Teratai

1383 Words
Tepat ketika sholat asar telah ditunaikan, Ana bergegas menuju balkon di emper sawah. Lembutnya angin langsung menyambut kedatangannya. Kicau burung, derik belalang, dan desisan daun yang ditiup angin, membuat hati gadis itu tentram. Kini dengan mantap ia menatap mentari yang mulai terbenam dan meneruskan hafalannya. Sedetik kemudian, suara merdu tartil Al-Qur’an terdengar. Semesta berangsur-angsur sunyi, seakan ingin menyimak Ana yang tengah mendawaikan kalam Ilahi. “Wa fil-ardhi aayaatul lil-muqiniin.” Seiring dendangan ayat 20 surat Adz-Dzariyat, angin menari lembut membuat dedaunan kering berjatuhan. Awan pun ikut berarak menghiasi cakrawala. Sejuk nan rindang. “Wa fiii anfusikum, a a ....” Hafalan Ana terputus. Ia lupa dengan lanjutan ayatnya. “Bismillahirohmanirohim.... Wa fii anfusikum, a a....” “A fa laa tubshiruun,” sambung seseorang dari bawah. Sontak saja Ana melihat ke bawah. Yang dilihat malah tak peduli dan melanjutkan cangkulannya. Ingin Ana menyapa, tapi urung. Rasa segan dan enggan terlalu menyelimuti hatinya. Ia pun hanya menganggapnya angin lalu kemudian melanjutkan hafalannya. Bibir Ana memang sibuk menghafal. Pikirannya sibuk mengingat dan hatinya sibuk menerka-nerka lanjutan ayat yang sedang dikajinya. Hanya matanya yang kadang nganggur. Sesekali melihat mushaf, sesekali mengamati si petani di sawah. Jujur ada secarik rasa sebal, karena hafalan Ana diteruskan oleh si petani itu. Namun ada juga decak kagum setelah sadar bahwa petani itu seorang hafidz. Saat mentari mulai tenggelam, menyemburatkan warna jus jeruk di cakrawala, Ana menyudahi hafalannya, si petani pun. Hanya saja mereka tak saling tegur sapa. Seperti halnya dulu, petani yang merupakan kang santri itu hanya menengok sekilas. Satu yang Ana tak habis pikir, mengapa petani itu hanya seorang diri merawat sawah yang lebarnya hampir satu hektar? Kenapa tidak minta bantuan kepada santri lain? Apalagi dia seorang hafiz, pasti perlu waktu juga untuk muroja’ah hafalannya. Keesokan harinya. Di jam dan tempat yang sama, Ana kembali tersendat di tengah-tengah. Meski hari ini dia agak tenang karena Alipeh telah sehat, tetap saja hafalannya tak berjalan mulus. “Maaa uriidu min-hum mir rizqiw wa maaa uriidu ay yuth’imuun. Innalloh... Innalloh....” “Astaghfirullah, kurang sedikit lagi, kok susah banget ya. Apa aku kebanyakan maksiat?” Urat di dahi Ana terlihat. Ia sedang berusaha keras mengingat lanjutan ayat berikutnya. “Ulang-ulang!!!” Ana berseru menyemangati dirinya. “Bismillahirohmanirohim Maaa uriidu min-hum mir rizqiw wa maaa uriidu ay yuth’imuun. Innalloh... Innalloh....” Nahas hasilnya tetap sama. “Innalloh huwar-rozzaqu dzul-quwaatil-matiin,” lanjut si petani lagi. Seperti biasa. Setelah melanjutkan, dia seakan tak acuh lalu menjerembabkan kakinya di tanah liat, meneruskan pekerjaannya. Dan lagi-lagi Ana mendengus kesal. Lebih sebalnya lagi, si petani bukan hanya sekali atau dua kali melanjutkan ayat yang Ana lupa, berkali-kali si petani meneruskan lafadz Al-Qur’an yang gadis itu sedang hafalkan. Saking sebalnya, kali ini Ana turun dari balkon lebih awal. Ia menunggu kedatangan santri petani itu di gerbang pesantren. Ana sudah tak tahan lagi untuk tidak mengajaknya bicara. Sebenarnya meneruskan hafalan orang lain sih tak masalah, yang jadi masalah itu ketika diteruskan orang, yang sedang hafalan malah nggak jadi hafal-hafal. Mata Ana awas menatap sekitar. Mencari sosok pemuda yang bergelar petani sekaligus santri itu. Bola matanya terhenti pada satu titik. Dia, seorang santri sekaligus petani sedang memikul paculnya. Ketika menatap Ana yang tengah menghadang jalannya, ia menunduk dan tetap berjalan biasa. Tanpa sapa, tanpa lirik. “Kang!” teriak Ana ketika santri petani itu melintas di depannya. Demi mendengar suara itu, si santri menghentikan langkahnya. Hanya saja ia tidak berbalik dan tetap memunggungi Ana. Sialnya ia juga mengenakan masker. “Maaf Kang, bisa ndak jenengan berhenti meneruskan hafalan saya?” “Kita lihat saja besok,” petani itu menjawab pendek lalu meneruskan jalannya kembali menuju pondok. “Ish. Nyebelin banget tuh orang.” Ana geregetan sendiri. Ana menautkan alisnya. Ia menatap sebal si petani. Tangannya menyilang dan mulutnya menyimpul. “Ok, kita lihat saja besok.” *** Sore datang lagi. Namun kali ini mungkin terasa sedikit istimewa. Untuk pertama kalinya suara itu menyapa, berdendang indah walau hanya seuntai salam. Sebuah suara yang selama ini telah dinanti Ana. Akhirnya setelah sekian lama, Panji menelepon. Seorang kang santri yang dulu sempat hendak melamar Ana, tapi dilarang oleh orang tuanya. “Assalamu’alaikum, An,” salamnya. “Wa’alaikumussalam, Kang,” jawab Ana lembut. Suara yang telah lama Ana rindukan akhirnya terdengar juga. Salam yang selama ini ia idamkan akhirnya sampai juga. Hatinya berbunga-bunga menerima telepon dari seseorang yang sangat dicintainya, Panji. “Bagaimana kabarmu Kang Panji?” “An ... maaf.” Terdengar suara sebelah melemah. Hanya dengusan napas yang tersisa. Petikan kata yang masih menggantung itu membuat jantung Ana mulai berdegub kencang. “Maksudnya?” Ana bertanya, resah. Hening. Hanya terdengar isakan di seberang sana. “Kang?! Panji? Halo?” Tut... tut... tut... Telepon terputus. “An, sudah belum? Cepetan ih, aku juga mau nelpon!” santriwati di belakang Ana berseru gaduh. Tak sabar lagi mengantre. Ana meletakkan HP pondok. Tangannya lemas, begitu juga dengan tubuhnya. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Kabar dari Panji yang selalu Ana harapkan, malah menuang curiga. Senja penantiannya benar-benar hancur. Rindu yang telah selama ini ia susun berubah menjadi kecewa. Wajah Ana mendadak merah. Satu detik. Dua detik. Emosinya memuncak. Gelegar marah karena cinta yang menggantung membuatnya kalap. Ia pun segera berlari ke balkon di emper sawah. Tanpa berpikir panjang, gadis itu menangis sejadinya. Mulutnya tak bersuara, namun air matanya kian menderas. “Ya Allah, mengapa? Mengapa?” rintihnya. Ana membungkuk di pagar pembatas. Berkali-kali ia terisak. Air matanya tak bisa lagi dibendung. Puluhan, mungkin ribuan air matanya merembes di jilbabnya. Sempurna. Salam dari Panji yang selama ini ia harapkan, malah membuatnya jatuh dalam kesedihan. Pandangan Ana mengawang. Pikirannya kosong. Hatinya meronta. Asanya menguap. Pupus sudah semangatnya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. “Aaaa ....” teriaknya. Kenangan mulai bertahta kembali di pikiran Ana. Masa lalu yang teramat dalam memuncak kembali, mengisahkan kisah yang telah lama terkubur dalam angan-angan. Kisah-kisah di masa pondok yang membuat Ana terlunta-lunta dalam belaian melodi cinta. Tidak-tidak. Aku nggak mau mengenang kisah itu, tolak Ana pada dirinya sendiri. Buru-buru Ana mengulangi bacaan Al-Qur’an yang selama ini ia telah hafal, tapi percuma. Sedikit demi sedikit kenangan manis bersama pemuda bernama Panji, kembali bermunculan. Merasa tak kuat menahan goncangan masa lalu, Ana pun turun dan pergi. “...la tahzan innalloha ma’anaa....[1]” ucap seorang pria. Spontan Ana mengelap semua air matanya. Ia pun menghirup udara dalam-dalam sembari menenangkan batinnya. “Apakah kau sudah menyerah wahai santriwati? Tumben aku nggak denger hafalanmu.” “Ehem ....” Ana berdeham, berusaha menyembunyikan suara paraunya. “Aku sudah selesai hafalan wahai petani yang suka nguping,” lanjutnya. Meski Ana tidak tahu, petani sekaligus santri itu tersenyum. “Setiap senja kamu di sini, menatapku bekerja sembari hafalan. Setiap senja kudengar lantunan Al-Qur’anmu. Tapi hari ini tidak kudengar sama sekali. Aku yang tuli atau kau yang bisu ya?” Ana tersentak kaget. Ia tak menyangka petani yang sangat cuek itu ternyata selalu memperhatikannya. Tapi Ana mencoba mengendalikan dirinya dan menjawab dengan intonasi biasa. “Yee PD. Siapa juga yang senantiasa mengawasimu bekerja. Aku datang ke sini cuma buat melihat teratai sawah, kok.” “Aku tahu kamu selalu ceria di pondok. Selalu semangat di depan teman-temanmu. Dan sekarang aku sudah tahu mengapa kamu bisa seperti itu,” tukas si petani. Merasa dirinya dimata-matai, Ana pun risih, “Hey, jangan sok tahu ya! Mana mungkin seorang kang pondok tahu kegiatan santri putri? Emang siapa kamu, hah?” tanyanya setengah berteriak. Ana tak tahan lagi. Ia pun turun dan keluar ke sawah demi mengetahui identitas asli dari si petani. Bodo amat dengan takziran yang nanti ia dapatkan. Tapi alangkah sayangnya, ketika Ana sampai, si petani langsung memunggunginya. “Siapa aku, itu ndak penting. Yang penting, kamu harus sadar bahwa teratai itu tak sendirian. Sekokoh-kokohnya dia, ia tetap bergerombol dengan temannya. Mereka berbagi rintik hujan agar tetap bisa bertahan.” Kali ini Ana benar-benar tercengang. Bagaimana mungkin petani yang setiap hari itu hanya menguping Ana hafalan, bisa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Sudahlah, semoga kesedihanmu cepat tersingkirkan. Aku ingin mendengarkan lantunan ayat indahmu lagi,” ucap si petani lalu kembali bekerja. Ana terpaku. Ia tak mengerti bagaimana dan apa yang petani itu telah lakukan. Dari awal memang petani itu sudah istimewa bagi Ana. Bagaimana tidak? Dialah satu-satunya santri yang menggarap sawah pesantren. Hanya satu yang Ana tak habis pikir, mengapa dia selalu memunggunginya? Siapakah dia? [1] Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD