Roni dan Dio merespon di luar bayanganku. Keduanya nampak begitu akrab hingga saling merangkul satu sama lain.
'Bukankah mereka berdebat tadi!'
"Oi bro, akting lu s***s juga ya!"
"Dia sampe beneran keluar loh!"
"Hahhahah!" Roni tertawa keras sembari mengelus elus dadanya.
"Lupain tentang itu boy, yang lucu di sini dia masih percaya ama omongan konyol emaknya!"
"Hahahahh!" Dio tertawa cukup lepas.
Aku tahu kalau ini cukup memalukan, tapi entah mengapa aku kok merasa kesal ya saat keduanya menertawaiku.
"Ah maaf, bukannya aku bermaksud menertawaimu, tapi ... "
"Aduh!" Aku menginjak kaki Roni saat ia hendak menjelaskan.
"Oh iya, dah lama ya kita gak ketemu. Btw aku baru pindah kemaren ke kampus ini. Hanya saja aku gak di jurusan bisnis kaya si k*****t ini!" Dio menepuk pundak Roni dengan cukup keras.
"Bodo amat!" Aku segera pergi meninggalkan keduanya.
"Ei Li,tunggu!" Dio mencoba mengejarku, tapi Roni menghalangi.
"Biar gue aja yang kejar, lu lagi ada kelas kan?"
"Kalau gue sih lagi diusir pak Toni!" jelas Roni bangga.
"Et dah! diusir guru di hari pertama kok malah bangga! bener bener k*****t ya lu!"
Dio menghela napasnya.
"Ah ... kaya yang gak tahu gue aja lu!"
"Tapi jujur dah, lu gak cocok bener pake gaya rambut lepek!"
"Rasanya kaya bukan lu," sambung Roni sebelum pergi meninggalkan Dio.
"Mo gimana lagi, tuntutan emak!" Dio menghela kesal.