Satu ember air dituang begitu saja. Air itu beriak. Percikannya berkilauan tersinari mentari. Kerja bakti rutinan digalakkan. Satu dua santri terlihat masih menguap. Mata mereka merah, lelah menahan kantuk setelah semalaman bergulat dengan hafalan yang tak kunjung usai. Apesnya jika mereka kembali ke kamar dan tidur, para pengurus dengan wajah bengis siap berteriak lantang.
Pagi yang tak biasa kini terlihat di pesantren. Dengkuran pagi hari sirna begitu saja. Minggu pagi membuat pondok riuh dan gaduh. Berpuluh-puluh orang terlihat lalu lalang, sibuk membersihkan area pondok. Tua-muda, semuanya sama. Dengan mengharap barokah, mereka kompak bahu-membahu mengkilaukan lantai kembali. Tidak hanya lantai komplek, kamar mandi pun mereka sikat.
Kerja bakti diiringi lagu pun dimulai. Bagi santri-santri yang ikhlas, mereka enjoy-enjoy saja, tapi bagi mereka yang memang tak suka kerja, menganggap kerja ini adalah kerja rodi.
“Udah ngantuk, kegiatan full, disuruh kerja rodi pula. Ini pondok apa neraka?” keluh seorang santriwati. Bibirnya sibuk menguap.
“Biar dapat berkah Peh,” jawab Ana tenang.
Alipeh menggerutu. Tangannya meraih sebuah lidi untuk memungut kaos kaki yang menyumbat selokan. “Iuu, kotor-kotor gini kok berkah. Berkah dari mana coba?” alis Alipeh mengernyit.
“Ya dari sini lah.” Ana merebut kaos kaki itu dan mendekatkannya ke muka Alipeh.
“Ih Ana! Jijik!” Alipeh mengibas kaos kaki itu.
Seorang santriwati bernama Reni datang melintas tiba-tiba. Matanya yang awas langsung meghindar dari kaos kaki itu.
“Fiuh untung nggak ....”
Teng ... ngeng ... ngeng. Sebuah tiang jemuran berdenting ketika jidad Reni terbentur. Melihat itu Ana dan Ipeh tertawa.
“Bukannya bantuin malah diketawain, huh dasar,” ketus Reni.
“Soalnya tertawa di atas penderitaanmu itu nikmat, Ren,” cetus Alipeh.
Selang beberapa saat, Ana dan Alipeh membantu Reni berdiri.
“Apes-apes. Udah jatuh diketawain pula. Lagian tuh kaos kaki bukannya dibuang malah buat mainan.”
“Eit jangan salahkan aku! Kalau mau nyalahin, salahin si Ipeh. Gara-gara dia nggak percaya sama berkah, kaos kaki itu jadi terbang deh.”
“Eh main nyalahin aja kayak nenek lampir. Keriput kayak dia baru tahu rasa kamu An.”
“Mana ada nenek lampir secantik aku, percaya berkah lagi.”
“Berkah kan sama artinya dengan memberi manfaat, An. Lah kamu bukannya memberi manfaat kepada aku, malah memberi kesialan. Nih, gara-gara kamu bajuku setengah basah, kan.” Reni mengibas-ngibaskan bagian belakangnya yang terkena air.
Ana menepuk jidadnya, “Ini lagi orang. Namanya juga kerja bakti ya harus kotor lah Ren.”
“Awas air bah datang!” teriak seorang santriwati dari lantai dua.
Ana, Reni, dan Alipeh berbalik lalu menjauh. Air bekas pel mengalir begitu saja. Air yang bercampur dengan berjuta debu dan kotoran mengalir menuruni tangga.
“Hei, ngapain kalian bengong, ha!” bentak seorang pengurus dari atas. “Cepet bersihin kamar mandi di belakang!”
Tanpa diperintah dua kali, Ana dan dua orang temannya masuk ke kamar mandi.
“Ih nyebelin banget. Gara-gara kamu, Mba Devil nglabrak kita, kan?” tandas Ipeh.
“Bukan Mba Devil Peh, tapi Mba-De-vi,” tukas Reni.
“Iya, Devi kalau dia baik, Devil kalau dia galak. Lagian dia kan galak, jadi pantesnya Devil dong.”
“Heh, Peh, kalau Mba Devi denger, kamu pasti bakalan di ....”
“Nggak usah repot-repot An, Mba udah denger kok,” potong seseorang.
Ipeh menelan ludah. Sedikit demi sedikit ia berbalik, ragu-ragu memastikan kalau pendengarannya tak salah. Terlihat di matanya, seorang pengurus yang senantiasa ia ghibah.
“Eh Mba Devi!” sapa Ipeh kikuk.
Pengurus bagian keamanan itu berkacak pinggang. Matanya memincing, sarat akan kekejaman. Tatapan dingin nan liciknya tak membiarkan Ipeh lepas. Bibirnya mengembangkan senyuman sinis, sungguh menakutkan.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari Ipeh, Mba Devi memberikan instruksi.
“Ana, Reni, kalian bersihkan kamar mandi di samping. Sementara kau Peh, bersihin kamar mandi ini sen-di-ri-an!” tegasnya.
Ana dan Reni melangkah pergi. Mereka menggigit bibir, menahan tawa agar tak kena hukuman juga. Di ambang pintu, kedua gadis itu melambaikan tangan ke Ipeh. Hitung-hitung untuk menambah kekesalan yang ia rasakan.
“Mampus kau, Peh!” batin mereka.
Selang beberapa waktu, Mba Devi pun turut pergi.
“Huh dasar Devil,” gerutu Ipeh seraya menyikat lantai.
***
Lembayung senja perlahan menyemai bibitnya. Acara roan telah lama usai. Kini saatnya bagi para santri untuk menghafal sembari menikmati cahaya orange yang berbaur di atas rerimbunan pohon. Iringan dawai angin turut menambah benih ketenangan sore itu. Embusannya sungguh melengkapi simfoni alam yang ada. Permai nan damai.
Di senja yang teramat manis ini, para santri berlomba-lomba menghafalkan kitab suci. Masing-masing menempati tempat sakralnya sendiri-sendiri. Ada yang hafalan di pojok kamar, atas genteng, bawah jemuran, atas pohon, bahkan di atas lemari baju. Meski demikian, rata-rata santri mencari tempat di mana cahaya mentari bernaung. Tempat di mana angin sepoi-sepoi bisa menerpa. Tempat di mana sejuk angin senja berembus.
Tapi bagi Ana, hafalan di manapun sama aja. Asal hatinya tenang dan mantap karena Allah, ia akan bisa menghafal dengan baik. Kurang lebih begitulah yang dikatakan oleh gurunya.
“Ana!!!” seseorang berteriak geram.
“Dalem ....” jawab Ana kalem.
“Kamu tega banget sih, main ninggalin aku di kamar mandi segala.”
“Siapa suruh ngejek Mba Devil eh Mba Devi. Aku ninggalin kamu tuh, itung-itung buat ngobatin penyakit OCD-mu, Peh.”
“Ya nggak segitunya kali, belain kek. Kamu kan tahu sendiri, gara-gara penyakit OCD ini, aku nggak bisa lihat barang kotor, bawaannya bersihin mulu.”
Ana menahan tawanya. “Ya malah bagus dong. Nah ... nanti, kalau-kalau OCD-mu kumat, tinggal bilang aku aja. Akan kukurung kamu di kamar kita. Biar kamar kita juga jadi rapi dan bersih.”
“Ish, nyesel aku kenal sama kamu.”
“Bodo amat. Mending kamu menyingkir gih! Aku mau hafalan. Hush-hush!”
Ana mulai menata hati. Ia benamkan pikirannya untuk mengulang hafalan. Momen ini lebih penting daripada memperdulikan makhluk tidak jelas di sampingnya yang terus-terusan menceracau.
“Iih, bisa diem nggak sih! Nggak konsen nih!” Ana semakin kesal.
“Hih, andai yayangku di sini, dia pasti mau dengerin aku, nggak kayak kamu, wuu! Eh iya, Ana kan nggak punya yayang. Mana tahu rasanya kalau di setiap malam ada yang dengerin. Terus kalau kita sedih ada yang nenangin. Dan ...”
Perlahan ucapan Alipeh tentang pacar khayalannya membuat Ana terdiam. Kata-kata Alipeh membuatnya teringat akannya. Selama ini dia selalu menunggu dan menunggu. Kadang, ketika malam menyapa, gadis mungil itu sering kali bertanya kepada bulan bagaimana kabarnya. Kang santri itu yang menyuruh Ana untuk menjemput impiannya sebelum ia dijemput kembali olehnya. Tapi kenapa sampai sekarang dia menghilang?
Pikiran Ana mengawang, menjelajahi titik di mana kesedihan kian merengkuhnya. Waktu itu, waktu pertama kali Ana berada di pondok ini.
***
“Kok nggak ada kabar ya?” batin Ana berkecamuk.
Setiap hari. Setiap senja mulai menuai rasa, Ana mematung di depan kantor pondok. Menunggu sesuatu yang sangat diharapkannya. Sesuatu yang bisa membuatnya tahu dia sedang apa sekarang. Hanya satu yang ia tunggu. Kabar. Meskipun itu hanya sebuah salam.
Bukan hanya hari ini Ana menunggu. Setiap hari, setiap senja, mulai dari sehabis salat asar sampai mentari tenggelam, dia tetap menunggu. Hanya senjalah harapannya, karena selain waktu senja, tiada kabar yang boleh disampaikan. Pesantren memilliki aturannya sendiri. Pagi sampai zuhur adalah waktu untuk hafalan. Maghrib sampai isya dipergunakan untuk mengulang kembali hafalan yang lama serta menyetor hafalan yang baru. Karena itulah senja menjadi satu-satunya waktu luang, di mana keluarga bisa menghubungi pesantren untuk menanyakan kabar anaknya.
Namun semenjak Ana pindah di pesantren ini, kang santri itu sama sekali tak pernah menghubunginya. Padahal ia pindah ke sini karena dia. Karena keinginan seorang pemuda bernama Panji, Ana mengiyakan berpindah di pondok tahfiz ini dan meninggalkan seluruh kenangan manisnya di pondok yang dulu. Tapi kenapa dia justru sekarang menghilang? Kehadirannya bak air yang direnggut bumi. Begitu sejuk di awal, namun selalu berakhir gersang.
“Mengapa kamu setega ini Kang?” lirih Ana.
Segelintir air mata mengalir, menitik di jilbab putih Ana. Inginnya mengeluh, tapi tak elok. Inginnya menjerit, tapi tak mungkin. Inginnya menyerah dan berlari melabrak Panji, namun penjara suci menghalangi.
“Kenapa Kang, kenapa?” batinnya kian buncah.
Ana tak tahan lagi menunggu. Baginya lagu Aishiteru itu memang benar adanya. Menunggu memang sesuatu yang menyebalkan lagi menyakitkan.
Air mata kekecewaan menetes semakin deras. Ana tak kuat lagi menahannya. Ia pun lari dari kantor pesantren menuju sebuah balkon. Di sana, di balkon yang menjorok menghadap sawah, ia leburkan semua kekesalan. Balkon di emper sawah menjadi lelabuhan hatinya. Hanya di sana, semburat mega merah senantiasa menemaninya hingga ia tenang kembali. Dengan ditemani mushaf Al-Qur’an yang ia taruh di pembatas balkon, Ana berdiam diri.
“Bismillahirohmanirohim...”
Bibir Ana gemetar. Ia mencoba membendung sedihnya dengan Al-Qur’an. Berulang kali Ana mengulang-ngulang hafalannya. Jiwanya menunduk takzim, ingat akan kuasa Allah. Sedikit demi sedikit ia menjadi tenang. Sadar bahwa dirinya di sini bukan semata-mata karena Panji. Ana di sini untuk mentuntaskan misi sucinya, meraih gelar hafizah.
Sejenak pandangan Ana teralihkan oleh katak yang mengorek di atas teratai. Bola matanya membulat kala melihat bunga dengan satu daun itu. Kelopak merah jambu yang tersiram siluet senja membuatnya terpaku. Teratai hijau yang menjadi tumpuan si katak, tampak sangat kokoh. Padahal di dalam teratai itu tersimpan beribu akar yang saling menyilang. Rumit.
Sawah yang dimiliki pesantren ini memegang ekosistem sempurna. Air tenang yang memantulkan bongkah cahaya matahari diselingi oleh baris padi, sungguh menakjubkan. Oleh karenanya, Ana menjadikan balkon dekat emper sawah ini sebagai markas hafalannya.
Ana mengusap air matanya. Ia mulai menyadari ada pelajaran tersimpan di balik teratai.
Tak sengaja sikunya menyenggol mushaf Al-Qur’annya. Al-Qur’an itu pun jatuh tepat di pematang sawah. Tak berpikir lama, Ana pun bergegas menuju gerbang untuk mengambil mushafnya. Ia berlari kecil menesuluri pematang sawah. Gadis itu harus cepat sebelum Mba Devil mengetahuinya. Kalau ketahuan bisa-bisa ia dianggap mencoba kabur dan mendapat hukuman.
Ketika Ana tiba, pandangannya terhenti pada sesosok petani. Tubuh kekar yang dibalut dengan kain putih lusuh itu amat giat bekerja. Tak peduli dengan lingkar mentari yang hanya tinggal separuh, petani bercaping itu tetap menuntaskan pekerjaannya. Hanya ketika tarhim berkumandang, gerakannya terhenti. Tak sengaja petani itu menatap Ana. Yang ditatap pun salah tingkah dan buru-buru mengambil mushafnya.
“Sawah ini milik pesantren, apa mungkin dia juga seorang santri?” gumam Ana.
Petani itu menyudahi pekerjaanya. Ia berjalan santai masuk ke pondok. Pandangannya lurus, sama sekali tak melirik Ana walau sedetik.
Ketika langkah petani itu berbelok menuju pondok putra, Ana membatin,
“Ternyata benar, dia adalah santri. Hem ... menarik.”
Perlahan petani itu berpaling, memastikan santriwati yang sejenak dilihatnya telah beranjak ke pesantren. Selarik senyuman tipis mampir di bibirnya kala melihat Ana tengah mengawasinya.
***
“An ... An, yey malah ngelamun.
“Ada yang menghubungi aku atau nggak kek, bodo amat. Yang penting aku mau hafalan. Pertanyaan lebih lanjut bisa ditanyakan besok. Sekian dan terima kasih.”
“Tapi An ....”
“A’udzubillahhiminasysyaithonirrojim ....” potong Ana.
“An!”
“Bismillahirohmanirohim ....” Ana semakin mengeraskan suaranya.
“Ish.” Alipeh pun menyerah dan memilih diam.
Tak lama ia pun pergi. Meninggalkan Ana dengan segala kesunyian.