3

1512 Words
Hari ulang tahun Candakia yang ke enam berlangsung dengan rasa kekeluargaan yang kental. Semua kerabat ibu dan ayahnya datang untuk mengucapkan selamat dan memberikan doa-doa baik untuk gadis kecil itu. Kia tersenyum senang sepanjang acara karena ia mendapatkan banyak kado dan juga semua sepupu-sepupunya hadir memeriahkan acara yang diatur oleh ayah dan ibunya. "Selama ulang tahun ya, Cucunya Nenek," ujar Lastri sambil mencium kening gadis cantik itu. Kia tersenyum lebar dan menyalimi tangan neneknya, Ibu dari ayahnya. "Makasih ya, Nek. Udah dateng buat Kia," jawab Kia. Lastri tertawa pelan dan mengusap kepala cucunya itu. "Sama-sama, Sayang. Jadi anak yang pintar ya," ujar Lastri. Lalu seluruh keluarganya bergantian menyelamati Kia dan tibalah dua om kembar yang menjadi favorit Kia. Adik bungsu Ria, Aril dan Iral. "Haalo kesayangan!" seru Iral kencang, lalu ia meraih Kia dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Cantik banget sih kamu," pujinya. Kia tertawa geli dan merengek minta diturunkan. Sedangkan Aril yang lebih kalem hanya mengusap kepala Kia dengan sayang. "Selamat Ulang tahun ya, Kia," ujar Aril. Kia mengangguk dan mencium tangan kedua om nya itu. "Makasih ya, Om Iral, Om Aril," ucapnyOm Iral mencubit pipi Kia gemas, "Uh gemes banget sih," ujarnya. Kia sempat cemberut ke arah Iral yang malah membuat omnya itu tertawa keras "Nih, buat kamu. Om beli sendiri khusus buat keponakan tersayangnya Om Iral," Iral menyerahkan satu bungkus kado yang besar ke arah Kia. "Bohong, Kia. Itu Om Aril yang beliin, Om Iral kan pengangguran jadi engga bisa beliin Kia kado," sahut Aril, lalu ia juga menyerahkan kado besar pada Kia. Kia menerima kado itu dengan ekspresi yang berbeda. Walaupuj selanjutnya orang-orang masih bergantian memberinya ucapan selamat dan juga kado-kado cantik, tapi Kia lebih tertarik memperhatikan tanda yang muncul di atas kepala kedua om kembarnya. Tadi sebelum acara dimulai, ibunya sudah mewanti-wanti agar Kia tidak meminta kado pada Iral semisal Iral tidak membawakannya kado karena menurut Ria, adiknya itu sedang tidak bekerja saat ini dan hanya Aril yang sepertinya akan memberikan Kia kado. Tapi barusan Iral dan Aril memberikan kado masing-masing pada Kia dan Iral berkata bahwa ia membelikannya secara khusus untuk Kia yang kemudian langsung dibantah oleh Aril yang mengaku bahwa Iral membeli kado itu dengan uangnya. Walaupun Om Arilnya itu berkata dengan nada bercanda hanya untuk menggoda Iral, tapi Kia yakin kalau Aril berkata jujur. Dan berkat itu juga Kia jadi mengerti sesuatu. Tanda yang selalu ia lihat, yang sering ia sebut sebagai lampu saat bercerita pada ayah dan ibunya, adalah sebuah tanda yang muncul saat seseorang berbohong atau bicara jujur. Saat Iral berkata bahwa kado itu ia beli sendiri, di kepala omnya itu muncul garis lurus berwarna merah terang. Sedangkan saat Aril menyanggah ucapan Iral, tanda yang muncul adalah palang berwarna biru. Dari analisa sederhananya itu Kia yang baru saja berusia enam tahun tahu, bahwa ia memiliki kemampuan mendeteksi kebohongan. Kia mendekat ke arah ayahnya yang sedang berbicara dengan neneknya. "Yah, Ibu cantik engga?" tanya Kia tiba-tiba. Candra mengerut bingung tapi tak ayal ayahnya itu mengangguk. "Cantik dong, kan kayak Kia," jawabnya. Kia tersenyum saat tanda biru itu muncul di kepala ayahnya. Lalu berganti menoleh ke arah Lastri yang sedari tadi hanya tersenyum. "Nek, Nenek kesini udah dikasih ijin sama kakek?" tanya Kia. Neneknya tampak terkejut dan tersenyum salah tingkah. "Udah dong, Sayang. Buktinya nenek sekarang ada disini," ucapnya. Kia kembali tersenyum saat tanda merah muncul di kepala neneknya. Ia tahu kalau neneknya memaksa terbang ke Jakarta padahal kakeknya tidak mengijinkan karena kondisi kesehatan Lastri yang kurang baik, itu artinya neneknya itu berbohong. "Oke, Kia balik kesana lagi ya," ujar Kia lalu langsung berlari meninggalkan ayah dan neneknya yang menatapnya bingung. ^^ Kia sedang duduk di ayunan seperti biasa, ibunya sedang berdiri di sisinya, menyuapi Kia makan. "Udah gede loh, masih disuapin aja," celetuk Kenny yang datang bersama Gio, anaknya. Ria tampak tersenyum, "Iya, engga apa-apa, Bu. Kia susah makan kalau saya nya engga telaten," jawabnya kalem. Kenny tersenyum aneh, "Tapi entga baik loh, Bu Ria. Nanti Kia nya jadi manja," sarannya. Ria hanya membalas dengan senyum tipis dan mulai menyuapi Kia lagi. Kia juga tampak tidak terganggu dengan obrolan antara ibunya dan ibu Gio itu, dia sedang asik menonton segerombolan anak yang bermain bola. "Kemarin katanya Kia ulang tahun ya? Kok engga ngundang-ngundang?" tanya Kenny. Ria tampak tersenyum canggung, "Iya, Bu. Maaf ya, soalnya niatnya emang sama keluarga aja, Kia rewel kalau banyak orang," ujar Ria. Kenny tampak melirik Kia yang membuka mulut menerima suapan ibunya walaupun mata gadis kecil itu tidak menatap ke arah ibunya. "Kia, mending nanti makan sendiri aja. Kasian loh Ibunya kalau harus nyuapin Kia terus," ucapnya pada Kia. Ria tampak terganggu dengan ucapan Kenny, tapi ia merasa tidak enak untuk menegur. Sedangkan Kia langsung menoleh ke arah Ibunya. "Kia bikin Ibu susah ya?" tanyanya polos. Ria tersenyum lembut dan mengusap kepala anaknya. "Engga kok, Sayang. Kan Ibu juga sambil nemenin Kia main," jawab Ria. Kia lalu menoleh ke arah Kenny yang mendengkus pelan, "Kata Ibu, Ibu engga merasa susah kok, Tante," katanya. Kenny tersenyum miring dan menatap Ria. "Anak saya waktu empat tahun udah bisa makan sendiri loh," beritahunta tanpa diminta. Ria baru akan membalas ucapan Kenny saat tiba-tiba Kia menyahut. "Bohong! Kenapa Tante Kenny selalu ngomong bohong? Waktu ngobrol sama Tante Wiwi juga sama, kalian berdua sama-bohong," pekik Kia. Ria dan Kenny sama-sama terkejut. Terlebih Kenny yang dituduh berbohong oleh anak berusia enam tahun. "Kia, kenapa bilang begitu? Engga boleh, Sayang. Minta maaf sama Tante," tegur Ria. Dia menatap tidak enak pada Kenny yang tampak shock. Kia menatap Ibunya dengan pandangan protes. "Tapi Kia engga salah, Bu. Di atas kepala Tante Kenny ada garis warna merah, itu berarti Tante Kenny bohong," protes Kia. Ria membulatkan matanya. Dia buru-buru meminta maaf pada Kenny dan membawa Kia pulang. ^^ Candra baru pulang bekerja saat melihat istrinya duduk di teras bersama Kia. "Tumben duduk disini? Nunggu Ayah?" tanya Candra. Ria tersenyum tipis tanpa menjawab pertanyaan suaminya, dia menyalimi tangan Candra yang diikuti oleh Kia di sebelahnya. "Kenapa, Bu? Kamu kayaknya lemes banget," Candra menangkap raut tidak biasa yang ditunjukan istrinya. Istrinya itu bahkan tidak tersenyum selebar biasanya. "Engga apa-apa kok, Yah. Mau langsung makan?" Candra mengangguk dan menggandeng tangan Kia yang sejak tadi hanya diam. Mereka hendak masuk saat seseorang terdengar mengucapkan salam. Candra buru-buru membukakan pagar saay dilihatnya Ketua RT tempat tinggalnya itu berdiri di depan pagar. "Masuk, Pak Adit," ujar Candra dengan senyum ramah. Sang ketua RT membalas dengan senyum yang tak kalah ramah. Lalu Candra menghela tamunya agar masuk dan meminta Ria untuk membuatkan minum. "Maaf sebelumnya karena mengganggu Pak Candra yang sepertinya baru pulang bekerja," ucap Adit sopan. Candra buru-buru menggeleng, "Engga apa-apa, Pak. Saya engga merasa terganggu sama sekali kok," balasnya. Adit yang sudah siap mengatakan keperluannya urung berucap saat Ria datang dan membawakan dua gelas kopi untuk suami dan tamunya. "Diminum dulu, Pak RT," ucap Ria. Adit mengangguk dan menyesap sedikit kopi yang masih panas itu. Sedangkan Ria mengambil duduk di samping suaminya. "Begini Pak Candra dan Ibu, saya kesini sebenarnya mau meminta sumbangan seikhlasnya karena istrinya Pak Ibra sakit dan butuh biaya besar untuk berobat," tutur Adit. Candra menaruh fokus pada apa yang diucapkan Adit, kalau tidak salah ingat Pak Ibra yang dimaksud Adit adalah orang yang rumahnya ada di belakang komplek dan bukan bagian dari RT tempat tinggalnya. Candra mengenal Ibra karena pernah beberapa kali bertemu di masjid. "Pak Ibra yang tinggal di belakang?" tanya Candra. Adit tampak mengangguk, "Iya, memang RT tempat tinggalnya juga melakukan penggalangan dana. Tapi katanya masih kurang, jadi saya berinisiatif meminta dari warga disini," jelas Adit. Candra menoleh ke arah istrinya yang tidak mengatakan apa-apa. Saat Candra hendak mengeluarkan dompet dari saku celananya, suara nyaring Kia mengambil atensi selurub orang. "Jangan, Yah! Jangan dikasih!" seru Kia. Candra terkejut, dia langsung melayangkan tatapan peringatan pada anaknya itu. "Kia, kenapa bilang gitu?" tanya Ria, dia cemas hal yang sama ketika di taman terjadi lagi saat ini. Kia menatap Ibu dan Ayahnya bergantian. "Bapak itu bohong, Bu. Ada garis merah di kepala Bapak itu. Kalau Ayah mau ngasih, lebih baik Ayah datangin langsung orang yang sakit itu," ujar Kia. Candra dan Adit tampak begitu terkejut mendengar perkataan Kia. Beda dengan Ria yang justru merasa cemas dan meminta anaknya untuk masuk ke dalam, tapi Kia menolak. "Kia, siapa yang ngajarin engga sopan? Terus garis merah apa yang kamu maksud?" tanya Candra, ada kilat marah di matanya. "Kia bisa tahu kalau Bapak ini bohong karena ada garis merah yang muncul di kepala Bapak ini, Yah. Kia cuma ngomong jujur," kilahnya. Candra menatap ke arah Pak RT yang wajahnya sudah merah padam. "Maaf, Pak Adit. Jangan anggap serius ucapan anak saya," katanya merasa bersalah. "Yaah, tapi Kia----" Kia langsung berhenti bicara saat Candra menatapnya tajam. Gadis itu langsung menunduk ketakutan. "Saya engga masalah kalau Pak Candra memang engga mau kasih sumbangannya, tapi engga gini caranya. Pake nyuruh anak Bapak ngarang cerita kaya ging segala!" sungut Adit kesal, ia lalu membereskan map-map yang ia bawa dan berdiri. "Saya pamit, permisi," katanya lalu melangkah keluar dari ruangan itu. ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD