2

1511 Words
Candra menepati janjinya membawa Kia dan istrinya ke salah satu pusat perbelanjaan yang terdapat sebuah playground dengan fasilitas yang cukup lengkap dan nnyama di dalamnya. Ia membiarkan Kia bermain sepuasnya di bawah pengawasan Ria, sedangkan dirinya memilih menunggu di salah satu stand foodcourt sembari memesankan makanan untuk Kia dan Ria saat nantinya mereka selesai. Cukup lama Kia bermain sampai akhirnya anak itu terlihat tengah menangis di gendongan Ria. Candra menatap khawatir pada anak gadisnya dan berlari kecil menyongsong Ria yang tampak kesusahan membuat Kia berhenti menangis. "Kenapa sama Kia, Bu?" tanya Candra, ia mengambil alih Kia ke dalam gendongannya. Ria tampak menghela nafas pelan, "Dia engga mau udahan mainnya, aku suruh keluar malah jadi nangis begini," keluh Ria. Candra yang sempat cemas tadi akhirnya bisa bernafas lega, ia kira anaknya itu terjatuh atau bertengkar dengan seseorang selama bermain. "Sayang, Kia kan anak baik. Anak baik harusnya bisa dengerin kata Ibu dong! Kasian kan Ibu tadi kesusahan gendong Kia yang nangis kaya gini," Candra berujar lembut, tangannya mengusap mata dan pipi Kia yang basah. Kia tampak tersedu dan menenggelamkan wajahnya di pundak Candra. "Kia masih mau main, Ayah," rengeknya. Candra menatap istrinya yang hanya geleng-geleng kepala. "Iya, tapi kan Kia udah lama mainnya, kasih kesempatan buat yang lain main juga dong," bujuk Candra. Ia mulai berjalan membawa Kia ke meja yang tadi ia tempati, diikuti Ria di belakangnya. "Tuh, lihat! Ayah udah pesenin ayam goreng sama jus jeruk kesukaan Kia. Mau dimakan atau buat Ibu aja nih?" pancingnya. Kia bergerak-gerak di gendongan ayahnya, minta diturunkan. Dan saat Candra menurunkannya, Kia langsung duduk di kursi yang mengehadap ke arah sekotak ayam goreng dan satu cup jus jeruk. Ia melupakan kekesalannya karena disuruh berhenti bermain saat dirinya asik bermain dan mulai menikmati makanan favoritnya itu. Candra dan Ria tertawa melihatnya, anaknya itu bahkan makan dalam keadaan yang sesenggukan. "Gampang banget dirayunya, cuma sama ayam sama jus doang langsung lupa," ujar Ria. Candra terkekeh mendengar ucapan istrinya, "Anak kita kan paling engga kuat nolak ayam," balasnya. Ria ikut tertawa, tangannya bergerak membersihkan saos tomat yang ada di sekitar mulut anaknya. "Pelan-pelan dong, Sayang," tegurnya. Lalu ia membulatkan mata saat Kia membuang muka bahkan sampai menggeser ayamnya menjauhi Ria. Ria berpura-pura memasang wajah sedih menghadap ke arah suaminya yang justru menertawakan sikap lucu anaknya itu. "Dia masih dendam karena kamu suruh berhenti pas lagi asik main," ujar Candra. Ria berdecak pelan, "Ya habisnya udah lama loh, Yah. Aku capek ngejar dia kesana kemari," keluh Ria. Candra tertawa kecil dan mengusap kepala istrinya lembut. "Iya, habis ini gantian aku yang jagain dia. Ibu cukup duduk aja disini," ucap Candra. Ria tersenyum lebar dan menggenggam tangan suaminya. "Ayah emang pengertian banget," pujinya. Candra mendengkus pelan lalu tangannya mencubit pipi Ria pelan. "Ayah jangan nakalin Ibu!" pekik Kia. Candra dan Ria sontak menoleh pada anaknya yang matanya sudah berkaca-kaca lagi. Candra panik dan langsung mendekat ke arah Kia. "Kia kenapa?" tanyanya. Tapi Kia justru menangis dan memukul ayahnya, "Kia sayang Ibu, Ayah jangan jahatin Ibu," rajuknya. Candra menganga bingung, lalu sedetik kemudian dia menepuk kepalanya pelan saat sadar kalau Kia sempat melihat saat dirinya mencubit pipi Ria dan menyangka kalau Candra menjahati Ibunya. Ria juga terbahak setelah mengerti apa yang membuat anaknya menangis, dengan gemas ia memeluk Kia dan menciumi kepala anaknya beberapa kali. ^^ Kia tertawa senang saat mobil-mobilan yang ia naiki mulai bergerak. Ia meminta agar ayahnya melepaskan pegangan tangannya tapi Candra menolak. Di tengah musik yang keluar dari berbagai permainan yang ada disitu, Kia menangkap obrolan yang terdengar tidak jauh darinya. "Serius, Ma. Aku udah engga ada uang lagi," ujar seorang bapak-bapak yang berdiri di dekat ayahnya. Kia terdiam, dia tidak lagi menikmati permaian yang sedang ia naiki saat lagi-lagi ia melihat tanda itu muncul di kepala bapak-bapak yang tadi berbicara. "Bohong, terus ini gimana? Masa pakai uangku lagi?" sahut seorang ibu-ibu yang tampak kesal. Kia menoleh ke arah ayahnya yang masih memegangi tangannya. "Ayah!" panggil Kia agak keras. Candra menoleh dan mendekat pada anaknya. "Iya, Sayang? Mau pindah mainan?" tanya Candra. Kia menggeleng dan menunjuk ke arah bapak-bapak tadi. "Itu, Yah! Di atas kepala Bapak itu ada lampunya," beritahu Kia. Candra mengernyit dan menoleh ke arah orang yang ditunjuk Kia. Orang itu tampak sedang bersitengan dengan seorang wanita yang Candra tebak adalah istrinya. Lalu candra mendongak ke atas dan mendapati lampu kerlap kerlip yang menyerupai bola tergantung di langit-langit, ia tersenyum dan mengusap kepala Kia pelan. "Iya, itu lampunya gede banget ya. Serem kalau jatuh," ujar Candra. Kia memiringkan kepalanya, bingung. "Lampunya kecil, Yah. Bentuknya gini.." Kia lalu menarik garis lurus dari kanan ke kiri, "Warnanya merah," imbuhnya. Candra semakin merasa bingung, pasalnya saat ia menoleh ke arah bapak-bapak tadi ia tidak melihat ada lampu kecil berbentuk horizontal seperti yang digambarkan anaknya. "Kia pasti salah lihat, udah ya.. engga boleh ngomongin orang lain," tegur Candra. Kia menatap Ayahnya dengan polos, "Kenapa?" tanyanya. "Karena itu engga baik, nanti orangnya bisa marah kalau tau Kia ngomongin dia," jelas Candra. Lalu dia langsung menggendong Kia turun dari mainannya dan menggandeng anaknya itu kembali pada Ria yang menunggu mereka di tempat mereka makan tadi. Ria yang melihat anak dan suaminya sudah kembali, mengerutkan alisnya bingung. "Kok cepet banget mainnya?" tanya Ria. Ia melihat wajah suaminya yang tampak tidak seceria tadi. "Kia ngomong ngelantur lagi. Dia katanya liat lampu di atas kepala bapak-bapak yang lagi ribut sama istrinya tadi," lapor Candra. Ria langsung menatap ke arah anaknya yang hanya mendongak dengan tatapan polos, bergantian melihat ke ayah dan ibunya. "Lampu apa, Yah?" tanya Ria pelan. Candra menggeleng, "Katanya bentuknya horizontal terus warna merah, padahal tadi engga ada dekorasi lampu yang model begitu. Yang ada di atas kepala bapak-bapak tadi itu lampu bola besar, Bu," jelas Candra. Ia mulai takut kalau-kalau ada yang salah dengan anaknya itu. Ria merasakan hal yang sama. Dia tidak percaya tentang segala sesuatu yang berbau mistis, tapi mendengar anaknya sudah dua kali membicarakan hal yang sama, membuat Ria menjadi khawatir. ^^ Kia memandang sedih pada kedua orangtuanya. Semenjak pulang dari bermain, ayah dan ibunya lebih banyak diam dan tidak mengajaknya bicara. Bahkan, jika biasanya ayah dan ibunya akan menemaninya hingga tidur dengan menceritakan dongeng atau mengajaknya bercanda, kini ibunya hanya mengantar sampai ke kamar dan mencium keningnya sekilas lalu pergi. Kia menangis dalam diam. Dia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, dia tidak tahu apa salahnya. Apa karena tadi dia menangis dan menolak berhenti bermain? Atau karena dia terlalu banyak meminta dibelikan ini dan itu pada ayahnya sehingga ayahnya marah? Kia tidak suka sendirian. Dia sudah terbiasa ditemani ayah dan ibunya saat akan tidur. Ayah dan ibunya tidak pernah meninggalkan Kia sendirian sebelum Kia benar-benar tidur. "Ibu... Ayah... Kia takut..." ujarnya lirih, ia mencoba menahan tangisnya. Tidak ingin kalau sampai ayah dan ibunya tahu lalu menjadi semakin marah padanya. Sedangkan di tempat lain yang masih berada satu rumah dengan keberadaan Kia yang tengah menangis, Candra sedang terduduk diam di tepi tempat tidurnya. "Kenapa Ayah harus ngomong sama aku sekarang? Aku harus nemenin Kia, dia pasti engga akan bisa tidur kalau engga didongengin," protes Ria. Candra menatap istrinya gusar, "Bu, aku punya firasat buruk soal Kia. Aku takut kalau semua ucapannya engga sekedar imajinasi anak-anak," ujar Candra. Ria terdiam sejenak menatap suaminya, dia maju dan merangkum kepala suaminya itu. "Jangan mikir macem-macem dulu, Yah. Kia anak kita, apapun yang terjadi sama Kia, kita harus bantu dia menghadapinya," ujar Ria pelan. Candra tidak merespon, dia hanya membiarkan istrinya yang terus mengusap kepalanya dengan pelan. "Aku liat Kia dulu, kasian dia sendirian," pamit Ria. Dia melepas pelukannya dan mengusap wajah Candra pelan. "Engga usah cemas ya, Yah. Semua akan baik-baik saja," hibur Ria. Ria lalu berlalu keluar kamar dan berjalan mendekati kamar anaknya. Dari luar pintu, Ria mendengar isak tangis yang tidak terlalu jelas. Dengan cepat Ria membuka pintu dan mendapati tubuh anaknya yang terbalut selimut itu tengah bergetar. Ria membuka selimut dan menemukan Kia yang terisak tertahan. Ria menarik Kia dan mendudukan di pangkuannya. "Kia, kenapa? Kenapa nangis, Sayang?" tanya Ria cemas, ia mengusap wajah anaknya. Kia masih menangis dan memeluk ibunya erat. "Kia takut, Bu. Kia engga mau tidur sendiri. Maafin Kia kalau Kia nakal, jangan tinggalin Kia sendirian," ujarnya sembari terisak. Ria merasakan sakit di hatinya saat mendengar ucapan Kia. Dia merasa bersalah karena sudah meninggalkan Kia demi mendengar kecemasan suaminya. "Iya, Sayang. Ibu engga akan ninggalin Kia. Kia engga salah, Kia engga nakal. Kia anak baik," hibur Ria. Ia ikut menangis sambil memeluk Kia yang tangisannya semakin melemah. Beberapa menit kemudian nafas Kia tampak teratur, anaknya kelelahan karena menangis sendirian sedari tadi. Ria menurunkan Kia ke ranjang dan mengusap kepalanya pelan, ia masih menangis merasakan rasa bersalah yang kian besar saat melihat mata Kia yang sembab. Berapa lama anaknya itu menangis? Anaknya yang masih lima tahun merasa bahwa dia dan suaminya marah karena dia nakal sehingga tidak mau menemaninya tidur. Harusnya tadi Ria tidak meninggalkan Kia sendirian, harusnya dia membiarkan Candra menunggu dirinya untuk menidurkan Kia dulu. "Maafin Ibu, Nak. Maaf," ucapnya pelan sambil mencium kening Kia lembut. ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD