Bab 19 - Kesan Pertama yang Buruk

1939 Words
“Kamu tunggu di mobil saja, Tris. Biar aku sendiri yang menemui Pak Wiyono.” Tristan mengerutkan keningnya mendengar perintah Helena. Mereka baru saja tiba di gedung perkantoran elit tempat Helena melakukan janji temu dengan mitra bisnis mereka. “Kenapa aku harus menunggu di mobil?” protes Tristan. “Memangnya kamu mau Pak Wiyono mengenalimu? Bukankah kalian pernah bertemu? Aku tidak mau pembicaraan kami jadi kacau karena kehadiranmu.” Tristan tertegun. Ia merasa ucapan Helena ada benarnya karena ia pernah bertatap muka secara langsung dengan Direktur Wiyono untuk membahas bisnis mereka. Klien itu pasti akan bingung jika melihat Tristan datang bersama Helena. Meskipun Tristan telah melakukan penyamaran sederhana, tetapi hal yang dilakukannya ini pasti tidak dapat membohongi mata tajam mitra bisnis mereka tersebut. “Baiklah. Aku akan menunggu di parkiran gedung,” putus Tristan dengan pasrah. Helena tidak menanggapi. Ia bergegas turun dari mobil. Ia tidak ingin terlambat lagi karena khawatir Direktur Wiyono akan marah dengan ketidakdisiplinannya. Pria paruh baya itu sudah kecewa ketika Helena membatalkan janjinya kemarin dengan alasan yang tidak profesional. Helena tidak ingin mengambil risiko yang sama. “Kalau kamu sudah selesai, telepon aku saja. Biar aku menjemputmu di lobi,” pesan Tristan, tetapi Helena tidak menyahutnya. Helaan napas panjang bergulir dari bibir Tristan. Perlahan seulas senyuman tipis mengembang di bibirnya ketika melihat punggung Helena yang perlahan menghilang dari balik pintu kaca gedung. Ketekunan dan keseriusan wanita itu dalam bekerja membuat Tristan semakin kagum dengan sosok wanita itu. I Jika dulu, Tristan hanya mengaggumi kecantikan yang dimiliki Helena saja. Namun, seiring berjalannya waktu, sifat mandiri dan profesionalitas yang dimiliki Helena menjadi daya tarik tambahan Tristan terhadap wanita pujaannya tersebut. 'Helena, kamu benar-benar wanita yang tiada duanya,' batin Tristan seraya tersenyum bodoh hingga suara klakson mobil di belakangnya membuyarkan lamunannya. Ia bergegas memarkirkan mobil Helena di lahan parkir gedung perkantoran tersebut. Sementara itu, Helena berjalan menuju resepsionis dan melaporkan kedatangannya kepada penerima tamu tersebut. “Selamat pagi. Tolong sampaikan kepada Direktur Wiyono kalau saya, Helena Amelia sudah sampai di sini,” ujar Helena. “Baik. Mohon ditunggu sebentar, Bu Helena.” Helena mengangguk. Ia menunggu resepsionis tersebut melaporkan kedatangannya melalui panggilan telepon yang terhubung langsung ke masing-masing unit. Tidak berapa lama kemudian, resepsionis itu berkata, “Bu Helena, tadi sekretaris Pak Wiyono bilang kalau sekarang Pak Wiyono sedang ada di kafe lantai dasar. Beliau berpesan agar Anda langsung ke sana saja.” “Kafenya di mana ya?” tanya Helena. Ia masih awam dengan lokasi gedung tersebut. “Dari sini tinggal ke kiri saja, Bu,” terang resepsionis tersebut. Helena mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih kepada karyawan itu, lalu ia berjalan menuju ke arah yang ditunjuk. Manik matanya menemukan kafe yang dimaksud yang terpisah dengan pintu kaca. Ketika Helena ingin memasuki kafe tersebut, tiba-tiba saja seseorang yang tak dikenalnya memanggil namanya. “Helena?” Helena pun menoleh. Seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari kafe tersebut berhenti tepat di sampingnya. Mereka pun saling bertemu pandang. Kening Helena mengernyit. Ia merasa asing dengan sosok tersebut. “Maaf, Anda memanggil saya?” tanya Helena memastikan. Sungguh ia tidak pernah bertemu satu kali pun dengan wanita paruh baya itu sebelumnya, tetapi wajah sosok tersebut cukup familiar baginya. “Memangnya ada siapa lagi di sini yang memiliki nama Helena?” timpal wanita paruh baya itu yang berbicara dengan nada yang cukup tidak nyaman didengar. Sorot mata wanita paruh baya itu juga menatap Helena dengan angkuh. Membuat hati Helena semakin bertanya-tanya mengenai kesalahannya dengan wanita paruh baya tersebut. Dari penampilan dan pakaian serta tas yang dibawanya, Helena menerka jika wanita paruh baya itu adalah seorang wanita yang sangat berkelas. “Maaf, Bu. Apa saya boleh tahu Anda siapa? Karena sepertinya kita tidak pernah bertemu,” ucap Helena dengan sopan. Ia tidak ingin bertindak gegabah dengan meragukan wanita paruh baya itu lebih dulu. Ia berpikir jika mungkin saja wanita itu adalah salah satu istri dari mitra bisnis yang pernah ditemuinya. Sayangnya, sikap ramah Helena malah dianggap remeh oleh wanita paruh baya itu. Sudut bibir lawan bicara Helena tersebut terangkat sinis, lalu berkata dengan nada yang masih sama seperti sebelumnya, “Saya tahu kalau kita tidak pernah bertemu, tetapi saya tahu kamu.” Helena mengerutkan alisnya. Ia tidak merasa kagum ataupun bangga sedikit pun kepada dirinya sendiri karena dirinya bukanlah public figure ataupun selebgram yang sering muncul di umum ataupun media sosial. "Maaf, tapi ... saya benar-benar tidak mengenal Anda," ucap Helena dengan nada yang masih ramah. Wanita paruh baya itu mengesah dengan kesal, lalu memperkenalkan dirinya tanpa mengulurkan tangannya kepada Helena, “Saya adalah Sekar Arum, ibu dari Tristan." Helena tercengang. Akhirnya sekarang ia memahami alasan wanita paruh baya itu bersikap tidak bersahabat dengannya dan alasan tersebut tentu saja adalah Tristan Rahardian. Helena juga menyadari jika perasaan tidak asing yang dirasakannya tadi adalah kemiripan wajah di antara wanita paruh baya itu dengan Tristan. Tidak dapat dipungkiri jika Sekar memiliki wajah yang rupawan di usianya yang menginjak setengah abad. Tentu saja hal tersebut juga ditunjang oleh perawatan kecantikan dan serangkaian produk yang membuat wanita paruh baya itu untuk tetap terlihat awet muda. Helena menyadari jika sebagian besar ketampanan yang dimiliki Tristan diturunkan oleh wanita paruh baya itu. Sekar dapat mengenali Helena karena ia pernah melihat gambar dan video Helena ketika wanita muda itu diliput bersama Tristan saat konferensi pers yang diadakan Bamantara Group beberapa minggu yang lalu. Karena konferensi pers itu pulalah, Sekar mengetahui jika Helena dan putranya pernah menjalin hubungan dan memiliki seorang putri yang telah menginjak usia sekolah. Berbeda dengan Helena, ini adalah pertama kalinya Helena bertemu dengan Sekar. Ketika ia menjalin hubungan dengan Tristan dulu, Helena menolak ketika Tristan mengajaknya ke rumah. Saat itu Helena merasa tidak percaya diri dengan statusnya yang berbeda jauh dengan Tristan. Helena beralasan jika ia belum siap menemui orang tua pria itu dan hubungan mereka saat itu juga belum terlalu serius hingga harus saling bertemu dengan orang tua masing-masing. Helena tidak menyangka akan bertemu dengan ibu kandung Tristan di saat seperti ini. Ia dapat melihat kebencian dari sorot mata wanita paruh baya itu terhadap dirinya. Kesan pertamanya sudah buruk di mata ibu kandung Tristan tersebut meskipun ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Sikap angkuh Sekar mengingatkan Helena terhadap sosok Tristan. Ia berpikir jika buah memang tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Tristan juga sering menunjukkan keangkuhan kepadanya selama beberapa bulan sebelumnya. Hanya saja sekarang Tristan dalam masa perbaikan dirinya demi menunjukkan sisi baiknya kepada Helena. “Di mana putra saya, Helena? Apa yang sudah kamu lakukan padanya sampai dia tidak mau mengenali saya sebagai ibunya?” hardik Sekar dengan penuh amarah secara tiba-tiba kepada Helena. Namun, Helena tidak terkejut sedikit pun. Sebenarnya tanpa bertanya pun, ia sudah tahu jika Sekar akan menjatuhkan tuduhan kepadanya atas ketidakpulangan Tristan ke kediaman Rahardian. Helena sudah menduga hal seperti akan terjadi, tetapi ia tidak menyangka akan bertemu dengan ibu Tristan secepat ini dan juga di saat yang tidak tepat. Ia tidak bisa meladeni pembicaraan Sekar karena ia harus menemui Direktur Wiyono terlebih dahulu. “Maaf, Tante. Masalah ini sebaiknya Tante bicarakan saja dengan Tristan. Saya masih ada sedikit urusan penting,” ujar Helena dengan ramah. Ia masih berusaha menghormati wanita paruh baya itu meskipun sikap Sekar tidak demikian. “Urusan penting, huh? Memangnya kamu pikir urusan saya dengan kamu di sini tidak penting, Helena?” Wajah Sekar sudah berubah nanar. Nada suaranya juga bertambah satu oktaf dan mengalihkan perhatian orang-orang di sekitar mereka terhadap Helena dan dirinya. Ia merasa Helena sedang meremehkan dirinya. “Bukan begitu, Tante. Tapi, saya memang ada janji dan saya tidak bisa berbicara berlama-lama dengan Anda sekarang. Bisakah kita membicarakan masalah ini nanti?” pinta Helena yang mencoba meminta pengertian dari wanita paruh baya itu. Sayangnya, hal tersebut malah dianggap Sekar sebagai alasan dari Helena saja. “Jangan berpura-pura kamu. Bilang saja kalau kamu takut berbicara dengan saya. Apa kamu pikir saya akan tertipu dengan kepolosanmu seperti putra saya? Entah apa yang bagus darimu sampai Tristan lebih membelamu daripada saya sebagai ibunya!” Helena mengembuskan napasnya dengan kasar. Ucapan Sekar benar-benar menyudutkan nama baiknya di depan orang banyak yang kini terlihat senang melihat perdebatan mereka. Suara dering panggilan dari gawai mengalihkan perhatian Helena. Ia bergegas merogoh benda canggih itu dan melihat nama yang tertera pada layar gawai tersebut. Pandangan Helena kembali tertuju kepada Sekar sekilas. “Maaf, Tante. Saya tidak berpura-pura. Saya tahu Anda sangat marah dan kecewa, tetapi saya tidak bisa menjelaskannya sekarang,” ucapnya dengan cepat tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada ibu kandung Tristan tersebut. Helena mengeluarkan satu kartu namanya dan menyerahkannya ke tangan Sekar tanpa izin. “Ini kartu nama saya. Jika Anda ingin berbicara empat mata dengan saya, Anda bisa menghubungi saya nanti. Kita tentukan tempat janjian jika Anda menginginkannya.” Setelah mengatakan hal tersebut, Helena bergegas masuk ke dalam kafe. Ia tidak menghiraukan Sekar yang sangat murka dengan sikapnya yang dianggap terlalu lancang. Helena tidak ingin kehilangan kesempatan untuk berdiskusi dengan mitra bisnisnya sehingga terpaksa mengabaikan Sekar. “Helena!” teriak Sekar dengan penuh amarah. Ia melempar kartu nama Helena ke lantai dan membuang napasnya dengan kasar. Perhatian Sekar tertuju ke sekelilingnya. Beberapa orang masih memandangnya dan membuat Sekar merasa malu. Ia pun memperbaiki kembali ekspresinya dan segera membubarkan orang-orang tersebut. “Apa yang ingin kalian lihat lagi? Ini bukan drama Korea!” cetusnya. Semua orang bergegas membubarkan diri dan meninggalkan Sekar yang masih tampak kesal. Pandangan wanita paruh baya itu tertuju pada pintu masuk kafe yang baru saja didatanginya. Sekar tidak bermaksud menyusul Helena ke dalam karena ia tidak ingin mempermalukan dirinya lebih jauh. Saat ini hal yang dibutuhkan Sekar adalah membuat Helena menjauhi putranya! Meskipun Sekar dan suaminya sudah memutuskan sumber keuangan putranya itu, tetapi hal yang mereka lakukan tidak membuat Tristan jera. Sudah satu minggu lebih Tristan tidak memberikan kabar apa pun kepadanya selaku ibu kandungnya. Hanya tiga hari yang lalu Tristan menghubungi asisten rumah tangganya untuk mengirimkan pakaian tanpa sepengetahuan Sekar dan suaminya. Wanita paruh baya itu mengira jika Tristan dan Helena kini tinggal satu atap setelah ia mencari tahu alamat tempat tinggal putranya itu melalui interogasi mereka dengan asisten rumah tangga mereka. Walaupun sudah mengetahui alamat tempat tinggal Tristan, tetapi Sekar tidak ingin menemui Tristan secara langsung karena tidak ingin mengalah lebih dulu dari perang dingin ini. Ia ingin Tristan sendirilah yang mendatanginya dan mengakui semua kesalahannya. Sayangnya, hingga detik ini, tidak ada tanda-tanda kalau putra kesayangannya itu akan menyesali perbuatannya kepada Sekar dan suaminya. Sekar berpikir jika Helena sudah menghasut Tristan agar menentang mereka dan ia sangat tidak menyukai wanita itu! “Ck, dia pikir dia siapa sampai harus buat janji segala!” gerutu Sekar dengan kesal atas ucapan Helena yang dinilainya terlalu sombong padanya. Wanita paruh baya itu melirik kartu nama di bawah kakinya, lalu mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Ia bergegas memungut kartu nama tersebut kembali dan memasukkannya ke dalam tas tangan mewah yang dijinjingnya. Dengan gaya acuh tak acuh, Sekar kembali melanjutkan langkahnya. Ia menghubungi sopir pribadinya untuk menjemputnya di lobi gedung. Akan tetapi, panggilannya tidak terhubung. “Ck, ke mana ini si Maman?” keluh Sekar. Akhirnya ia terpaksa menghampiri sopirnya itu area parkir gedung yang berada di basement. Sekar menggunakan lift untuk mencapai lantai terbawah di gedung tersebut. Sesampainya di sana, Sekar mencari mobil miliknya di antara deretan mobil beraneka tipe dan merek di lahan parkir tersebut hingga akhirnya sorot matanya tertuju pada sosok yang sudah lama tidak ditemuinya. Ia sempat meragukan penglihatannya sendiri dan memutuskan untuk menyapanya, “Tris-tristan?” Suara Sekar yang bergetar terdengar bergema di lantai parkiran itu. Tristan yang sedang membersihkan kaca mobil Helena pun menghentikan gerakannya. Perlahan ia menoleh dan bertatapan langsung dengan ibunya yang menatapnya dengan syok. “Mama? Kenapa Mama bisa ada di sini?” tanya Tristan dengan sikap yang santai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD