Episode 1 Kenyataan Pahit

1228 Words
“Dari dulu memang ibu gak pernah restuin kamu dengan Farel, dia itu laki-laki yang tidak benar. Berhadap apa kamu dari dia?” Ibu mengomel puas pada Nazhera setelah mengetahui kalau kekasihnya, Farel telah menikah dengan Inda yang hamil diluar nikah. “Nih lihat, surat undangan pernikahan.” Ibu menekan kata pernikahan dihadapan Nazhera, puas dengan kenyataan yang tak seindah putrinya bayangkan. “Untung kamu belum nikah sama si Farel itu, kalau sudah mungkin sebentar lagi kamu akan jadi janda. Ibu gak habis pikir, punya apa sih Farel itu sampe kamu susah banget buat putus sama dia,” amarah ibu masih menggebu. Berdiri mondar-mandir di depan sang putri yang tertunduk merasa bersalah. Amarah sang ibu sudah ia pendam sejak lama, namun entah mengapa, setiap kali ia memberikan nasihat pada sang putri seperti masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, bahkan terkadang tidak masuk dan memantul begitu saja. Hingga akhirnya ia pilih untuk diam dan menunggu waktu sang putri menyesal karena tak mendengar nasihatnya. “Ternyata harus dengan cara menyakitkan seperti ini kamu tahu Zhera, kalau memang Farel itu bukanlah laki-laki benar-benar bisa jadi imam kamu, yang bisa bikin kamu bahagia, dan bisa bawa kamu ke arah yang baik. Sekarang kamu sudah tahu ‘kan bagaimana busuknya pacar kamu itu. Jadi jangan pikirkan dia lagi, sudah, lupakan saja,” tutup sang ibu memberi ultimatum pada sang putri kesayangannya. “Dan satu lagi, sekarang kamu siap-siapkan diri menikah dengan laki-laki pilihan ayah kamu, yang sudah pasti terbaik dan akan membawa kamu kea rah yang baik, bahagia dunia akhirat,” tambahnya membuat Nazhera satu langkah mundur terpuruk. Tak sedikitpun Nazhera membalas amarah ibunya, ia sadar dengan kenyataan bahwa Farel bukanlah laki-laki yang bisa diharapkan. Bahkan kesadaran itu baru muncul sekarang, setelah ia menerima sebuah surat undangan pernikahan dan ceramah panjang lebar dari sang ibu. Ia melihat langit-langit kamarnya, “Farel, nikah dengan Inda,” bibirnya tersungging, menyedihkan sekali kisah akhir dari percintaan Nazhera dengan Farel. “Apa benar kenyataan ini?” Tawanya melebar, ia tak percaya. “Hamil?” Dia tertawa, “Hahaha…” tertawa menertawakan kisah cintanya sendiri. “Gak mungkin. Ini pasti hanya lelucon,” seketika kesadaran Zhera hilang, “Farel tak mungkin melakukan itu.” Ia masih mencari pembenaran Farel dalam pikirannya. “Ini pasti salah,” ia mengambil telpon genggamnya, masih dengan layar ia dengan Farel, dengan latar belakang kebun teh. Ketika itu mereka merayakan hari jadi mereka yang ke seribu. Mereka memang sudah berencana pergi berdua ke puncak, mencari hawa segar dan menyejukan mata. “Kamu janji gak akan pernah ninggalin aku ya Rel,” ungkap Nazhera dengan penuh harapan. “Kamu juga janji akan terus percaya sama aku ya Nazhera,” mereka saling mengikat janji. Keduanya saling menganggukkan kepala dan menautkan kelingking. Tidak sampai malam hari, bersamaan mereka berakhir dengan tenggelamnya mentari senja. Hingga malam baru memunculkan gelapnya, mereka telah sampai diperistirahatan masing-masing. “Hati-hati ya pulangnya sayang.” Nazhera melambaikan tangannya sesaat setelah Farel pergi mengantarkan sampai di depan rumah. Senyumnya tak surut, bahkan hingga malam tiba dan senyum Nazhera masih sama. “Kamu senyum-senyum terus dari tadi, di kasih apa kamu sama Farel?” tanya sang ibu yang menyambut dirinya diambang pintu. “Engga di kasih apa-apa, kita jalan biasa aja bu, gak kemana-mana, gak ngapa-ngapain.” Nazhera menjelaskan. “Baru segitu aja senyumnya udah kaya orang gila, hati-hati loh, nanti jadi gila beneran,” ucapan sang ibu sebentar yang lagi menjadi kenyataan. Dan hampir menjadi kenyataan. Malam ini ia hampir benar-benar hampir gila. Di kamarnya ia tersenyum sendiri, lalu tiba-tiba marah sendiri, melempar bantal guling, atau benda aman disekitarnya, menumpahkan amarahnya. Bantalnya kembali diambil, lalu tersenyum lagi, namun ketika melihat surat undangan yang diberikan sang ibu, amarah itu pun kembali menguar. “Argh,” ia prustrasi. Tuts… tuts… Akhirnya ia memberanikan diri untuk menanyakan hal sebenarnya, sebuah penjelasan dari Farel langsung. “Halo…” Semua kata yang ingin ia keluarkan seketika hilang. Ia membisu. Mematung tak menyangka dengan suara yang ia dengar. “Halo… siapa ini?” Sekali lagi suara menyeramkan itu terdengar. “Siapa sayang?” Tumpahlah air mata Nazhera setelah mendengar suara barinton yang biasa ia dengar. “Gak tau, nih, kamu aja yang biacara.” “Sudah matikan saja telponnya,” masih terdengar percakapan antara laki-laki dan perempuan itu. Nazhera melempar benda yang kini berubah panas, mengikuti hawa panas sang pemilik nomor telepon yang ia dial. Panas dan menyakitkan. Kini terasa lebih nyata dari pada surat undangan yang ia dibawa. “Siapa itu?” Matanya semakin terbuka, “Itu bukan suara Inda,” ia yakin. Ia mengenal Inda, walau tidak dekat, Inda adalah teman sekolahnya. Tapi, suara barusan bukanlah suara Inda, tidak mungkin ada perempuan lain selain Inda. “Mungkinkah bukan hanya aku korbannya disini?” Senyumnya tersungging, miris. “Tiga tahun, apakah itu tidak cukup aku mengenal kamu Rel?” Nazhera memejamkan matanya. Sampai tengah malam ia masih belum bisa menutup matanya rapat-rapat. Bagaimana tidak, tiga tahun menjalani sebuah hubungan serius, komunikasi dengan baik, bahkan terbilang sangat lancar, intensitas pertemuan juga sering, tetapi Farel masih bisa memadu kasih dengan perempuan lain. Bahkan sampai hamil, dan sekarang bahkan dengan perempuan yang lainnya. “Bagaimana bisa kamu seperti itu Farel?” kepalanya penuh dengan tanda tanya. Tring… Suara pesan pada handphonenya berbunyi. Farel : Ra. “Buat apa orang ini mengirim pesan malam-malam seperti ini, mau pamer kalau dia sedang…” ia berhenti berprasangka. “Malam pertama? Tidak mungkin, mereka baru akan menikah satu minggu lagi,” ia kembali tertawa . “Tapi tadi bukan suara Inda” pikiran Nazhera masih kemana-kemana. Ia coba membalas pesan itu. Nazhera : Iya Ia pun tak sabar ingin membalas pesan, padahal jelas, perasaannya kini sedang kacau balau. Farel : Kamu belum tidur? Nazhera : Belum Farel : Aku boleh telpon kamu? “Hah…” Nazhera membulatkan matanya, ia berpikir keras, “Nelpon? Bukanya dia tadi sedang bersama perempuan? Dipanggil sayang pula, terus sekarang kamu mau apa nelpon aku?” Ia masih menerka dengan apa yang terjadi, memaki layar datar di hadapannya, “tapi apa yang kamu mau bilang ke aku Rel?” Kring… Tanpa persetujuan dering panggilan masuk, dari Farel. “Buat apa kamu nelpon?” Nazhera kembali memaki, menunjuk-nunjuk layar datar yang tak berdosa itu. Kring… “Hallo,” akhirnya diangkat juga. Nazhera diam tak berniat mengklarifikasi apapun, walau sejak tadi tak dapat memejamkan mata karena pertanyaannya sendiri pada Farel. “Mungkin kamu dengar di sana, maafkan aku Zhera. Iya itu Inda dan aku,” suara Farel terdengar datar dan tertekan seperti menyesal. Farel seolah mengerti perasaan Nazhera saat ini, seolah Farel tahu pertanyaan-pertanyaan yang ada dibenak Zhera. Nazhera yang mendengar itu tak kuasa menitikan air mata. Bagaimana mungkin selama tiga tahun ini mereka selalu bersama. Bagaimana mungkin itu terjadi. “Lalu bagaimana dengan perempuan yang tadi aku dengan dan kamu panggil sayang? Siapa lagi dia?” Nazhera tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Ia diam membisu mendengar pengakuan Farel secara langsung. Akhirnya Nazhera mematikan panggilan, tidak sanggup mendengar hal lainnya dari Farel. Biarkan saja mereka hidup bersama. Amarahnya masih memuncak, bantal dan guling menjadi sasarannya. Menangis dan berteriak keras ditutup dengan bantal. Kesadarannya masih ada ternyata. Dengan pikiran tidak ingin menggangu tidur orang tuanya, dia berteriak keras pada bantal dihadapannya. Cape dengan perasaan dan amarahnya ia pun tertidur. Tidur selalu meringankan beban, beban diri karena lelah dengan kehidupan, beban hati karena lelah dengan kenyataan. “Semoga esok lebih baik,” doa Nazhera.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD