Lukisan Menthok

1472 Words
Gema bedug menggema syahdu. Tepat ketika Ana tiba di halaman pondok, gema itu beralih ke kentongan. Suara nyaring dari kentongan otomatis menggerakkan hati para santri. Menyuruh mereka untuk bersiap mendengarkan seruan ilahi. Azan berkumandang, dedaunan bergemerisik seakan-akan ikut menjawabnya. Beberapa hewan malam mulai berterbangan, mengambang bersama siluet merah. Desiran air mulai terdengar sahut-menyahut, menjadi pertanda bahwa para santri mulai bersiap-siap menyambut jam sibuk. Segera setelah azan selesai, bel pondok meraung-meraung. Semenit, dua menit, tiga menit santri-santri mulai terganggu dengan suara bising bel itu. Masih belum cukup, para pengurus segera bertindak. Mereka menggedor-gedor setiap pintu kamar sembari menyuruh para santri untuk segera ke masjid. Maghrib yang seharusnya sarat akan ketenangan yang mendamaikan, berisik oleh seruan bel pondok dan ketokan pintu pengurus. Sayangnya hal ini wajib dilakukan karena tidak semua santri itu rajin. Dan kadang yang rajin pun bisa menjadi malas. Maka dari itu, dentingan bel, ketokan pintu, dan teriakan pengurus selalu membahana, mengusik gendang telinga para santri. Setelah setengah jam, ikamah pun dikumandangkan. Setiap santri telah bersiap di saf masing-masing. Musala mungil itu mempunyai ciri khas. Pada tempat imam, dibuat menyerupai ruangan, sehingga ada daun pintu di sana. Ketika imam telah siap, pintu itu akan dibuka. Sawu suffufakum fainnatash wiyatash shuhufi min tamamish sholat ....” gema suara imam mulai membahana. “Itu ... bukannya suara Gus Fikri?” bisik seorang santriwati. “Iyalah. Siapa lagi kalau bukan dia. Suara ini, hemm merdu banget,” balas yang lain. “Iiiih ... Gus Fikri, aku padamu.” Seorang santriwati berseru tertahan. “Ssshh!” Santriwati yang lain kompak mendesis menyuruhnya diam. Embun menguasai malam. Dingin mulai merambah, memasuki sela-sela kehangatan. Menggelitik bulu kuduk. Api lampu damar yang terpasang di ruang tengah dalem bergerak perlahan, mengikuti ke mana angin pergi. Hal ini sengaja dilakukan agar para santri fokus terhadap setorannya. Cahaya temaram yang membaur bersama selaksa bening air wudu, membuat suasananya menjadi tentram. Ruang tengah yang dilengkapi dengan perhiasan furniture khas Jawa, menciptakan suasana klasik. Ada tiga tempat di mana santri berlaga dengan Al-Qur’an, satu di teras masjid sebagai tempat muroja’ah[1], dua di dalam masjid sebagai tempat tes hafalan sekaligus setoran bagi binnadzor – masih melihat Al-Qur’an, dan tiga di ruang tengah dalem sebagai tempat menyetorkan hafalan bagi khufadz – proses hafalan dengan Al-Qur’an tertutup. Semua santri mengidam-ngidamkan bisa cepat mengaji di ruang tengah dalem. Nuansa yang disajikan adem ayem, sangat pas untuk menghafal Al-Qur’an. Santri demi santri mengantre, untuk menyetorkan hafalannya. Tapi mereka harus benar-benar siap, karena ketika mereka sudah masuk di ruang tengah, tiada waktu lagi untuk membuka Al-Qur’an. Tepatnya bukan tidak ada waktu, tapi karena tidak bisa membacanya lagi. Kan lampunya hanya damar. Samar-samar dari setiap santriwati mengulang hafalannya. Meski ramai, ruang tengah itu begitu sunyi. Hanya satu suara yang terdengar yaitu santriwati yang tengah menyetorkan hafalannya di hadapan Bu Nyai. “Ipeh mana?” bisik Ana kepada santriwati di belakangnya. Matanya sibuk mencari-cari sahabatnya itu. “Katanya sakit. Sekarang dia lagi di poskentren.” “Sakit?” Santriwati yang ditanya itu hanya mengangguk. Enggan mengulang perkataannya. “An ... An ... hey. Giliranmu tuh,” bisik seorang santriwati yang lain. Segera Ana menepis kekhawatirannya dan maju menyetorkan hafalan. Baru setelah ia selesai mengaji, segera ia berlari menuju poskentren (pos kesehatan pesantren). Namun di tengah jalan, Gus Fikri tiba-tiba melintas. Di tangannya tersampir sebuah lukisan bergambar menthok – sejenis itik. Menyadari itu, Ana segera menghentikan larinya dan berusaha menghindari tabrakan. “Maaf ...,” lirih Ana kikuk. “Tidak apa,” jawab Gus Fikri. “Jenengan tidak apa-apa kan?” “Ouh ndak. Kenapa terburu-buru?” “Mau jenguk teman yang sakit.” “Syafakillah, semoga Allah menyembuhkannya.” “Punten Gus, saya duluan.” Gus Fikri pun mengangguk. Ana perlahan memutar tubuhnya lalu berjalan menunduk ke poskentren. Sementara Gus Fikri menuruskan langkahnya menuju sebuah lorong. Saat tiba di sana, ia lihat tubuh Alipeh yang sempurna terbalut selimut. Wajahnya pucat. Giginya beradu, menggigil. Tenggorokan Ana serasa kering. Berat sekali untuk menelan. “Peh ....” ujar Ana lembut. Alipeh menoleh lemah. Tembok bercat putih dan tirai pembatas menambah kesan muram. “Tadi sore kamu sehat. Kok sekarang kamu kek gini? Kamu takut setoran karena belum hafal ya?” Ana mencoba tersenyum, getir. Rasa sesal dan kesal berpadu menjadi satu. Kedua rasa itu semakin bercongkol di hati Ana. Rasa itu bergumul, membulatkan sebuah tekad baru. Tangan Ana meraih minyak kayu putih. Ia oleskan minyak itu ke tangan Alipeh. Tangan mungilnya yang kuat dan terlatih oleh permainan masa kecil, mulai memijat. Meski erangan terdengar dari mulut Alipeh, Ana terus-menerus memijatnya. Kini dia mengurut kaki sahabatnya itu. Mulai dari paha hingga ujung jempol. Kiri dan kanan. Semakin lama, pijatannya semakin menjadi. Tekanan tangan Ana mulai terasa seperti jepitan besi. “Ana pelan! Sakit tahu.” “Diem. Kamu tidur aja!” “Gimana mau tidur kalau pijatanmu keras banget.” “Tahan lah. Kan biar cepat sembuh.” Jempol Ana terus-menerus memijat tubuh Alipeh, terutama bagian antara jempol dengan telunjuk karena disitulah letak angin berada. Selain itu, ia juga mengurut bagian punggung. Jika kedua bagian itu dingin dan sedikit membengkak, berarti Alipeh positif masuk angin. “Eh kayaknya tadi aku denger kamu ngomong sama seorang laki-laki.” Alipeh mencoba berbicara. Ia ingin agar pikirannya tak berfokus pada rasa sakit pijatan Ana. “Oh tadi aku nggak sengaja mau nabrak Gus Fikri.” “Ih tabrak aja sekalian kenapa. Kan mayan bisa jatuh bareng terus tatap-tatapan terus jatuh cinta dong.” Air muka Ana mendadak berubah. Ia menekankan jarinya lebih keras ke tubuh Alipeh. “Ouch sakit tahu!” “Hehe. Makanya bilang jangan sembarangan.” “Lagian kamu beruntung banget sih. Aku aja yang pingin liat mukanya secara dekat aja kagak keturutan. Lah kamu malah bisa omong-omongan.” Ana terdiam. Ia malah terpikir akan lukisan yang dibawa gus itu. Kalau tidak salah ingat, tadi lukisan itu sempat terbentur tembok karena Gus Fikri juga mencoba untuk menghindari tabrakan. Apakah lukisan itu tidak kenapa-napa? tanya Ana dalam hati. “Ih An, kok diem sih.” “Keknya kamu udah baikan deh. Bicaranya aja mulai ngawur kaya biasanya. Udah ah, aku mau ke mushola. Udah adzan tuh.” “An, tunggu. Nggak ada yang nemenin aku di sini. Baru juga adzan. Nanti aja perginya pas qomat.” “Nggak. Kan ada Mba Devi yang akan ke sini ngecek kamu entar.” Bulu kuduk Alipeh seketika merinding mendengar nama yang disebutkan Ana. “Eh seriusan? Ya udah aku pura-pura tidur ah.” “Syafakillah, Peh!” Ana berjalan menuju kamar untuk mengambil mukena. Setelah yakin perlengkapan shalatnya sudah terbawa semua, gadis mungil itu berbalik arah menuju mushola. Jalan dari pondok putri ke mushola harus melewati lorong yang dekat dengan ruang tamu dalem. Biasanya kalau mendekati ikamah, lorong pasti ramai. Tapi karena sekarang azan baru saja selesai dikumandangkan, tidak ada orang sama sekali di sana. Dalam hatinya, Ana masih merisaukan terkait lukisan yang dibawa Gus Fikri tadi. Andai dia punya kesempatan untuk melihat ada kerusakan atau tidak di lukisan itu, Ana pasti jauh lebih tenang. Namun lagi-lagi, tanpa sengaja ia bertemu dengan Gus Fikri yang tengah berusaha menggantung lukisan menthok itu di dinding. Ana yang penasaran apakah ada kerusakan atau tidak di lukisan itu, perlahan mendekat. “Bagus ya?” tanya Gus Fikri tanpa mengalihkan pandangannya dari lukisan yang ia pajang. Ana berhenti sebentar. Matanya menjamah setiap campuran warna serta bentuk yang ada di lukisan. Lukisan itu sederhana saja. Di sana hanya tergambar itik yang tengah berenang bersama anak-anaknya. Figuranya indah nan kokoh. Kayu jati yang dipernis halus lengkap dengan ukiran dari Jepara, menambah kesan estetika lukisan itu. Pada sisi atasnya terukir halus lirik lagu Menthok-Menthok yang sarat akan sebuah arti lelaku manusia. “Inggih bagus Gus. Ternyata Gus juga suka filosofi Jawa seperti Romo Kyai, ya?” “Iya aku suka. Apalagi lukisan dan lagu di sampingnya mengisyaratkan agar terus bekerja keras mesti diejek.” “Inggih, Gus saya juga suka. Lewat lukisan dan lagu itu, orang Jawa zaman dahulu memberikan sindiran halus kepada orang pemalas.” Gus Fikri tersenyum. Mata Ana yang menangkap garis tipis mulut itu, sedikit terkesiap. Ia tak menyangka apa yang dikatakan teman-temannya benar. Ketika Gus Fikri tersenyum, bahkan lebah yang tadinya ingin mencari nektar mendadak berhenti karena menyadari senyum gus ini lebih manis dari apa pun. “Saya suka kamu ....” Ana yang tadinya hanya sedikit kaget, kini sempurna mematung. Pipinya terasa hangat. Mungkin kalau ada kaca, ia bisa melihat ada rona merah di kedua pipinya. “Fikri!” tiba-tiba suara bu nyai terdengar dari dalem. “Kita sambung percakapan kita lain kali, ya. Ada banyak hal di rumah yang membahas ajaran Jawa yang mungkin saja kamu tahu, sedang aku tidak tahu.” Gus Fikri berlalu. Sedangkan Ana masih terpaku melihat punggung kokoh gus itu. Otaknya masih menerka-nerka apa maksud perkataan Gus Fikri. Namun lama-kelamaan Ana malu sendiri memikirkannya. Ia pun menutup mukanya lalu lari menuju mushola. [1] Mengulang kembali hafalan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD