Bab 18 - Aku Akan Selalu Ada

2050 Words
Akses jalan menuju ke perusahaan Bamantara Group cukup padat. Padahal Tristan dan Helena sudah berusaha untuk berangkat lebih pagi. Satu unit dump truk mengalami kerusakan di ruas jalan tol yang sedang mereka lalui sehingga kemacetan tidak lagi terelakkan. “Ck, pakai acara macet lagi,” gerutu Helena dengan malas. Pandangan wanita itu tertuju ke sekitarnya di mana beberapa kendaraan bererbut untuk mengambil jalur paling kanan karena truk mogok tersebut hampir membentang di dua ruas jalan sebelah kiri. “Kamu punya janji pagi ini?” tanya Tristan seraya melirik Helena. Wanita itu sedang memalingkan wajahnya ke sisi jendela sebelah kiri dengan bertopang dagu. Wajahnya terlihat masam, tetapi Tristan hanya mengulum senyumnya melihat kekesalan wanita itu. Mendengar pertanyaan Tristan, Helena pun menoleh dan menyipitkan netranya dengan tajam, kemudian berkata dengan dingin, “Sebagai asistenku, bukankah seharusnya kamu tahu kalau aku punya pertemuan dengan Direktur Wiyono pagi ini?” Tristan tersenyum pahit. Ia benar-benar lupa dengan jadwal yang harus dilakukan pagi ini oleh wanita itu sebagai atasannya. Semalam ia pulang terlalu larut hingga ia tidak lagi membaca jadwal pekerjaan Helena hari ini. Tadi pagi pria itu juga buru-buru keluar untuk membelikan sarapan dan menjemput Helena agar tidak terlambat. Ia berpikir untuk membaca jadwal tersebut ketika tiba di kantor. Bodohnya, ia malah mempertanyakan hal yang tidak seharusnya ia tanyakan dan membuat dirinya mendapatkan penilaian buruk di mata wanita pujaannya tersebut. “Te-Tentu saja aku tahu. Aku hanya mengetes kamu saja,” timpal Tristan seraya memalingkan wajahnya dengan cepat. Khawatir jika Helena mengetahui kebohongannya. Sayangnya, Helena bisa membaca gelagat Tristan dengan jelas. “Tidak perlu beralasan. Apa salahnya mengakui kalau kamu memang lupa? Aku masih memakluminya karena selama ini kamu pasti selalu dilayani dibandingkan melayani orang lain. Bukankah begitu?” Ucapan Helena membuat Tristan merasa canggung. Ia akui jika ucapan wanita itu memang ada benarnya dan tidak berlebihan. Selama ini Tristan tidak pernah mengingat jadwal pekerjaannya sendiri. Biasanya selalu ada seorang asisten yang mengingatkannya sehingga ia belum terbiasa dengan rutinitas seperti ini. Menjadi asisten Helena membuat Tristan berpikir jika dulu dirinya sudah terlalu meremehkan pekerjaan seorang asisten. Ia seringkali marah ketika asistennya melupakan jadwalnya tanpa mendengarkan penjelasan terlebih dahulu. Kini ia merasakan sendiri kesulitan yang dihadapi bawahan sepertinya. Tristan menghela napas pelan. “Maaf, semalam aku … aku belum sempat membaca jadwal hari ini,” akunya dengan gugup. Helena mencebikkan bibirnya dengan malas. Kesalahan seperti ini sudah tidak terlalu mengherankan baginya mengingat latar belakang Tristan. Ia pun kembali memalingkan pandangannya ke sisi jendela. Kendaraan mereka masih melaju sangat pelan karena ada beberapa petugas yang sedang mengatur agar laju jalan menjadi lebih mudah. Karena kemacetan ini, Tristan dapat berbicara dengan Helena dengan santai. “Ehem!” Tristan sengaja berdeham dengan keras untuk mengalihkan perhatian Helena. Namun, wanita itu tidak menggubrisnya. “Kamu masih marah padaku?” tanya Tristan dengan cemas. “Percuma saja marah juga. Aku tidak mau menyia-nyiakan tenagaku,” timpal Helena tanpa menoleh. Walaupun Helena berkata begitu, tetapi Tristan tidak merasa lega sedikit pun. Ia lebih memilih wanita itu memarahinya daripada mendiamkannya seperti ini. Aneh memang, tetapi seperti itulah yang diinginkan Tristan. Setidaknya ia berharap wanita itu masih memberikan perhatian kecil padanya meskipun dalam bentuk kemarahan. “Semalam aku benar-benar minta maaf. Aku … tidak seharusnya aku berbuat seperti itu padamu,” ujar Tristan dengan nada yang terdengar sendu. “Tapi, kamu sudah melakukannya,” timpal Helena dengan ketus. Ia menatap pria itu sekilas, kemudian memalingkan wajahnya kembali. “Aku minta maaf karena sudah lancang melakukannya. Tapi, aku minta kamu tidak terus menolakku seperti kemarin. Bukankah kamu sudah memberikanku kesempatan untuk memperlihatkan kesungguhanku?” tutur Tristan mengingatkan wanita itu atas hal yang pernah dikatakannya. “Aku hanya memberikanmu kesempatan untuk bekerja sebagai asistenku, Tristan. Bukan sebagai seorang kekasih ataupun suami. Tolong kamu bisa membedakannya,” ujar Helena dengan dingin. “Bagiku sama saja. Selama hal yang kulakukan bisa berada terus di dekatmu, aku akan melakukan apa pun.” Tristan tersenyum dengan penuh percaya diri. Seperti biasanya, ia benar-benar memasang sikap acuh tak acuh terhadap penolakan dingin yang dilontarkan Helena terhadapnya. Helena menghela napas panjang. “Aku tahu tidak bisa menghentikanmu karena kamu punya akalmu sendiri, tapi aku bisa pastikan kamu hanya akan berakhir kecewa.” Wajah Tristan berubah sumringah. Walaupun kalimat yang diucapkan Helena terdengar kejam, tetapi baginya, wanita itu tidak lagi peduli terhadap cara dan hal yang dilakukannya dalam melakukan pendekatan. “Jangan mengambil kesimpulan terlalu cepat, Helena. Tidak akan ada yang tahu seperti apa akhir dari hubungan kita. Biarkan hatimu menjawabnya nanti. Tapi, aku akan memastikan hasilnya sesuai keinginanku,” timpal Tristan dengan penuh keyakinan. Helena mengembuskan napas lelah. Ia sudah dapat memprediksi hal ini sebelumnya. Tristan memang seseorang yang pantang menyerah. Helena teringat ketika Tristan mengejar cintanya saat di kampus dulu. Walaupun sejak pandangan pertama, Helena sudah jatuh hati dengan kharisma Tristan sebagai idola kampus, tetapi ia tidak menerima pria itu begitu saja ketika Tristan menyatakan perasaannya. Saat itu Helena sedikit mempersulit Tristan. Akan tetapi, pria itu juga tidak pernah berhenti memberikan segala hal yang dapat meluluhkan hatinya. Baik itu perhatian, barang ataupun waktunya agar Helena yakin jika pria itu benar-benar serius terhadap perasaannya. Sayangnya, dulu Helena terlalu mudah menerima pria itu hingga ia menjadi korban dalam perasaannya sendiri. Cinta yang terlalu dalam juga memberikan luka yang sangat dalam sehingga tidak mudah bagi Helena untuk membiarkan Tristan kembali masuk ke dalam kehidupannya. “Apa kamu belum kembali ke rumah orang tuamu dari kemarin?” tanya Helena. Ia tidak ingin mempedulikan Tristan, tetapi ia tidak bisa membiarkan nama baiknya dicap buruk bagi orang tua pria itu karena dirinya, Tristan malah beradu argumen dan diusir oleh orang tuanya sendiri. “Belum,” jawab Tristan dengan santai. Helena memutar bola matanya dengan malas ketika mendapati Tristan tersenyum lebar padanya. “Jangan berpikiran aneh. Aku bukan perhatian, tapi aku tidak ingin kamu terus-terusan seperti ini,” timpalnya. “Sama saja. Bukankah ini artinya kamu masih mempedulikanku?” selidik Tristan. Sudut bibirnya melengkung semakin dalam. Tidak dapat dipungkiri jika hatinya berbunga-bunga dengan secuil perhatian yang diberikan wanita pujaannya tersebut. Walaupun Helena enggan mengakuinya secara langsung atau mungkin dirinya yang berpikiran terlalu berlebihan, tetapi Tristan berpikir jika tidak ada salahnya ia menganggapnya demikian. “Ck, terserah kamu saja mau berpikir seperti apa. Aku juga tidak dapat mengontrolnya. Hanya saja aku tidak mau kalau kamu sampai melibatkanku dalam masalah keluargamu. Begitu juga dengan Nayra. Kamu masih ingat kan dengan janjimu untuk tidak membiarkan orang tuamu mengambil Nayra dariku?” Helena mempertegas hal yang pernah dijanjikan Tristan padanya terkait putri mereka. Ketika berita tentang masa lalu mereka tersebar, pria itu sudah berjanji untuk tidak membiarkan orang tuanya mengklaim Nayra sebagai milik keluarga Rahardian tanpa persetujuan Helena. Walaupun saat ini hak asuh Nayra masih berada di tangan Helena, tetapi berdasarkan kekuasaan dan kekuatan uang yang dimiliki keluarga Rahardian, tidak dapat dipungkiri jika mereka bisa saja merebut hak asuh tersebut. Helena berharap hal tersebut tidak terjadi karena ia tidak ingin kehilangan Nayra. Selama Tristan tetap memihak padanya, Helena berpikir Tuan Besar Rahardian dan istrinya tidak akan bisa bertindak terhadap dirinya dan putrinya. “Tentu saja. Kamu tidak perlu khawatir atas hal ini, Helena. Aku tidak akan mengingkari hal yang sudah kujanjikan,” ucap Tristan dengan tegas. Keduanya saling bertatapan selama tiga detik hingga akhirnya Helena memalingkan wajahnya lurus ke depan. Ia melihat ada satu mobil derek yang datang untuk membawa dump truck yang rusak dari lokasi. Dua orang petugas lalu lintas meminta agar para pengemudi untuk berhenti sejenak agar membiarkan mobil derek tersebut sampai di lokasi kejadian. Tristan masih menatap wanita itu dengan sorot mata lembut. Senyuman tipis menghiasi bibirnya. Ia tahu jika wanita itu berusaha menutupi kekhawatirannya dengan sikap dinginnya. “Aku tidak akan memaksamu dan Nayra. Tapi, aku berharap kita dapat hidup bersama bertiga jika hal itu memungkinkan nanti,” ucap Tristan dengan penuh harap. Helena tidak menanggapi. Ia dapat memahami keinginan Tristan, tetapi tidak dapat memenuhinya karena harga diri dan keputusan yang telah diambilnya sejak awal. Perhatian Tristan ikut tertuju ke depan, lalu ia berkata, “Aku sengaja menyewa apartemen di sampingmu karena aku ingin melindungimu dan Nayra. Aku ingin kamu mengerti kalau aku akan ada selalu ada untukmu dan putri kita mulai saat ini hingga selamanya.” Ucapan Tristan terdengar cukup mengharukan. Tidak dapat dipungkiri jika hati Helena sedikit tergugah karenanya. Akan tetapi, ia berusaha untuk menutupi rasa harunya tersebut. Helena tidak ingin merasa senang dengan ucapan Tristan. Ia tidak ingin mempercayai ucapan yang suatu saat dapat diingkari dengan mudah. “Dari mana kamu mendapatkan uang untuk menyewa apartemennya? Bukankah kamu bilang kalau kamu tidak memegang uang tunai karena ibumu memblokir semua rekeningmu? Apa kemarin kamu bohong sama aku?” selidik Helena dengan sengit. Tristan tersenyum kikuk. “Aku punya seribu cara untuk mendapatkan uang tanpa mengandalkan orang tuaku, Helena,” jawabnya. Pria itu tidak ingin memberitahu hal yang sesungguhnya. Jika Helena tahu jika dirinya menggadaikan vila pribadinya dan menukarnya dengan uang agar bisa membayar sewa apartemen tersebut, pasti dirinya tidak akan terlihat keren dan Helena hanya bisa mengasihaninya. Bibir Helena mencebik pelan. “Aku tidak tahu hal apa yang kamu lakukan, tapi sebaiknya kamu memikirkan ucapanku semalam,” tuturnya mengingatkan kembali hal yang melukai Tristan. Pria itu tidak menanggapinya dan sengaja mengalihkan pembicaraan. “Kondisi Nayra sekarang lebih baik daripada minggu lalu. Apa yang akan kamu lakukan padanya, Helena? Apa kamu tidak ingin membawanya ke dokter ahli? Sekarang aku lagi mencari rekomendasi dokter ahli yang terbaik untuk putri kita. Kalau sudah mendapatkannya, aku rasa sebaiknya kita membawanya untuk diterapi,” ucapnya. Helena mengangguk. “Baiklah,” ucapnya yang langsung menyetujuinya. Selama hal yang dilakukan pria itu memang demi kebaikan putri mereka, ia tidak akan berdebat dengannya. “Aku juga ingin memasukkannya ke sekolah lagi. Aku rasa Nayra butuh bersosialisasi dengan teman sebayanya agar dia bisa membuka dirinya lagi,” ujar Helena memberitahu keputusannya kepada Tristan. “Ide yang bagus.” Senyuman Tristan kembali melebar. Ia senang dapat berbicara dengan damai seperti ini dengan Helena. “Apa mau aku bantu carikan sekolah untuk Nayra?” tawar Tristan meminta pendapat wanita itu. “Tidak usah. Aku sudah memasukkan Nayra ke sekolah satu bulan yang lalu.” Sebelum kecelakaan yang menimpa Nayra, Helena memang sudah memasukkan putrinya ke salah satu sekolah swasta yang berada tidak jauh dari apartemennya. Saat itu Nayra baru saja bersekolah dua minggu sebelum kecelakaan tersebut terjadi. Helena pikir mungkin sekarang waktunya bagi Helena untuk menyelesaikan masa izin sekolah putrinya tersebut. “Katakan saja kalau kamu memang membutuhkan bantuan terkait Nayra,” ujar Tristan. Ia akan selalu siap sedia jika Helena menginginkannya. Helena tidak menanggapi. Ia melihat petugas lalu lintas sudah memberikan pengarahan kepada pengemudi untuk mengikuti aba-aba mereka. Tristan pun segera menginjak pedal gasnya agar mobil mereka bisa melaju dengan normal secara perlahan-lahan. Akhirnya mereka terbebas dari kemacetan tersebut dalam beberapa detik kemudian dan Tristan kembali fokus mengemudi. Akan tetapi, Helena berpikir jika ia perlu langsung menuju ke tempat pertemuan daripada ke kantor. Waktu janjinya dengan mitra bisnis mereka hanya tersisa dua puluh menit dan waktu perjalanan akan memakan waktu lebih dari tiga puluh menit jika ia harus ke kantor terlebih dahulu. “Apa kamu membawa file kontrak yang sudah kuperiksa kemarin?” tanya Helena kepada pria di sampingnya itu. “Ada seharusnya di tasku,” jawab Tristan seraya menunjuk dengan jempol kirinya di mana tas ranselnya tergeletak di jok belakang. Helena pun mencondongkan tubuhnya ke belakang untuk meraih tas ransel pria itu. Aroma wangi dari tubuh wanita itu tercium di hidung Tristan. Membuat Tristan merasa canggung karena teringat dengan ciuman yang dilakukannya dengan Helena semalam. Walaupun Helena telah mengenakan pakaian cukup tertutup dengan blouse lengan panjang dan rok sepan di atas lutut, tetapi hanya melihat body goal wanita itu cukup mudah membuat Tristan tergila-gila padanya. ‘Aku tidak boleh gegabah lagi. Tidak boleh!’ batin Tristan mengingatkan dirinya meskipun gairah di dalam dirinya diam-diam sedang membara saat ini. Ia mengembuskan napasnya berulang kali melalui bibirnya untuk menenangkan dan menjernihkan pikirannya. “Ada apa denganmu?” tanya Helena terheran-heran ketika melirik gelagat Tristan. “Tidak, tidak ada apa-apa,” jawab Tristan dengan cepat. “Tolong antarkan aku ke kantor Direktur Wiyono saja. Langsung keluar dari tol TB Simatupang saja biar lebih cepat,” pinta Helena seraya memberikan petunjuk jalan kepada pria itu. “Siap, Ratuku!” Tristan memberikan hormat ala militer dan mengikuti arahan wanita itu. Helena hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali dan membiarkan pria itu berbuat hal konyol sesukanya asalkan tidak melewati batas mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD