Bab 11 - Terkilir

1943 Words
Tristan mengedikkan bahunya. “Aku tidak mengerti maksudmu,” ucapnya menimpali tuduhan yang diberikan Helena padanya. “Jangan berpura-pura,” hardik Helena dengan dingin. Ia melihat jelas tindakan Tristan yang penuh kepalsuan. Meskipun mereka sudah lama tidak menjalin hubungan dekat, tetapi Helena masih bisa membedakan apakah Tristan hanya sekedar bersandiwara ataupun bukan. Biasanya Tristan tidak pernah bersikap peduli dengan kesulitan yang dihadapi orang asing sehingga Helena tahu jika pria itu memiliki maksud terselubung. Melihat sorot mata penuh tuduhan yang dilayangkan Helena, Tristan pun menghela napas panjang. “Apa aku sejahat itu di hatimu, hm?” “Bukan hanya jahat. Tapi, sangat buruk,” timpal Helena dengan sinis. Tristan tertegun mendengarkan penilaian Helena tentangnya. Namun, ia tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati. Ia tahu keburukannya di masa lalu sulit untuk dimaafkan. “Kamu benar. Aku memang sengaja menumpahkan minuman tadi,” aku Tristan tanpa malu. Sebelum Helena sempat menimpali, Tristan kembali berkata, “Tapi, semua yang aku lakukan adalah demi kamu, Helena.” Kedua netra Helena terbelalak tak percaya. Ia pun mendengkus sinis dan menyeruput es jeruknya untuk mendinginkan kepalanya yang mendidih. Akan tetapi, baru saja ia meminum seteguk, pergelangan tangannya telah ditarik oleh Tristan sehingga ia beranjak dari kursinya. “Apa-apaan kamu, Tristan? Lepaskan tanganmu,” desis Helena dengan suara berbisik. Ia tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri dengan membentak pria itu karena keadaan di dalam rumah makan tersebut sangat ramai. Namun, Tristan tidak menggubris permintaannya tersebut. Ia terus menarik wanita itu keluar bersamanya. Sebelum keluar, ia memberitahu pelayan rumah makan tersebut untuk menagih total makanan dan minuman kepada pria yang datang bersamanya tadi. Langkah Helena terseret-seret karena tarikan Tristan. Akhirnya setelah mereka berada di lahan parkir rumah makan tersebut, Helena menyentakkan tangannya dengan kuat hingga cekalan tangan pria itu terlepas dari pergelangan tangannya. Akan tetapi, tindakannya itu malah membuat dirinya hampir celaka. Tubuh Helena terhuyung dan hampir saja terserempet motor yang melintas dengan kecepatan tinggi. Jika saja Tristan tidak dengan sigap menarik pinggangnya dan mendekap tubuh Helena ke dalam pelukannya, mungkin saja wanita itu akan benar-benar terluka parah. Sang pengendara motor berseragam sekolah menengah atas tersebut sangat terkejut dan hampir saja terjatuh karena berniat menghindari Helena. “Jalan pakai mata dong, Mbak! Bahaya tahu!” teriaknya. “Kamu sendiri mengemudi yang benar, Bocah! Malah ngebut-ngebut di jalan sempit begini!” balas Tristan dengan penuh amarah. Akan tetapi, anak muda tersebut tidak peduli dan kembali melajukan motornya dengan cepat karena khawatir diminta pertanggungjawaban. Masih dengan deru napas yang memburu karena kaget, Tristan melirik sosok Helena yang berada di dalam dekapannya. Tidak dapat dipungkiri jika debaran jantungnya berpacu dengan sangat cepat hingga ia merasa Helena mungkin bisa mendengarnya. Kedua tangan Tristan yang sedang melingkar di pinggang wanita itu terasa dingin karena gugup. Rasanya sudah lama sekali ia tidak memeluk wanita itu ke dalam dekapannya dan ia berpikir untuk memeluknya lebih lama lagi. Akan tetapi, Helena yang baru tersadar dari rasa kagetnya pun mendorong d**a Tristan dengan cepat hingga membentangkan jarak di antara mereka. Wanita itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Tidak dapat dipungkiri jika degup jantung Helena saat ini juga sedang berdebar seperti sedang menaiki roller coaster, tetapi ia berpikir jika hal itu terjadi karena ia baru saja mengalami bahaya. Ia sendiri cukup terkejut ketika mendengar suara detak jantung Tristan di telinganya ketika tanpa sengaja telinganya menempel pada d**a pria itu. “Ka-Kamu tidak apa-apa, Helena? Apa tadi sempat terserempet?” tanya Tristan dengan khawatir. Pria itu mencengkeram erat kedua lengan Helena dan memiringkan wajahnya untuk melihat dengan jelas ekspresi wanita itu. “A-Aku baik-baik saja,” cicit Helena dengan wajah yang masih tertunduk dalam. Ia berusaha mengatur ekspresi dan deru napasnya. “Benarkah?” tanya Tristan lagi. Entah kenapa ia merasa ada yang berbeda dari Helena saat ini. Wanita itu tidak lagi memarahinya seperti tadi. ‘Sepertinya dia benar-benar syok,’ pikirnya saat menilai kondisi mantan kekasihnya tersebut. Helena hanya mengangguk. Ia berniat untuk kembali melangkah, tetapi rasa sakit yang luar biasa hebat tiba-tiba menyerang area pergelangan kakinya. “Akh!” Lamunan Tristan teralihkan ketika mendengar suara ringisan dari bibir Helena. Ia pun bergegas menghampiri wanita itu. Helena berdiri dengan posisi sedikit membungkukkan. Satu tangannya telah memegang pergelangan kakinya. “Ada apa? Kakimu sakit?” tanya Tristan dengan panik. Melihat kening Helena yang mengernyit, ia langsung menilai jika wanita itu sedang berusaha menahan rasa sakit pada area kaki. Akhirnya Tristan pun berjongkok di depannya. “Boleh aku memegangnya?” Perhatian Helena perlahan-lahan teralihkan. Ia tertegun dengan pertanyaan mantan kekasihnya itu. Ia tidak menyangka pria itu akan berjongkok di depannya dan meminta izin untuk menyentuhnya. Padahal tadi pria itu telah menariknya keluar dari rumah makan Padang dengan sesuka hatinya. 'Ck, sepertinya sekarang dia pakai trik halus agar aku bisa memaafkannya atas perbuatannya tadi,' batin Helena menilai. Melihat Helena yang diam, Tristan menganggapnya sebagai tanda izin untuknya. Ia pun menyentuh pergelangan kaki kanan Helena dengan hati-hati dan wanita itu kembali meringis. "Pelan-pelan," cicit Helena. Tristan mendongak dan melihat Helena yang masih memejamkan matanya untuk menahan perih. Ia pun mengulum senyum tipisnya melihat sikap manis wanita itu. “Sepertinya kakimu terkilir, Helena,” cetus Tristan. “Aku tahu,” timpal Helena dengan malas. Ekspresi dingin dan ketus kembali terukir di wajah wanita itu. Helena kembali menatap Tristan dengan tajam. “Ini semua gara-gara kamu. Kenapa juga kamu pakai acara tarik-tarik aku keluar?” omel wanita itu. Sayangnya, omelannya itu terasa tidak berguna karena Tristan memasang sikap acuh tak acuh. Helena tersentak ketika Tristan tiba-tiba memutar tubuhnya. Masih dengan posisi berjongkok, pria itu menyodorkan punggung kokohnya. Sikap inisiatif Tristan cukup mengejutkan Helena. Walaupun Helena tahu jika Tristan bersikap seperti ini demi mendapatkan penilaian positif darinya, tetapi ia tetap saja bertekad untuk tidak membiarkan pria itu mendapatkan keinginannya tersebut. Jika saja dirinya masih seorang gadis remaja seperti dulu, mungkin Helena akan benar-benar tersentuh dengan kepedulian dan inisiatif pria itu. Sayangnya, Helena sudah mengetahui akal bulus Tristan lebih dulu. Ia tidak berniat melemahkan pendiriannya. “Naiklah. Aku akan mengantarkanmu ke dokter. Tadi aku lihat ada rumah sakit di dekat sini," ucap Tristan menawarkan diri. “Tidak perlu. Ini hanya terkilir biasa saja,” timpal Helena dengan ketus. Ia laangsung menolak tawaran Tristan tanpa basa-basi. Sayangnya, tidak mudah menolak Tristan karena pria itu sama keras pendirian dengannya. Melihat Helena yang telah berbalik badan dan melangkah dengan terseret-seret, Tristan pun kembali berdiri dan melangkah di depannya dengan cepat. Ia berdiri menghalangi jalan wanita itu. “Kamu mau ke mana, Helena? Aku tau kalau kakimu terkilir, tapi tidak bisa dianggap enteng,” sahut Tristan dengan mimik wajah khawatir. Dengkusan kasar bergulir dari bibir Helena. Wanita itu membuang pandangannya dan berkata, “Tidak perlu mengajariku. Aku tau kondisiku sendiri dan aku tidak akan merepotkanmu. Aku akan meminta Valdino untuk mengantarku kembali ke kantor.” Setelah mengatakan hal tersebut, Helena kembali berjalan melewati Tristan. “Dasar keras kepala,” gerutu Tristan dengan kesal. Akhirnya tanpa banyak bicara lagi, ia kembali mendahului Helena. Kali ini ia langsung menggendong tubuh wanita itu di kedua belah tangannya. “Tristan!” Helena sangat kaget ketika menyadari dirinya sudah berada di dalam gendongan pria itu. “Turunkan aku!” bentak Helena dengan panik. “Tidak, kecuali kamu menciumku,” cetus Tristan dengan asal. Kedua bola mata Helena membulat besar. “Kamu—” “Kamu sendiri yang tidak mau menerima kebaikanku dengan suka cita. Jadi aku terpaksa menggunakan cara paksa seperti ini. Terserah kalau kamu mau memakiku atau memarahiku. Aku tetap akan membawamu ke rumah sakit dengan caraku sendiri. Aku tidak suka kamu memaksakan dirimu seperti ini, Helena,” sela Tristan mengutarakan pikirannya tersebut. Kekhawatiran yang masih terlukis di wajah pria itu. Ucapannya berhasil membuat Helena semakin kesal padanya, tetapi Tristan tidak peduli. Hal yang pasti ingin dilakukan Tristan saat ini adalah membawa Helena sejauh mungkin dari Valdino. Ia tidak ingin membiarkan pria lain memiliki kesempatan untuk merebut posisi di hati Helena meskipun ia tahu jika Valdino tidak pantas menjadi rival cintanya. “Siapa juga yang memaksakan diri? Kalau bukan karena kamu, memangnya aku bisa terkilir seperti ini?” Helena masih tidak memahami maksud Tristan. “Turunkan aku, Tris!” geram Helena seraya menendang kedua kakinya. Namun, pergerakannya itu malah membuat rasa sakit di pergelangan kaki kanannya semakin parah. Tristan tidak lagi mengindahkannya dan terus berjalan menuju arah rumah sakit yang hanya beberapa blok dari rumah makan tersebut. Pria itu tidak peduli meskipun dirinya menjadi bahan perhatian orang-orang karena tindakannya tersebut. Akan tetapi, berbeda dengan Helena. Wanita itu langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Malu karena tatapan orang-orang tersebut. Ia juga khawatir akan ada orang yang mengenalinya. “Tristan, turunkan aku. Aku benar-benar akan berteriak kalau kamu masih tidak menurunkanku,” cicit Helena dengan ancamannya tersebut. Namun, Tristan malah tersenyum smirk. “Terserah. Lakukan saja,” timpalnya dengan acuh tak acuh. Tristan tahu jika wanita itu tidak akan berani melakukannya. Ia cukup mengenal Helena. Wanita itu hanya terlihat kuat dan berani di depan saja, tetapi jika dihadapkan dengan keramaian, Helena akan lebih memilih untuk menjaga wibawa dan nama baiknya sendiri. “Sialan!” maki Helena dengan kesal. Wanita itu merasa sedang berbicara dengan sebuah batu besar dan akhirnya merasa lelah sendiri. Ia pun membiarkan Tristan membawanya ke rumah sakit. *** “Sudah kubilang kan kalau ini cuma keseleo biasa,” omel Helena dengan kesal. Wanita itu baru saja selesai mendapatkan penanganan dari dokter ahli dan hasilnya hanyalah keseleo ringan saja. Melihat wajah kesal Helena, Tristan mengulum senyumnya. Ia memapah tubuh wanita itu dengan satu tangan wanita itu menopang di pundaknya. “Tapi, dokter bilang kalau kamu tidak boleh beraktivitas berat,” cetus Tristan yang tidak mau disalahkan. Pria itu merasa lega karena luka yang didapati Helena tidak berakibat fatal. Namun, dokter menganjurkan agar wanita itu tetap harus membatasi pergerakannya agar tidak membuat luka semakin parah. Helena memanyunkan bibirnya dengan kesal. “Gara-gara kamu, waktuku terbuang sia-sia,” gerutunya dengan kesal. "Lho, kita mau ke mana? Ini bukan arah jalan ke kantor," cetus Helena dengan bingung. Karena terus mengomel, ia tidak menyadari jika Tristan malah mengajaknya ke arah jalan yang berbeda. "Tentu saja pergi makan siang. Kamu belum makan apa pun dari tadi, bukan?" jawab Tristan dengan santai. Ia tidak peduli walaupun wanita itu akan kembali mengomelinya karena inisiatifnya tersebut. "Aku sudah makan tadi. Apa matamu tidak melihat aku makan?" timpal Helena dengan malas. "Bohong. Kamu sama sekali tidak menikmatinya," balas Tristan. Helena benar-benar dibuat lelah dengan segala tingkah tak terduga dari mantan kekasihnya tersebut. Ia pun berkata, "Tristan, aku tidak punya waktu bermain denganmu. Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau mengantarku pulang, aku juga bisa pulang sendiri." Namun, pria itu lagi-lagi menahan langkahnya. "Aku tidak tahu kalau kamu benar-benar mau menjadi ambassador nasi Padang, Helena." Kening Helena langsung mengerut setelah mendengar kalimat aneh pria itu. Ia memutar tubuhnya kembali dan bertanya, "Apa maksudmu?" “Bukankah beberapa hari ini kamu terus makan nasi Padang? Apa kamu perlu memaksakan dirimu sampai seperti ini, Helena?" Kedua alis Helena bertaut. Ia cukup terkejut karena pria itu mengetahui kebodohannya, tetapi ia tidak ingin menunjukkannya dengan jelas. "Siapa bilang aku memaksakan diri. Jangan sok tahu tentangku," cetusnya. Setelah mengatakan hal tersebut, ia kembali berbalik badan dan berjalan dengan langkah terseret-seret menuju ke tepi jalan untuk menghentikan taksi yang melintas. "Kamu pikir caramu yang sengaja menerima tawaran makan siang dengan Dinosaurus itu akan membuatku menyerah? Biar aku katakan padamu kalau semua itu tidak berguna, Helena!” Suara teriakan Tristan masih terdengar jelas di indera pendengaran Helena sebelum ia memasuki taksi yang berhenti. Ia memijit keningnya yang berdenyut karena tindakan Tristan yang mengacaukan waktu makan siangnya yang berharga. "Dinosaurus?" gumam Helena. Perlahan ia mengulum senyumnya ketika menyadari bahwa Tristan memberikan julukan konyol untuk rekan satu kantornya tersebut. "Oh, astaga! Valdino!" Helena menepuk keningnya ketika baru teringat telah meninggalkan pria itu di rumah makan Padang tadi tanpa pesan apa pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD