Candra menatap tajam ke arah Kia yang sudah berada dalam pelukan ibunya. Gadis kecil itu sudah ketakutan semenjak ayahnya memelototinya.
"Darimana kamu bisa bilang setiap orang yang ada tanda merah itu berbohong, Kia?" tanya Candra dengan intonasi pelan namun dalam.
Kia mendongak takut ke arah ayahnya, tangannya mencengkeram lengan ibunya kuat.
"Kia sering liat tanda merah sama biru di atas kepala orang, Yah. Tadinya Kia engga ngerti, ta-tapi pas kemarin liat Om Aril sama Iral Kia jadi tahu soal tanda itu," jawab Kia pelan.
Candra menatap istrinya yang menggeleng pelan.
"Apa yang kamu liat dari Om kamu?" tanya Candra lagi.
Kia mendongak ke arah ibunya yang menatapnya dengan pandangan sedih. Lalu Kia kembali menatap ke arah Candra yang menunggu jawabannya.
"Kemarin waktu Om Iral sama Om Aril bawain Kia kado, Om Iral bilang kadonya dia beli sendiri. Tapi kata Ibu, Om Iral itu engga kerja dan yang beliin kadonya itu Om Aril, Om Aril juga bilang gitu, dan pas Om Iral bilang itu kado yang Om beli sendiri, tanda merah itu muncul. Terus tanda birunya muncul di kepala Om Aril pas bilang kado itu dibeli pake uang Om Aril," jelas Kia pelan. Dia benar-benar ketakutan melihat wajah marah ayahnya.
Candra kembali menoleh ke arah Ria yang tampak terkejut dengan perkataan anaknya. Ria bahkan sampai berlutut dan memegang bahu Kia.
"Sayang, sejak kapan Kia liat tanda seperti itu?" tanya Ria, wajahnya tampak panik.
Kia hanya terdiam menatap mata ibunya.
"Jawab Ibu, Kia," titah Candra tegas.
Kia sempat terkejut, dengan mata yang berkaca-kaca Kia menjawab pertanyaan ibunya.
"Kia engga tahu, Bu. Tapi Kia sering lihat itu kalau ada orang ngomong di sekitar Kia," beritahunya.
Ria memeluk tubuh kecil anaknya itu. Perasaannya sama sekali tidak tenang begitu mendapati kemampuan aneh anaknya.
Walaupun memang hal itu belum bisa terbukti dan hanya berdasarkan pada cerita yang diucapkan Kia, tapi Ria yakin kalau anaknya tidak mengada-ada atau mengarang cerita.
Sedangkan Candra mulai terlihat gusar. Beberapa kali ia mengusap wajahnya dan berjalan mondar-mandir dengan helaan nafas yang tidak henti. Ia memiliki firasat buruk karena kelakuan Kia tadi. Bapak RT itu pastilah tidak akan terima dengan ucapan Kia walaupun Kia hanyalah anak kecil. Bagaimana kalau sampai kabar mengenai kemampuan aneh Kia ini justru menyebar dan membawa masalah pada mereka?
"Kita harus bawa Kia ke orang pintar, Bu," usul Candra.
Ria membulatkan matanya, tidak menyangka bahwa suaminya akan menyarankan hal seperti itu.
"Yah, anak kita bukan kerasukan atau semacamnya!" bantah Ria tidak terima.
"Tapi dia kayak gitu pasti karena pengaruh jin, Bu," elak Candra.
Ria menatap tajam suaminya. Ia memang tidak tahu apa yang membuat anaknya mengalami hal seperti itu, tapi dia juga tidak setuju kalau sampai Kia diperlakukan seperti kerasukan setan atau sejenisnya.
"Ibu tetep engga setuju. Lagipula anak kita engga ngerugiin siapa-siapa, Yah," ujar Ria.
Candra menggeleng dramatis, "Dia udah bilang terang-terangan kalau Pak RT bohong, jadi pasti berita tentang Kia yang nuduh Pak RT bohong itu bakal kesebar, Bu, dan pasti ceritanya akan lain kalau sudah menyebar dari mulut ke mulut," ujarnya.
Ria terdiam. Dia juga tahu kalau kejadian tadi akan memiliki imbas yang tidak main-main.
"Kia, Kia masuk kamar aja dulu ya," titahnya lembut pada Kia yang sejak tadi tidak melepaskan pegangannya.
Kia mendongak menatap ibunya, lalu melirik takut ke arah ayahnya yang tidak sedang menatapnya. Dia lalu berlari kecil menuju kamar dan menutupnya dengan cukup keras.
Ria tersenyum tipis melihat tubuh putrinya yang hilang dibalik pintu. Ia lalu menatap sang suami yang masih terlihat gelisah dan gusar.
"Yah, tenang. Belum tentu Kia benar-benar punya kemampuan aneh itu, anak kecil itu lagi masa-masanya punya imajinasi yang bagus, suka bikin cerita yang aneh-aneh juga," hibur Ria, ia juga berusaha meyakini apa yang tadi dikatakannya bahwa anaknya hanya sedang berimajinasi.
Candra menatap Ria dengan sendu, "Gimana kalau ternyata Kia beneran punya kemampuan itu, Bu?" tanyanya.
Helaan nafas keluar dari bibir Ria, "Kita tetep harus dampingin Kia dan percaya sama dia, Yah. Dia masih kecil, dia juga belum ngerti apa yang dia punya itu," katanya.
Candra mendesah berat. Dia merasa tidak bisa menerima kenyataan kalau sampai anaknya benar-benar memiliki kemampuan yang aneh seperti itu. Ditambah, kemampuan aneh Kia itu bisa menimbulkan masalah besar kalau Kia terus menerus mengatakan dengan jujur soal apa yang dilihatnya.
"Kasih tau Kia supaya dia engga nunjukin apa yang diliatnya kayak tadi, kasih tau dia supaya dia tetep diam walaupun dia ngeliat macem-macem atau tanda apa yang kayak dia bilang," ujar Candra tegas.
Ria hanya bisa mengangguki ucapan suaminya karena dia juga tidak ingin ada hal buruk yang terjadi pada anaknya.
~
Keesokan harinya, apa yang ditakutkan oleh Candra terjadi.
Sejak Ria keluar rumah untuk membeli sayuran, pandangan aneh dan bisik-bisik yang ia yakin ditujukan untuknya itu santer terdengar. Beberapa orang bahkan terang-terangan menyindir dirinya dengan mengatakan bahwa Kia memiliki kepribadian yang aneh dan tidak sopan karena mengatai orang yang lebih tua sebagai pembohong.
Ada juga yang mengatakan bahwa Kia bukan anak yang normal karena mengaku melihat tanda di atas kepala orang yang bahkan tidak bisa dilihat oleh orang selain Kia sendiri. Dan yang lebih parah, ada yang dengan tega mengatakan bahwa Kia tidak waras dan harus dibawa ke psikiater.
Ria rasanya ingin menangis mendengar segala omong kosong yang dilemparkan untuk putrinya. Bahkan hingga sore ia yang biasanya selalu mengajak Kia main di taman sambil menyuapi gadis kecil itu, tidak Ria lakukan hari ini. Dia tidak mau Kia kembali menerima kata-kata tidak pantas dari orang-orang.
Yang dilakukan Ria seharian hanya menemani Kia bermain di rumah dan memberi alasan pada anaknya bahwa diluar sedang banyak debu sehingga Kia tidak ia ijinkan untuk bermain diluar. Ria bersyukur karena Kia mempercayai kata-katanya dan tidak banyak bertanya.
Dan saat suaminya pulang, Ria buru-buru menceritakan apa yang didengrnya seharian ini pada Candra. Ia berharap suaminya bisa membuatnya tenang dan akan membantu Ria untuk menjaga Kia dari omongan jahat orang-orang.
Tapi reaksi yang didapatnya dari Candra sangat berbeda dengan apa yang Ria harapkan. Suaminya seakan berubah menjadi sosok lain saat menunjukan reaksi yang tidak pernah Ria duga.
"Anak kamu itu cacat, Ria!" Teriak Candra dengan raut wajah yang tidak pernah Ria lihat sebelumnya. Karena Ria sangat mengenal suaminya yang selama ini tidak pernah meninggikan suara di hadapannya.
Ria tampak sangat terkejut mendengar teriakan suaminya, dipandanginya Candra dengan tatapan sarat akan luka.
"Dia juga anakmu, Mas. Dan dia engga cacat!" Sanggahnya, air mata sudah mengalir di pipi putihnya.
Perih saat suaminya sendiri mengatai anak mereka cacat. Padahal dulu, suaminya lah yang bersemangat saat dirinya hamil dan begitu bahagia saat Ria berhasil melahirkan bayi perempuan yang secantik Ria. Kia selalu menjadi pelipur bagi mereka berdua, tapi kini dengan tega suaminya itu mengatai anak mereka cacat.
"Dia engga normal, aku sudah bilang kalau dia memang aneh bukan cuma imajinasi. Dan aku juga udah meduga kalau kejadian kemarin memberi dampak engga baik buat kita. Sekarang lihat akibatnya, dia dicemooh orang-orang! Harusnya kamu sebagai Ibu mengajarinya untuk tutup mulut dan engga menyebarkan omong kosong." Candra menggeram frustasi, dia mendudukan dirinya di sofa dengan kedua telapak tangan menutupi wajah.
"Mas, dia masih kecil. Dia hanya berkata jujur sesuai apa yang dia tahu. Orang-orang itu memang bukan orang baik." Ria membela anaknya sembari terisak. Ia pikir suaminya akan marah karena orang mengatai Kia dengan jahat, tapi yang ia dapati sekarang justru suaminya yang sibuk menyalahkan Kia.
Saat ini mereka tengah berada diruang tamu, jauh dari kamar putrinya, tempat yang saat ini menyembunyikan tubuh kecil yang sedang jadi topik pembicaraan kedua orangtuanya.
"Aku tahu. Tapi mereka tidak akan mau tahu. Mereka bahkan bisa ngucapin kata-kata yang bahkan sakit kita dengar sebagai orang dewasa. Ini semua karena kamu kurang perhatian sama Kia dan engga nyegah dia buat ngomong omong kosong kayak kemarin. Sekarang gimana? Mereka pasti akan natap Kia dengan pandangan aneh seakan anak kita itu monster, Ria," Suara Candar melirih.
Orangtua mana yang mau anaknya dipandang aneh seakan-akan anaknya bukanlah manusia sama seperti mereka. Hanya karena putrinya terlahir berbeda, bukan berarti putrinya menjadi monster seperti yang orang-orang bilang. Candra malu karena putri yang dia sayangi sepenuh hati justru tumbuh menjadi anak cacat yang menjadi gunjingan banyak orang. Dia juga malu karena saat dia pulang tadi, di pos satpam ia mendengar pertanyaan tidak mengenakan dari bapak-bapak tentang putrinya. Ia tahu kalau pasti Pak RT sudah menyebarkan kejadian kemarin pada semua orang.
Candra mengakat wajahnya tiba-tiba. Dia menatap istrinya yang masih menangis dalam diam. Rasanya sepanjang ia menjalani rumah tangga, baru kali ini dia di hadapkan pada masalah yang kian besar dan harus menyangkut putri semata wayang mereka. Maka dengan segala konsekoensi yang harus dihadapinya nanti, Candra membuat sebuah keputusan besar demi kebaikan keluarganya.
"Kita harus pindah dari sini," putusnya yang membuat Ria membalak terkejut. Ria tidak menyangka jika suaminya akan mengambil keputusan semacam itu.
Sama terkejutnya dengan seorang gadis kecil yang sedari tadi bersembunyi di belakang tembok pembatas ruangan. Yang sudah menahan tangis karena dia tahu dirinya lah penyebab pertengkaran antara Ibu dan Ayahnya. Dan dia tahu bahwa kemampuan yang baru dia tahu ada dalam dirinya itu, membawa bencana untuk keluarganya. Karena Ayahnya yang ia tahu sangat menyayanginya itu bahkan mengatainya cacat dan mengambil keputusan untuk pindah dari rumah nyaman yang mereka tempati karena dirinya.
__