Bab 14 - Masih Tersisa Sedikit Rasa

2220 Words
“Kalian sudah janjian pulang bersama?” Valdino bertanya dengan terheran-heran ketika mendengar ucapan yang dilontarkan Tristan kepada Helena. Padahal ia sudah bermaksud untuk mengantar Helena, tetapi sepertinya keinginan itu tidak akan terwujud. “Benar, Pak Dino. Tadi Bu Helena meminta saya untuk membantunya menyetir sampai ke rumahnya. Sebagai asisten Bu Helena, saya punya kewajiban untuk mengantarnya pulang. Tidak mungkin saya membiarkan beliau pergi dengan kaki terluka seperti ini,” jawab Tristan dengan cepat sebelum Helena menyelanya. Helena masih tercengang syok. Ia benar-benar kehilangan kata-katanya karena tidak diberikan kesempatan untuk meluruskan kesalahpahaman tersebut. “Kamu … yang memintanya untuk mengantarmu pulang, Helena?” tanya Valdino tampak tak percaya dengan penuturan asisten Helena tersebut. Helena tampak bingung menjawab pertanyaan tersebut. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti sandiwara Tristan karena dirinya tidak ingin memberikan harapan bagi Valdino untuk mengantarnya pulang dan makan malam bersama. “Iya, benar, Val. Kebetulan arah rumah Jovan juga searah, jadi dia bisa langsung pulang naik bis dari apartemenku,” jawab Helena berbohong. Ia merasa dosanya bertambah semakin banyak setelah menjalin hubungan dengan Tristan. Valdino melirik ke arah Tristan sejenak, kemudian segera memalingkan wajahnya ketika Tristan membalas lirikannya tersebut. Melihat ketakutan Valdino terhadap dirinya, Tristan pun mengulum senyumnya. Setelah tadi siang ia memberikan sedikit gertakan kepada Valdino, kini pria itu langsung menghindarinya. Bahkan untuk bertatapan saja, Valdino tidak memiliki nyali. Hal ini memang sesuai dengan keinginannya. “Apa Pak Dino juga mau pulang? Apa mau saya sekalian antarkan Bapak juga? Mungkin saja kita bisa makan malam bersama,” ujar Tristan menawarkan hal yang sebenarnya tidak diinginkannya. Ia memang sengaja melakukannya. Alasan Tristan mengajukan ajakan tersebut kepada Valdino adalah untuk membuat Valdino segera mundur dari ajang perebutannya terhadap Helena dan ternyata strateginya berhasil! “Ti-Tidak usah,” tolak Valdino dengan cepat. “Kalau mau bareng juga tidak apa-apa kok, Val,” timpal Helena berbasa-basi. “Iya, Pak. Kalau mau, biar kita bareng saja.” Tristan sengaja memegang lengan Valdino. Bulu kuduk pria itu langsung meremang seketika dan menarik dirinya sedikit menjauh. “Sa-Saya baru ingat kalau saya masih ada keperluan penting, Helena. Saya pulang dulu,” ucap Valdino dengan gugup. “Baiklah. Hati-hati di jalan, Val,” sahut Helena seraya melambaikan tangannya. Akan tetapi, Valdino tidak menanggapinya dan langsung berjalan menuju ke arah parkiran mobilnya yang berada di sisi yang berbeda. Pria itu memasuki mobilnya dan memandang sinis ke arah asisten Helena. “Berengsek,” gumam Valdino dengan kesal. Ia pun segera menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan lantai parkiran tersebut setelah membunyikan satu kali klakson mobilnya sebagai tanda pamitnya kepada Helena. Kini hanya Helena dan Tristan yang tertinggal di parkiran tersebut. Helena langsung menoleh kepada Tristan yang tampak bersiul riang melihat kepergian hama pengganggunya tersebut. “Sudah puas kamu?” sindir Helena. Kedua lengannya terlipat di depan dadanya. "Bisa-bisanya kamu pakai cara licik seperti itu. Ada saja ide busukmu itu," cetus Helena yang tidak tahu apakah perkataannya ini merupakan pujian atau sindiran bagi Tristan. Pandangan Tristan pun beralih kembali kepada wanita itu dan tersenyum lebar. “Tentu saja. Orang seperti itu memang harus sesekali ditakuti. Akhirnya dinosaurus itu tidak mengganggumu lagi.” Helena memutar bola matanya dengan malas. “Sejak kapan kita pernah janjian pulang bareng? Kenapa kamu selalu saja memutuskan dan berbicara seenaknya, Tris?” protesnya kepada pria itu. “Apa kamu mau kita berantem di sini, Helena?” Tristan mencoba mengingatkan bahwa suara wanita itu akan menggema ke seluruh area parkiran yang kosong tersebut. Meskipun saat ini memang hanya ada mereka berdua saja di sana, tetapi tidak memungkinkan jika ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka secara diam-diam. Helena mendengkus kesal. Ia benar-benar kehilangan akal dalam membalas setiap perkataan yang dilontarkan oleh Tristan. Pria itu sungguh pintar memanfaatkan situasi. Tanpa membalas perkataan Tristan lagi, Helena memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun, baru saja ia melangkah, Helena meringis kesakitan. Tristan mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia pun merebut kunci kendaraan yang berada di dalam genggaman tangan Helena. “Hei, apa-apaan kamu! Kembalikan kunci mobilku!” hardik Helena dengan kesal. Ia berniat merebut kembali kunci mobilnya. Akan tetapi, Tristan berkelit dengan cepat dan berkata, “Tunggulah di sini. Biar aku yang menyetir mobilmu. Jangan keras kepala.” Setelah mengatakan hal itu, Tristan telah berlari kecil menuju ke arah mobil Helena yang terparkir paling sudut. Hanya embusan napas kasar yang bergulir dari bibir wanita itu dalam menghadapi sikap semena-mena mantan kekasihnya tersebut. Namun, ia tahu jika Tristan melakukannya demi kebaikannya. Helena terpaksa membiarkan Tristan untuk mengantarkannya pulang karena kondisi kakinya memang semakin parah karena tadi ia terus menggerakannya secara spontan. Tristan memarkirkan kendaraannya tepat di samping Helena. Pria itu bergegas turun dan membukakan pintu mobil penumpang untuknya dan Helena pun masuk ke dalam. Baru saja mereka keluar dari gedung perkantoran, rintik hujan mulai turun membasahi seluruh jalan kota. Kemacetan tidak lagi dapat dihindari. Namun, keheningan mulai menyelimuti sepasang mantan kekasih tersebut. Tristan memandang wiper mobil yang terus bergerak menyapu rintik hujan pada kaca mobil bagian depan, sedangkan Helena sibuk memainkan telepon genggamnya untuk menghindari pembicaraan dengan pria itu. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Tristan seraya melirik Helena sekilas melalui sudut matanya. Helena tidak menjawabnya dan terus memainkan sebuah aplikasi permainan yang biasa dimainkan oleh Nayra di dalam gawainya tersebut. Laju mobil yang dikendarai Tristan perlahan memelan ketika lampu lalu lintas berubah merah. Karena merasa diabaikan oleh Helena, Tristan pun merebut gawai tersebut dari tangan Helena, kemudian mengantonginya ke dalam saku kemejanya. Helena memutar bola matanya dengan kesal. “Kembalikan ponselku, Tris!” titahnya seraya mengulurkan tangannya ke arah pria itu. “Matamu minus kalau main handphone di mobil,” cetus Tristan dengan acuh tak acuh. Helena mencebik bibirnya dengan kesal. “Ini bukan urusanmu. Bukan matamu juga,” gerutunya. “Ini demi kebaikanmu, Helena,” timpal Tristan yang memang sengaja mencari perhatian dari Helena dengan sikapnya yang menyebalkannya ini. Namun, ia memang tidak suka melihat Helena tidak menjaga kesehatannya sendiri dengan baik. Helena berdecak kesal. “Terima kasih atas kepedulianmu, tapi berhentilah membuat hal yang tidak perlu. Aku tidak membutuhkan kepedulianmu itu, Tristan,” cetusnya dengan ketus. Tristan tidak menanggapi. Ia hanya menatap tajam sosok Helena yang sedang menatapnya dengan penuh kekesalan. “Sekarang berikan padaku,” titah Helena lagi. Kembali mengulurkan tangannya kepada Tristan. Seringai licik terbit di bibir Tristan. Ia pun mengalihkan kembali fokusnya ke depan. “Ambil saja sendiri kalau kamu bisa,” tantangnya dengan acuh tak acuh. Rahang Helena mengetat. Kesal karena pria itu sengaja memancing emosinya. Akhirnya ia terpaksa mengambil sendiri dari saku kemeja Tristan. Akan tetapi, dengan cepat Tristan menarik pinggang Helena hingga posisi mereka terpangkas dan ujung hidung mereka saling bersentuhan satu sama lain. Sepasang bola mata Helena sontak terbelalak lebar. Ia meneguk salivanya dengan bersusah payah ketika aroma parfum maskulin yang menguar dari tubuh Tristan tercium di indera penciumannya. Wajah Helena juga terasa sangat kaku ketika deru napas Tristan yang hangat terasa di kulit wajahnya. ‘Sialan! Ternyata dia sengaja!’ geram Helena yang baru menyadari jebakan Tristan. “Lepaskan aku,” geram Helena yang masih membalas tatapan Tristan yang melekat padanya. Helena tidak ingin membiarkan pria itu mengobrak-abrik hatinya kembali sehingga ia menunjukkan keteguhan meskipun tidak dapat dipungkiri jika sosok Tristan mulai mengambil alih pikirannya sedikit demi sedikit. Rintik hujan di luar mobil membuat kenangan masa lalunya kembali berkeliaran di dalam benaknya. Pandangan Tristan beralih secara perlahan dan tertuju pada bibir merah muda yang terlihat menantangnya untuk mencicipinya. Ia berusaha keras untuk tidak melepaskan kendali dirinya. Tadi ia hanya berniat untuk sedikit mempermainkan wanita itu karena telah mengabaikannya. Akan tetapi, tindakannya ini malah mempersulit dirinya sendiri. “Apa sekarang jantungmu sedang berdebar-debar, Helena?” goda Tristan yang berusaha menyembunyikan gairah yang mulai memenuhi benaknya. Seyuman nakal yang terbentuk di bibir Tristan membuat Helena geram bukan kepalang. Helena mendengkus. “Mimpi saja sana,” timpalnya dengan dingin. Satu tangannya dengan cepat merebut gawainya di dalam saku kemeja pria itu, kemudian ia mendorong Tristan dengan kuat hingga pria itu kembali menyandarkan kembali punggungnya pada jok mobilnya. Helaan napas lega bergulir dari bibir Tristan. Jika saja Helena tidak segera mendorongnya, mungkin saja ia benar-benar akan meraup bibir mantan kekasihnya itu. Helena pun memasukkan gawainya ke dalam tasnya dan mengembuskan napasnya dengan kasar. Tubuhnya terasa sangat gerah karena kedekatannya dengan Tristan tadi, tetapi ia berusaha mengabaikan debaran aneh yang memenuhi dadanya. “Menyebalkan. Memangnya kamu siapa main mengaturku?” sungut Helena dengan kesal. “Mantanmu,” jawab Tristan dengan santai dan akhirnya mendapatkan sorot mata yang tajam dari wanita itu. “Tidak lucu!” timpal Helena seraya membuang pandangannya ke depan. Karena hujan yang turun semakin deras, kemacetan kota semakin menjadi. Sejak tadi mobil mereka hanya berjalan merayap dan kembali terhenti ketika lampu lalu lintas kembali berubah merah dengan sangat cepat. “Kenapa kamu tidak menolak terang-terangan sama Dinosaurus itu kalau kamu tidak menyukainya? Bukankah kamu tahu kalau dia memiliki maksud padamu, Helena?” Tiba-tiba saja Tristan melontarkan pertanyaan kepada wanita itu. “Tentu saja aku tahu. Tapi, dia belum memberikan pengakuannya. Apa menurutmu tidak aneh kalau aku tiba-tiba bilang kalau jangan mendekatiku? Aku hanya tidak ingin membuat hubungan kerja menjadi kacau saja,” jawab Helena tanpa menoleh kepada pria itu. “Apa kamu tahu kalau hal itu hanya akan membuatnya berpikir kalau kamu memberikannya kesempatan?” timpal Tristan mengingatkan. “Bukan urusanmu. Lagipula Valdino pasti juga memahaminya tanpa aku mengatakannya dengan jelas,” cetus Helena dengan malas. "Tapi, lelaki itu tidak akan menyerah, Helena. Aku khawatir," gumam Tristan dengan ekspresi yang menunjukkan kecemasannya. Entah kenapa firasatnya mengatakan jika Valdino bukan pria yang mudah diatasi. “Sebenarnya tadi aku sudah mau bilang kok. Tapi, kamu malah main menyerobot saja,” keluh Helena yang mengingat tindakan Tristan beberapa waktu lalu. “Oh ya?” Tristan tersenyum smirk, kemudian lanjut berkata, “Soalnya aku terlalu senang mendengar kamu membelaku di depan Dinosaurus itu. Jadi aku—” Manik mata Helena kembali terbelalak dan kali ini ia menoleh. Ia kembali teringat ketika dirinya memberikan alasan tidak memecat Tristan kepada Valdino dan menyelanya dengan cepat, “Tunggu dulu, bagaimana kamu bisa tahu? Kamu menguping pembicaraan kami?” “Mau tidak menguping saja sulit karena suaramu menggema di mana-mana,” goda Tristan seraya terkekeh geli. Rona merah pun menjalar di wajah Helena. Malu karena tertangkap basah telah membela Tristan. Padahal ia tidak berniat melakukannya, tetapi Helena merasa ucapan Valdino terlalu semena-mena dengan menggunakan jabatan yang dimilikinya sehingga ia bertindak secara rasional untuk mengingatkan rekan kerjanya itu. “Aku hanya mengatakan hal sesuai prosedur. Tidak ada maksud membelamu sedikit pun. Jadi jangan terlalu ke-geeran,” cetus Helena lagi yang berusaha bersikap seperti biasa. Ia tidak ingin Tristan menganggapnya memiliki rasa padanya. Tawa Tristan pun perlahan terhenti. Ia tahu jika pernyataan Helena tidak mungkin ditujukan untuk membelanya tadi, tetapi tidak dapat dipungkiri jika masih tersisa sedikit rasa untuknya. Hanya saja wanita itu tidak menyadarinya saja. “Aku tidak kepedean atau ke-geeran, Tapi, aku sangat senang karena kamu masih memberikanku kesempatan, Helena,” aku Tristan yang membuat pandangan Helena kembali tertuju padanya. Waktu seolah berhenti bergulir ketika tatapan intens mereka saling beradu. Helena dapat melihat sinar mata yang seolah diselimuti dengan gelora yang dipenuhi dengan rasa penyesalan dan juga hasrat yang terselubung dari tatapan pria itu. Memori lama tentang hubungan mereka di masa lalu kembali menari di dalam benaknya. Ingatan tentang hubungan intens yang pernah dilakukannya bersama pria itu juga turut menghiasi pikirannya. Cara menatap dan bicara pria itu masih sama seperti dulu. Hanya saja saat ini Helena merasa sikap Tristan lebih dewasa dibandingkan diri pria itu dulu yang selalu menggebu-gebu dan memaksakan kehendaknya dengan cara yang lebih arogan. Meskipun sekarang Tristan terkadang masih saja bersikap arogan, tetapi pria itu memiliki pandangan yang lebih dewasa. Sikap kekanak-kanakkan yang dilakukan Tristan pun hanya demi mendapatkan perhatian darinya. ‘Jika saja kamu tidak mengkhianati cinta kita, apa mungkin hubungan kita masih akan tetap berlanjut, Tristan?’ Helena segera menepis pikiran anehnya tersebut dari dalam benaknya. Ia tahu jika semua itu hanyalah khayalan yang tidak mungkin terealisasikan. Nyatanya, Tristan telah berselingkuh di belakangnya dan ia tidak ingin memberikan seorang ayah yang memiliki karakter buruk untuk putrinya. Apalagi status mereka saat ini sangatlah berbeda. Tristan bukan seorang laki-laki yang bisa menjadi pendamping hidupnya. Jalan hidup dan latar belakang mereka berbeda. Jika mereka tetap meneruskan hubungan yang tidak sejalan seperti ini, Helena hanya akan menerima rasa sakit belaka. ‘Apa yang harus aku lakukan untuk membenahi perasaanmu yang sudah terlanjur kulukai, Helena?’ batin Tristan yang juga terseret dalam arus masa lalu mereka. Tristan benar-benar merasa menyesal telah menyia-nyiakan wanita sebaik Helena. Jika saja bukan karena kejadian itu, mungkin saja Tristan tidak akan mencoba-coba untuk memprovokasi hubungan mereka di masa lalu. Semua tindakannya di masa lalu karena semata-mata pendiriannya yang terlalu goyah sehingga mudah terhasut oleh rumor-rumor yang tidak berdasar. Suara klakson mobil di belakang mereka membuat Helena maupun Tristan tersadar dengan lamunan mereka masing-masing. Tristan pun buru-buru melajukan kembali mobilnya dan melanjutkan perjalanan mereka. Namun, Tristan tidak membawa Helena kembali ke apartemen wanita itu. “Lho, kamu mau bawa aku ke mana, Tristan? Seharusnya tadi kamu lurus saja tadi,” protes Helena. “Aku lapar. Kita makan bakso Mang Ucok saja dulu. Pasti sudah lama kamu tidak ke sana. Sekalian bungkus buat Nayra dan mamamu,” jawab Tristan yang kembali memutuskan secara sepihak. Kali ini Helena tidak memberontak karena ia memang sudah lapar berat. Apalagi cuaca dingin yang membuatnya ingin menghangatkan diri. Semangkuk bakso mungkin cukup untuk membuatnya kembali mengenang kebersamaannya bersama Tristan di masa lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD