Decit bambu membuat ngilu. Sementara gemerisik dedaunan bambu malah membuat tentram. Alunan alam pesantren membuat Ana termenung. Matanya yang menerawang ke sinar bulan, mengungkapkan berbagai pertanyaan dalam hatinya. Biasanya di jam segini, ia dan Reni akan bergadang menyimak satu sama lain sambil ditemani secangkir kopi. Secangkir itu akan mereka minum berdua secara bergantian. Bukan romantis, tapi tragis. Tapi momen seperti ini tak akan ditemukan selain di pesantren.
Andai tak ada telepon dari Panji yang berakhir menggantung, Ana pasti sudah bisa mengulang paling tidak dua juz yang ia hapal. Dan ia juga pasti sanggup untuk menyimak dua juz milik Reni. Namun kata terakhir yang diucapkan Panji, sungguh mengguncang emosinya. Reni juga entah ada di mana. Jadilah Ana termenung di bawah pepohonan bambu sembari menatap rembulan.
“Kakawin Arjunawiwaha dapat menepis kesedihanmu.”
Ucapan terakhir yang dikeluarkan oleh si petani terngiang kembali. Jujur Ana sama sekali tidak tahu menahu tentang kakawin. Sejauh yang ia tahu tentang ajaran arif Jawa hanyalah seperti lukisan yang dibawa Gus Fikri tempo hari.
Cahaya biru rembulan menyelimuti wajah Ana. Air wajah yang tanpa ekspresi terpampang dengan jelas. Gadis itu selain dibuat sedih akan Panji, ia juga dibuat bingung dengan pernyataan dari si petani.
Ana mengembuskan napas. Tak ditemuinya jalan ke luar di pikirannya.
“Wush ... wush.” sebuah suara, berdesing di tengah kesunyian.
Ana menoleh. Ia mencari-cari dari mana asal suara itu. Seharusnya kini sudah jam satu malam, dan umumnya sudah tidak ada santri yang berkeliaran di taman komplek. Ia pun beranjak dari rerimbunan pohon bambu lalu mencari asal suara itu.
“Jangan mendekat! Jangan mendekat! Aaa!!!”
Jerit itu kian lantang saat Ana mendekati area asrama. Seketika matanya menyelidik. Ia melihat sandal yang terbang kemudian muncul seorang santriwati yang lari-lari entah dikejar apa.
“Ana! awas! Ada lebah ngamuk.”
Ana menyipitkan matanya. Tepat saat ia sadar apa yang terjadi, ia pun berteriak, “Reni cepat cari perlindungan!” teriaknya kemudian.
Sementara Reni sibuk dengan pelariannya, Ana sibuk mematikan lampu.
“Diam, Ren!” teriak Ana ketika lampu mati.
Lengang. Dengung sayap lebah sempurna terdengar. Ana yang sadar kalau lebah pembunuh tidak akan pergi begitu saja, pergi keluar. Malam yang penuh akan angin, adalah timing yang tepat. Ana langsung menyalakan api dan menumpuknya dengan dedaunan hijau. Sedikit demi sedikit asap tercipta dan masuk ke lorong pondok sehingga para lebah pembunuh pergi.
Beberapa menit berlalu. Dengung sayap lebah lambat laun musnah. Ana pun masuk kemudian menghidupkan lampu.
“Alhamdulillah,” desah Ana, lega.
“Apa sudah berakhir?” kepala Reni muncul dari daun pintu.
Melihat wajah Reni yang sok polos, membuat Ana geram.
“Malam-malam gini, kamu malah bikin keributan,” sergah Ana.
Ia mencopot sendalnya, bersiap menipuk Reni.
“Eleh-eleh ... tadi lebah yang ngamuk, malah sekarang Ana yang ngamuk. Duh.”
“Berhenti kau! Mending kena tipuk sendal daripada disengat lebah.” Ana semakin mendelik.
“Tangkap aja kalau bisa. Weee ....” Reni menjulurkan lidahnya.
Mereka berdua berlari-larian di koridor komplek. Saat mendekati belokan, Reni langsung masuk ke ruang kelas madrasah dan bersembunyi di sana.
“Kamu ini Aku cariin buat nyimak hafalanku malah pergi ngejar perkara! Hih! Mending kalau cuma kamu yang disengat, kalau yang tidur juga disengat, gimana?” Ana bersungut-sungut marah. Matanya teliti mencari keberadaan santriwati hitam, besar, dan tinggi seperti ganderuwo wanita itu.
“Justru karena itu, aku petik tuh sarang mereka. Dulu, ketika di desa ada sarang lebah pembunuh, para orang tua pasti memetiknya malam-malam.”
“Caramu itu yang salah dodol! Petiknya bukan pake sandal terus di lempar ke sarangnya. Di bungkus dulu pake plastik baru dipetik.”
“Abis nggak ada tangga ya aku gapuk tuh sarang pake sandal. Aku kira lebahnya tidur, eh malah ngejar.”
“Orang aja kalau digapuk pake sandal juga bangun, apalagi lebah. Dasar aneh!”
Jawaban yang Reni berikan membuat Ana mengetahui tempat Reni bersembunyi.
“Rasakan ini!” Ana menggeplak pinggul Reni dengan sandal.
Serangan sandal itu tepat mengenai wajah Reni. “Ouch ... sakit tahu.”
“Ini sebagai pelajaran karena kau ceroboh.”
“Iya-iya deh, maaf.”
“Kali ini cukup satu tamparan, besok kalau kamu ceroboh lagi, siapkan saja pelapis baja!”
“Ana kan baik, nggak mungkin melakukan hal-hal kaya gituan lah.”
Hening kembali. Hanya dengusan napas kedua santri itu yang terdengar. Lamat-lamat menjanjikan. Mereka berpandangan lalu tertawa bersama.
“Oh ya, Ren.” Tiba-tiba Ana teringat sesuatu.
Reni mengangkat wajahnya. Ia memandang Ana seraya memperhatikannya.
“Jangan bergerak, An!” bisik Reni.
“Ada apa?”
“Ssst, di belakangmu ada ....”
Perlahan, Ana memutar kepalanya ke belakang. Dilihatnya seekor lebah pembunuh yang merangkak di jilbabnya.
“Kamu jangan bergerak An! Sedikit saja kau bergerak, lebah itu akan menyengatmu.”
Pandangan Reni terfokus pada lebah. Tangannya dengan lembut membuka jilbab Ana. Ketika jilbab itu siap dilepaskan, Reni menelungkup lebah itu lalu melemparkannya ke luar ruangan.
“Hehe, maaf ya An. Itu satu-satunya cara agar nggak ada yang disengat.”
“Heh, ok nggak papa. Tapi besok tanggung jawab. Cu-ci-in!”
“Ok.”
“Tadi kamu mau bilang apa?”
“Oh, iya. Aku mau tanya tentang kakawin Arjunawiwaha.”
“Dengan satu sarat.”
“Apa?”
“Ceritakan padaku siapa itu Panji!”
Deg ... jantung Ana seketika berhenti. Udara di sekitarnya mendadak panas. Bibirnya terkulum, bungkam. Dia sama sekali tak bergeming.
“Da ... da ... dari mana kau tahu nama itu?” lidah Ana mendadak kelu.
“Akan kuberitahu, jika kamu ikut aku.”
Reni menggandeng tangan Ana tanpa dosa. Ia tetap riang meski telah membuat temannya gelagapan setengah mati. Tak lupa ia mengambil jilbab Ana yang sempat ia buang tadi – setelah memastikan lebah itu pergi. Secepat mungkin Reni menarik lengan Ana, mengarahkannya agar segera sampai di sebuah tempat. Yang diajak malah diam tak berkutik.
Dinginnya angin malam menyambut mereka. Cericit walet yang terbang menggiring angin, terdengar menyenangkan. Burung itu seakan tak peduli jika waktu ini bukanlah jatahnya. Wajar saja, jika kelelawar juga unjuk kebolehan. Sedikit saja ada serangga terbang, langsung hilang diterkamnya.
“Aku tahu kamu selalu menikmati suasana seperti ini,” tukas Reni. Ia duduk di pagar pembatas loteng. Kakinya menyilang santai.
Ana sama sekali tak peduli dengan sinar rembulan yang sempurna melapisi loteng pondok. Ia tak peduli dengan jutaan bintang yang menabur tirai malam. Ia juga tak peduli dengan hamparan lampu yang bisa ia lihat dari sana. Yang penting sekarang, hanya jawaban Reni. Mengapa dia tahu soal Panji?
"Cepat beritahu aku! Di mana kamu kenal sama Panji?” intonasi suara Ana naik.
“Sabar-sabar, pertanyaanmu agak banyak. Tapi mending aku jawab pertanyaanmu tentang kakawin Arjunawiwaha dulu, ya!” Reni tetap santai menanggapi temannya yang bersungut-sungut.
“Nggak. Itu, aku bisa cari tahu dari orang lain. Sekarang cepat katakan dari mana kamu kenal Panji.”
“Hehe. Beberapa hari lalu aku tak sengaja membuka mushafmu dan menemukan nama itu. He’em cie ... siapa sih si Panji itu atau ... harus kupanggil dia Gus Panji?”
“What?!” Ana tercengang ketika mendengarnya. “Apa cuma kamu yang tahu?”
“Rahasia.”
“Reni, aku serius!” Ana mendelik.
“Hehe hanya aku kok yang tahu. Aku kan nggak ember. Ini nyatanya aku bawa kamu ke sini biar hanya kita berdua yang tahu.”
Ana menelan ludah. Emosinya sedikit mereda. Ternyata Reni memang penuh perhitungan.
“Btw, bagi-bagi cerita dong. Kamu kan bisa curhat dengan aku, An. Ya ... walau aku sadar aku ini sedikit nyebelin sih. Haha.”
Walau Reni menyebalkan, Ana sebenarnya tak pernah memusuhinya. Menaruh benci kepadanya pun tidak. Hanya saja ia ingin seperti teratai yang selalu tampil tegar, meski banyak masalah yang disimpan. Ia ingin menjadi bahu bagi teman-temannya, bukan malah dia yang membebani mereka.
“Kalau kamu nggak mau cerita juga nggak pap kok, An. Anggap aja gosip tetangga. Hahaha.”
Ana memalingkan wajahnya. Linangan air mata kini mengalir lembut di pipinya. Ia bingung antara membagi luka ini atau tetap menyimpannya.
“Teratai itu tak sendirian. Sekokoh-kokohnya dia, dia tetap bergerombol dengan temannya. Mereka berbagi rintik hujan agar bisa bertahan bersama.”
Kata-kata si petani bermunculan kembali, membuat Ana sadar. Ia pun berbalik lagi dan memeluk Reni, menuntaskan air mata di bahu sahabatnya.
“Ren, bantu aku!” suara Ana bergetar.
Gadis mungil berlesung pipi itu mulai terisak. Isakannya sungguh menyayat hati. Reni hanya bisa diam. Hatinya ikut bergetar melihat sisi lain dari Ana yang tegar.