Episode 8 Kontrak Jodoh

1343 Words
POV Aswin “Hallo…” “Hallo… Selamat siang dengan Yukaitukadieu.id ada yang bisa dibantu?” Aswin menimpal sebuah suara disebrang telinganya. “Saya bisa bicara dengan manager, atau ketua, atau direktur, atau siapa saja yang bertanggung jawab atas Yukaitukadieu.id,” terdengar suara paruh baya yang lembut dan terdengar sangat berwibawa. “Kebetulan dengan saya sendiri Bapak, perkenalkan saya Aswin Ganjar, pemilik platform Yukaitukadieu.id, direktur dan managernya juga. Pak, ada yang bisa saya bantu?” Aswin bertanya sekali lagi. Aswin tak bisa menahan tawanya, tapi ia tahan juga. Bagaimana bisa ia bilang bahwa ia adalah direktur, manager dan pemilik Yukaitukamana.id, padahal memang Yukaitukadieu.id diurus oleh mereka bertiga aja. Kalau mereka muncak, berarti gak ada orang yang menggati urusan itu. “Bisa kita bertemu? Saya ingin bekerja sama dengan perusahaan anda kalau bisa,” jelasnya tanpa basa basi. “Wah bagai mangga turun dari langit ada perusahaan yang ingin bekerja sama dengan perusahaan saya yang baru beranjak balita ini. Dan saya sedang tidak mengajukan proposal ke perusahaan manapun untuk bekerja sama. Tentu saya sangat senang sekali.” Aswin menanggapi dengan serius dan tidak. Ia tidak percaya tiba-tiba ada yang ingin bekerja sama, namun ia juga sedikit percaya karena nada lawan bicaranya cukup meyakinkan. “Kapan saya bisa bertemu dengan saudara?” tanya suara paruh baya lagi diseberang sana. “Bebas pak, saya pengangguran, jadi bertemu sekarang, nanti besok lusa juga saya bisa hehehe,” tetap, Aswin menjawab dengan nada bercanda. Padahal yang menelpon adalah bisa jadi seorang investor yang akan membawa perubahan pada usahanya. “Kalau begitu nanti sore bisa?” “Tentu bisa bapak, tepatnya dimana dan jam berapa?” “Kalau saya langsung datang ke kantor saudara bisa?” “Bisa Bapak, itu memudahkan saya supaya tidak keluar ongkos banyak hehehe.” Aswin berkata apa adanya. “Baiklah kalau begitu, nanti sore saya akan datang ke kantor saudara, tolong kirimkan alamatnya.” “Siap bapak, setelah telpon ini berakhir, saya jamin saya kirim alamat perusahaan saya.” “Baik, saya tunggu.” “Oh iya, maaf bapak, dengan bapak siapa? Biar saya nanti menyimpan dan menyambut bapak di sini dengan baik.” “Oh iya, hampir saya lupa tidak memperkenalkan diri, saya Roni Rumpaka.” Percakapan diantara merekapun berakhir. Aswin segera mengirim alamat pertemuan keduanya. Waktu terasa berjalan dengan sangat cepat dengan kekuatan bernama kesibukan. Aswin sudah menunggu dengan rapi versi dirinya. Kaos bergambar gunung, celanan jins tidak bolong-bolong, sandal jepit, jam tangan mahal kesayangannya pun tak pernah luput untuk dibawa kemana pun ia melangkah. Dengan secangkir kopi hitam, sebatang rokok yang ia nyalakan dan suara gemercik air mancur disisi kanan tempat duduknya saat ini, matanya siaga memerhatikan setiap orang yang datang. Tak lama ia melihat seorang laki-laki paruh baya mendekatinya. Setelan jas hitam dan celana dengan warna senada, kameja biru yang sudah terbuka kancing teratasnya karena kegerahan, dasi yang masih rapi, serta satu tas jinjing khas orang kantoran, sangat terlihat jelas kalau seorang paruh baya ini baru pulang bekerja. “Permisi, assalamuallaikum, dengan nak Aswin?” nada ramahnya seorang paruh baya ini menyapa Aswin. Pirikan Aswin langsung masuk ke ruang dimensi yang lain yaitu kerinduan pada ayahnya. Ayahnya yang ramah namun tegas pada anak-anaknya, namun sudah tiada. “Nak… nak Aswin,” paruh baya tersebut menyadarkan kebisuan yang tiba-tiba menyerang tubuh Aswin. Setelah sadar ia segera menyimpan rokoknya pada asbak di samping kopi hitamnya. “Oh iya benar. Maaf-maaf saya jadi teringat ayah saya melihat bapak.” Aswin berdiri ramah, “Dengan bapak Roni ya?” ia bertanya memastikan. “Perkenalkan saya Roni Rumpaka,” ia menyodorkan tangannya lebih dulu, sangat ramah. Aswin menjabat tangan hangat itu hangat, bak listrik yang menyengat pada tubuhnya, ia merasa ada kehangatan dan kelembutan dalam tangan itu. “Silakan duduk bapak.” “Kantor yang sangat nyaman sekali, bersambung dengan kafe, cukup mewah karena ada kolam kecil yang menambah ketenangan disini.” Puji Roni. “Maaf pak, ini bukan kantor saya.” Aswin mengangkat tangannya dan menyimpan dihadapan dadanya menandakan ini benar-benar bukan miliknya. “Bukanya tadi saya meminta kantor Anda?” tanya Roni sedikit menyindir, namun tetap dengan sneyum ramahnya. “Terlalu malu pak kalau bapak saya bawa ke kantor saya, kotor, berantakan dan banyak orang, saya tidak akan fokus membicarakan hal yang serius dengan bapak.” Jelas Aswin. “Baiklah saya paham, saya ingin melihat kantornya langsung kan memang saya ingin bekerja sama dengan saudara,” “Ya anggap saja ini kantor saya pak, biar bapak juga leluasa hahahaha…” Aswin tertawa ramah mencairkan suasana. Roni memerhatikan penampilan Aswin yang sederhana, bersih, meski tidak rapi. Namun ramah pada orang tua. “Saya tahu platform saudara dari anak saya yang akan ikut trip ke Argopuro, saya ingin sedikit bekerja sama untuk menjaga anak saya selama perjalanan, jangan sampai terjadi apa-apa pada anak saya. Jangan biarkan dia bawa tas yang berat, kalau memang cape istirahatlah, jangan terburu-buru. Dan saya akan bayar berapapun yang saudara minta kalau memang hasilnya saya puas. Itu yang ingin saya kolaborasikan.” Jelas Roni cukup panjang lebar. “Sama dengan bapak, saya sendiri tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi saya pastikan anak bapak baik-baik saja.” Aswin meyakinkan. “Dan satu lagi,” “Apa tuh?” “Apakah saudara sudah menikah atau belum?” Deg… Hati Aswin bergetar ditodong pertanyaan seperti itu. Ia tidak tahu arah pembicaraan ini menuju kemana. “Belum bapak, saya masih single dan perjaka ting-ting hahaha… ada apa bapak menanyakan status seperti ini, saya jadi geer hahaha, jangan katakan bahwa bapak juga ingin bekerjasama mencarikan jodoh untuk anak bapak,” ia tertawa menyembunyikan ketegangan dari pertanyaan sebelumnya. “Hahaha…” mereke tertawa bersama. “Memang betul, rencana saya begitu hahaha.” Roni tertawa lagi. “Wah serius bapak? Kasihan sekai anak bapak sampai-sampai harus dicarikan jodoh.” “Nak Aswin apakah bersedia menjadi calon jodoh untuk anak saya?” tanpa basa-basi lagi Roni mengatakan maksud lainnya. “Hahaha… semakin menarik saja tawaran bapak.” Aswin tidak menanggapi dengan serius. “Saya serius nak Aswin.” Roni merubah posisi duduknya, menggenggam tangannya sendiri lalu menyondongkan dadanya ke meja, neyimpan tangan diatas meja. “Anak saya baru saja patah hati, dan beberapa kali mengalami hal yang sama, saya cape dengan kegalauan dan sakit hati yang dia rasakan, dan obat yang paling manjur untuk patah hati adalah ya dengan hati lagi. Jadi saya serius menawari anda untuk dijodohkan dengan anak saya,” ucap Roni serius. Aswin melakukan gerakan yang sama dengan Roni, ia menyondongkan wajahnya ke Roni. Lalu dengan pelan ia berkata, “Apa bapak yakin dengan saya? Saya ini laki-laki pengangguran, apakah bapak yakin saya tidak akan menyakiti hati anak bapak lagi? Karena kita baru kenal, bapak belum tahu bibit, bebet, bobot dan babat saya. Bagaimana bapak bisa percaya dengan saya?” suaranya pelan dan lirih. “Saya juga belum yakin dengan bibit, bebet, bobot dan babat saudara, kalau saudara bersedia, perbaiki bibit, bebet, bobot dan babat yang kurang baik dari saudara.” Roni menatap dengan serius. “Ya elah pak, bagaimana bisa kita memperbaiki masa lalu atau sebuah keluarga yang terlanjur gak baik bibit, bebet, bobot dan babatnya?” Aswin menyenderkan punggungnya, lalu menyulut kembali rokok yang diabaikan sebelumnya. “Ada! Jika kita memang ada kemauan.” “Tidak semudah itu pak mencintai orang yang dijodohkan. Saya belum pernah melakukannya.” Aswin ragu. “Yah… itu kan tawaran dari saya. Kalau kamu berhasil menjaga anak saya selama perjalanan, berarti kamu berhasil. Mudah bukan untuk mencintai?” Aswin menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan pemikiran yang dimiliki oleh Roni. Mudah katanya. Namun akhirnya Aswin menyetujui kontrak perjodohan yang ditawarkan Roni. Mungkin ia juga bisa menyembuhkan patah hati yang berkepanjangan yang dideritanya. Mereka menandatangani sebuah surat perjanjian yang dibuat Roni. Aswin membacanya dengan serius, dan membubuhkan tanda tangan tepat di atas namanya, dan keduanya berjabat tangan. “Jadilah menantu idaman yang membahagiakan kami semua, dan diri kamu juga bahagia,” ungkap Roni mengungkap sebuah harapan. “Tentu, tentu bapak Roni, saya akan mencobanya.” Aswin menampakkan seringan senyum, rasa hangat menerpa hatinya. Ia tidak tahu mengapa ia pun merasakan kebahagiaan yang berbeda untuk sebuah perjanjian aneh ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD