Bab 17 - Percuma Menghindari Takdir

2144 Words
“Sial!” Suara geraman Tristan terdengar bergaung di dalam keheningan kediamannya yang kosong. Pria itu mengacak surainya dengan kasar, lalu satu kepalan tangannya memukul kuat dinding apartemennya hingga buku-buku tangannya memutih dan terasa perih. Tristan meringis. Ia masih dapat merasakan panas yang menjalar pada pipinya akibat tamparan Helena. Wajar jika Helena sangat marah karena ia telah merebut ciuman tanpa seizinnya. Tidak seharusnya Tristan bertindak terlalu gegabah. Tadi ia terlalu terbawa emosinya sendiri karena wanita itu telah menolaknya dengan dingin. Harga diri Tristan cukup terluka karena berulang kali mendapatkan penolakan dari wanita itu. Ia tidak tahu harus bagaimana membuat hati Helena berpaling padanya seperti dulu. Padahal Tristan sempat mengira jika dirinya hampir saja berhasil mengguncangkan pertahanan wanita itu. Ternyata semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, Tristan tidak sepenuhnya menyesal telah bertindak semena-mena tadi. Justru, tamparan yang diberikan Helena semakin menarik perhatiannya. Membuat pria itu semakin ingin menaklukkan mantan kekasihnya tersebut dengan cara apa pun. Tristan memiliki firasat jika Helena masih menyimpan rasa padanya. Wanita itu sedang berusaha menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya pada detik-detik terakhir ciuman paksanya tadi. Sedikit lagi ia hampir saja berhasil membuat Helena menunjukkan perasaannya. Sayangnya, keteguhan hati Helena ternyata keras seperti batu karang yang terus berdiri dengan kokoh meskipun ombak besar seperti Tristan ingin menerjangnya berulang kali. Tamparan keras yang diberikan Helena bukan hanya sekedar memberikan ganjaran kepada Tristan, melainkan juga untuk menutupi perasaannya yang sesungguhnya. Tristan merasa jika dirinya sangat pantas mendapatkan tamparan tersebut sebagai pengganti luka yang telah diberikannya kepada wanita itu. . ‘Helena, hubungan kita tidak akan pernah berakhir. Aku tidak akan mengakhirinya. Aku akan membuatmu sadar kalau aku tidak akan mengecewakanmu seperti dulu lagi,’ batin Tristan dengan wajah yang tertunduk dalam. Pria itu menyandarkan keningnya pada dinding ruangan yang terasa dingin dan keheningan mulai menyergap seluruh ruangan tersebut. Ada satu hal yang membuat Tristan cukup menyesal. Buliran bening yang menetes dari pelupuk mata wanita itu tadi membuat Tristan seketika sadar jika lagi-lagi ia melukai hati wanita itu. “Helena ….” Tristan bergumam lirih. Suara dering gawainya mengalihkan lamunan Tristan. Ia pun merogohnya dan mendapati satu pesan masuk yang dikirimkan oleh Galaksi padanya. [Bagaimana harimu? Jangan lupa dengan janjimu, Tristan. Tunjukkan kalau aku tidak salah membantumu.] Tristan mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia tahu jika Galaksi hanya ingin mengejeknya saja. Rivalnya itu pasti sangat senang mengetahui kesulitan yang sedang dihadapinya saat ini. Ia yakin asisten Galaksi yang bernama Arsen itu sudah melaporkan tentangnya. Jika saja bukan karena ingin berada di dekat Helena, Tristan juga tidak akan pernah menurunkan harga dirinya dengan memohon kepada Galaksi. Ingatan Tristan kembali melayang kepada hal yang terjadi dua hari yang lalu. Ketika dirinya diusir oleh Helena dari apartemen wanita itu, ia sempat berpikir untuk kembali ke kediaman orang tuanya. Namun, ia mengurungkan kembali niatnya ketika mengingat bagaimana ibunya memberikan ultimatum yang keras untuk tidak kembali ke rumah jika ia tidak membawa Nayra padanya. Tentu saja Tristan tidak berniat memenuhi perintah ibunya. Ia tidak akan melanggar janjinya dengan Helena meskipun harus hidup dalam kekurangan. Tristan yakin ibu ataupun ayahnya juga tidak akan membiarkan dirinya terus-terusan menderita karena mau bagaimanapun dirinya adalah satu-satunya putra keluarga Rahardian. Hanya saja Tristan perlu menunggu waktu hingga salah satu di antara mereka menyerah lebih dulu. Ini adalah perang dingin di antara dirinya dengan orang tuanya saja. Tristan pun memilih untuk mencari cara lain, yaitu dengan meminta bantuan dari Galaksi. Hanya pria itulah yang dapat membantunya karena Helena pasti tidak akan membantah perintah atasannya sendiri. Sayangnya, membujuk Galaksi bukanlah hal yang mudah. Mengingat bagaimanapun mereka pernah berseteru dulu, Galaksi tentu saja meminta kompensasi yang sesuai apabila Tristan menginginkan bantuan darinya. “Berikan lahan yang kamu rebut waktu itu, Tristan.” Itulah kompensasi yang diinginkan Galaksi ketika Tristan memintanya untuk menjadikannya sebagai bawahan Helena. Permintaan yang sangat sulit, tetapi juga mudah bagi Tristan. Awalnya Galaksi khawatir jika Tristan ternyata sedang merencanakan sesuatu yang licik terhadap perusahaan Bamantara. Akan tetapi, setelah Tristan setuju dengan kompensasi yang diajukan oleh rivalnya itu, akhirnya ia diberikan kesempatan untuk menjadi asisten Helena. Selama ini Bamantara Group terus memiliki beberapa hektar tanah yang akan digunakan untuk pembangunan business center yang ada di Kota Surabaya. Akan tetapi, sebagian lahan yang telah dirancang di dalam proyek pembangunan tersebut malah sengaja dibeli oleh Rahardian Group sehingga proyek tersebut akhirnya terbengkalai karena negosiasi tidak berjalan dengan lancar. Meskipun pihak Bamantara Group sudah mengajukan sejumlah nominal yang besar kepada Rahardian Group, tetapi mereka tetap saja tidak ingin melepaskan lahan tersebut. Galaksi tahu jika pihak Rahardian sengaja membeli lahan untuk memutuskan proyek milik perusahaan Bamantara. Memang demikianlah yang direncanakan Tristan saat itu. Setelah mendengar Bamantara Group akan menjalankan proyek business center, ia langsung membeli lahan dengan nominal yang lebih besar dibandingkan penawaran rivalnya tersebut. [Tenang saja. Bukankah kamu sudah memegang kontrak perjanjian kita? Apa yang kamu takutkan?] Tristan membalas pesan Galaksi dengan malas karena merasa diremehkan oleh rivalnya tersebut. Padahal mereka telah membuat surat perjanjian tertulis. Meskipun saat ini Tristan tidak lagi menjabat sebagai bawahan sang ayah, tetapi tidak berarti jika ia tidak memiliki hak atas lahan tersebut. Kebetulan pada saat pembelian, Tristan menggunakan namanya sebagai pemilik baru dari lahan itu tanpa sepengetahuan sang ayah. Walaupun orang tuanya telah membekukan rekening dan kartu kreditnya, tetapi mereka tidak tahu jika Tristan masih memiliki beberapa aset pribadi yang dapat dimanfaatkannya. Demi bisa tinggal bersebelahan dengan Helena, ia terpaksa menggadaikan salah satu vila pribadinya dengan harga yang sangat murah. Ini merupakan salah satu bentuk ketulusan yang ingin diperlihatkannya kepada wanita itu. Sayangnya, Helena malah menganggapnya telah menyia-nyiakan waktu dan uangnya. Manik mata Tristan mengitari seluruh kekosongan di sekitarnya. Ia merasa cukup lelah hari ini dan tidak ingin berdebat dengan Galaksi ataupun mencari Helena untuk meminta maaf. [Waktumu hanya tiga bulan saja. Jangan bilang kalau saya tidak mengingatkanmu, Tristan!] Helaan napas panjang bergulir dari bibir Tristan ketika membaca pesan yang dikirimkan Galaksi untuknya. Ia tidak lagi membalas pesan tersebut dan memasukkan gawainya ke dalam saku celananya. Galaksi memang memberikannya waktu tiga bulan untuk menyelesaikan permasalahannya dengan Helena. Berhasil atau tidaknya misi Tristan dalam mendapatkan hati Helena, ia tetap harus menyerahkan lahan yang diinginkan Galaksi dengan nominal yang telah disepakati mereka sebelumnya. Tentu saja harga tersebut jauh di bawah harga belinya yang hanya akan memberikan kerugian yang cukup besar bagi Tristan. Namun, ia tidak lagi mempedulikan tentang untung rugi ketika memohon kepada rivalnya saat itu. Menjadi bawahan Bamantara Group sudah mencoreng nama baiknya sendiri. Namun, hanya hal ini yang terpikirkan oleh Tristan untuk memulai kembali hubungannya dengan Helena. Pandangan Tristan beralih pada ceceran kuah bakso di lantai. Ia pun beranjak menuju dus yang tergeletak di tengah ruangan dan mencari sesuatu yang bisa digunakannya untuk membersihkan tumpahan tersebut. Sayangnya, ia hanya menemukan beberapa pakaian mahal miliknya di dalam dus tersebut. Kemarin ia meminta salah seorang asisten rumah tangga ibunya untuk mengirimkan pakaiannya secara diam-diam. ‘Sepertinya aku harus membeli beberapa barang dulu baru memikirkan tentang kelanjutan hubunganku dengan Helena,’ batin Tristan. Akhirnya ia terpaksa keluar untuk membeli beberapa keperluan rumah yang akan digunakannya sehari-hari. Kebetulan ia juga memiliki sedikit keperluan dengan seseorang malam ini. Tristan merogoh gawainya kembali, kemudian mencari nomor kontak seseorang. “Ada di mana kamu?” tanya Tristan kepada sosok yang dihubunginya itu. “Baiklah, aku akan ke sana.” Setelah mengatakan hal itu, Tristan pun memutuskan sambungan teleponnya dan berjalan keluar dari kediamannya. *** Keesokan harinya. Suara bel terus berbunyi di dalam tempat tinggal Helena. Wanita itu baru saja selesai membersihkan diri. Karena tidak ingin putrinya terusik dengan suara bel tersebut, Helena pun buru-buru keluar hanya dengan mengenakan jubah mandinya dengan langkah terseret-seret. “Siapa sih pagi-pagi? Apa tidak tahu adab apa!” gerutu Helena dengan langkah tergesa-gesa. Wajah Helena berubah nanar ketika mendapati wajah cerah Tristan yang berseri-seri seperti layaknya sang mentari yang baru saja menampakkan wujudnya di ufuk timur. “Tristan, kamu ….” “Aku datang menjemputmu.” Tristan langsung menjelaskan maksud kedatangannya sebelum wanita itu bertanya tentang tujuan kedatangannya. "Sekalian membawa sarapan untukmu, tante dan Nayra," lanjut Tristan seraya mengangkat tentengan yang dibawanya. Akan tetapi, Helena tidak merasa tersentuh sedikit pun atas kebaikan yang dilakukan pria itu pagi ini. Ia tahu jika Tristan hanya ingin menebus kesalahannya kemarin malam. Ia merasa wajah Tristan memang benar-benar tebal seolah tidak peduli dengan perdebatan yang terjadi di antara mereka semalam. Manik mata Tristan langsung bergerak turun, lalu kedua alisnya mengerut. “Apa kamu selalu menyambut tamu seperti ini, Helena?” Mendapatkan sambutan tak terduga dari wanita itu tentu saja Tristan sangat senang, tetapi membayangkan jika pria lain yang melihat penampilan Helena, membuat hati Tristan menjadi panas seketika. Helena mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia tidak menjawab Tristan, tetapi malah mengulurkan tangannya kepada pria itu. “Kembalikan kunci mobilku. Kamu tidak perlu mengantarkanku ke kantor,” ucap Helena. Namun, Tristan tidak memenuhi perintahnya. Ia melirik kaki Helena yang masih dibalut perban dan berkata, “Kakimu saja belum sembuh. Apa perlu terus memaksakan diri?” “Aku bisa naik taksi nanti,” cetus Helena dengan acuh tak acuh. Ia masih tidak bisa melupakan tindakan yang dilakukan Tristan padanya semalam. Gara-gara pria itu, kedua matanya menjadi sangat sembap dan berat pagi ini. “Helena ….” Tristan menatap wanita itu dengan penuh rasa bersalah. Ia tahu jika Helena masih sangat marah padanya, tetapi bukan berarti dirinya harus pasrah dengan sikap dingin wanita itu. “Kembalikan!” Helena kembali menegaskan perintahnya kepada pria itu. Melihat kemarahan wanita itu, akhirnya Tristan pun merogoh kunci di dalam saku celananya, tetapi sebelum ia menyerahkannya kepada wanita itu, wajah mungil yang cantik menyembul dari balik badan Helena. "Morning, My Princess," sapa Tristan kepada putri kecilnya itu. Nayra yang sedang menggosokkan kedua matanya langsung berubah cerah. Seulas senyuman yang indah terbit di bibir mungilnya, lalu ia mengangguk dengan antusias. Sudah dua hari Nayra tidak melihat wajah Tristan. Ia cukup merindukannya, tetapi di satu sisi ia masih kecewa karena pria dewasa itu tidak memenuhi janjinya dan pergi tanpa kabar. "Nay, kamu sudah bangun? Ini masih terlalu pagi. Pergilah tidur dulu," ucap Helena yang cukup terkejut dengan kehadiran putrinya. Ia berharap gadis kecil itu tidak mendengar perdebatannya dengan Tristan tadi. Ia tidak ingin kalau putrinya tahu kalau dirinyalah yang telah mengusir Tristan. Namun, gadis kecil itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia masih memandang lurus ke arah Tristan tanpa kata. "Nayra masih marah sama, Om?" terka Tristan. Seperti biasanya, Nayra masih memilih untuk diam seribu bahasa. Ia menatap Tristan dengan lekat seolah ingin mempertanyakan sesuatu hal. Seolah memahami putrinya, Tristan membungkukkan sedikit tubuhnya. Mengusap puncak kepala putri manisnya itu dan berkata, "Maafkan Om ya, Nay. Kemarin Om ada sedikit kerjaan mendadak, jadi tidak sempat pamit." Tristan terpaksa membohongi putrinya. Ia tidak ingin putrinya mengetahui bahwa Helena telah mengusirnya. "Tapi, mulai hari ini Om akan tinggal di sebelah, jadi kita bisa lebih sering bertemu kapan pun Nayra mau." Kedua bola mata Nayra langsung berbinar-binar dan ia pun mengangguk kecil. Ia menghampiri Tristan dan mengenggam ujung jemari pria itu seolah memintanya untuk masuk ke dalam bersamanya. Tristan melirik Helena sekilas, lalu berjalan masuk ke dalam mengikuti langkah kecil putrinya. Helena hanya bisa menghela napas panjang. Ia tidak dapat menghalangi Tristan masuk karena Nayra yang menginginkannya. Ia pun menutup pintu apartemennya dan melihat Tristan yang telah meletakkan sarapan pagi yang dibawanya di atas meja makan. "Nayra mau makan bubur ayam?" tanya Tristan kepada putrinya. Anggukan antusias kembali diberikan Nayra. "Kalau begitu, pergilah cuci muka dan gosok gigi. Kita sarapan bersama, oke?" ujar Tristan lagi. Ia langsung menggendong Nayra dan membawa putrinya ke dalam kamar mandi. Melewati Helena yang sedang mendelik tajam padanya. "Nak Tristan datang?" tanya Belinda dengan bingung. Wanita paruh baya itu baru saja keluar dari kamarnya dan cukup terkejut ketika melihat keberadaan Tristan di dalam ruangan. "Pagi, Tante. Saya datang untuk mengantar Helena ke kantor," ucap Tristan menyapa ibu kandung Helena tersebut. Tanpa menunggu tanggapan Belinda, Tristan kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi dengan membawa Nayra di dalam gendongannya. Pandangan Belinda beralih kepada putrinya yang tampak kesal, tetapi juga tak kuasa untuk menghalangi kedatangan Tristan. Ia mengira hubungan putrinya dengan pria itu sudah putus karena tiga hari terakhir ini ia tidak mendengar kabar apa pun tentang Tristan. "Helena, apa yang terjadi?" bisik Belinda kepada putrinya. Namun, Helena tidak menjawab pertanyaan tersebut. Ia hanya berkata, "Aku mau siap-siap ke kantor dulu, Bu." Tanpa menunggu tanggapan ibunya, Helena langsung berjalan masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Belinda termenung. Semalam ia sangat khawatir karena putrinya pulang dalam kondisi wajah yang terlihat berantakan dan kaki yang terluka. Helena hanya berkata kalau dirinya terlalu lalai saja. Akan tetapi, sekarang wanita paruh baya itu menerka jika penyebabnya tidak jauh dari pria bernama Tristan Rahardian tersebut. "Kalau namanya sudah takdir, mau menghindar pun percuma," gumam Belinda seraya menggeleng dan menghela napas pelan. Sebagai orang tua, Belinda juga tidak dapat mencampuri permasalahan yang terjadi pada hubungan putrinya dengan pria itu. Ia hanya bisa berharap yang terbaik terjadi pada putri dan cucunya tersebut. Berharap jika Tristan memang benar-benar tulus kepada putrinya. Bukan hanya sekedar ingin memenuhi tanggung jawabnya kepada Nayra saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD