2.BUTUH PEKERJAAN

1027 Words
Besok harinya, di pagi yang cerah telah diterangi matahari yang terik. Hasbiya telah bersiap untuk melamar pekerjaan, ia mencari berkeliling Jakarta. Tapi ternyata sia-sia usahanya. Sepertinya sulit menerima seorang wanita berhijab apalagi menyandang status janda. "Ya Tuhan.. Kenapa sulit sekali mencari pekerjaan di Jakarta. Bagaimana bisa aku membayar hutang Mas Danu." Hasbiya beristirahat dihalte bus dengan rasa lelahnya. Huft.. lelah, secucuran keringat menetes dikeningnya perempuan ini. Hasbiya pun mengeluarkan kartu nama yang diberikan pada Arvi. Ia termangu menatap kartu nama itu, mungkin hanya ini pilihannya. Daripada harus menikah dengan buaya darat tua. Hasbiya pun kembali melangkahkan kakinya dengan bijak. Ia menunggu sebuah bus untuk kekantor tersebut. Tak beberapa lama menunggu akhirnya Hasbiya mendapatkan bus menuju kantor Arvi. Dalam lima puluh menit, perempuan itu telah sampai digedung tinggi. Hasbiya terpanah menatap kantor besar ini. "Wah.. ini besar sekali. Pasti gajinya juga besar." Ucap Hasbiya menatap kagum pada isi gedung besar tersebut. "Mba, maaf saya ingin bertemu tuan Arvino." Tanya Hasbiya pada karyawan wanita yang berada di lobby. "Apa mba Hasbiya." Tanya Anisa. Anisa adalah karyawan yang sudah hampir tiga tahun bekerja dengan Arvino. Dulunya Anisa adalah sahabat Lintang namun suatu perselisihan hubungan mereka menjauh, Namun Anisa tetap setia bekerja tempat Arvino. Hasbiya mengangguk tegas. "Iya saya Hasbiya." "Oh.. tentu. Pak Arvi telah menunggu." Ujar Anisa. Anisa beranjak mengantar Hasbiya diruangan Arvino yang berada di lantai tiga. Perusahaan yang terdiri empat lantai tersebut. Membuat Hasbiya semakin tak sabar bekerja disini. "Mba, udah lama kerja disini." Tanya Hasbiya yang telah berada di lift. "Iya, sudah. Jangan panggil 'mba', panggil aja Anisa. Lagi pula sepertinya kita seumuran." Ujar ramah Anisa. Hasbiya tersenyum, jika ia bekerja disini. Pasti Anisa akan menjadi teman baiknya. Wanita yang begitu ramah. "Oh.. tidak apa." Seru Hasbiya. "Jangan sungkan. Disini tidak memandang anak lama atau baru. Semua sama dimata Pak Arvino." "Berarti tuan itu baik ya." "Ya begitulah kira-kira." "Tuan Arvi cari istri ya." Celetuk Hasbiya membuat anisa melotot. Ya.. tentu, lantaran Anisa tau jika Arvino telah memiliki istri yaitu Lintang. "Kenapa mba, ada yang salah dari ucapan saya." Sepertinya Hasbiya tidak berhenti mengoceh. Ia terus berbicara tanpa henti, bahkan Anisa terkekeh dengan mulut Hasbiya yang terdengar cerewet. "Hasbiya, ini ruangan Pak Arvino. Masuk aja, Good Luck." Kata Anisa lalu pergi meninggalkan kedua orang tersebut. Tok.. Tok.. Tok.. Hasbiya mengetuk pintu ruangan itu. Ia membuka pintu setelah mendapat jawaban didalam sana. "Masuk." Terdengar sahutan dark Arvi. Dengan langkah percaya diri Hasbiya memasuki ruangan Arvi. Tak lupa perempuan itu meluncurkan senyum lebarnya. "Hasbiya, duduklah." Ucap Arvi dengan tegas. "Terima kasih, Tuan." Ujar Hasbiya. Arvi bersender di kursi jabatannya, seraya kedua tangannya berlipat didada gagahnya. "Tuan, saya ingin melamar pekerjaan. Apa saja, yang terpenting halal." Hasbiya berkicau dengan suara lembutnya. "Baik, pilih saja bagian apa yang kau inginkan." Seru Arvi. "Hah." Mengeryit dahi Hasbiya seraya menggigit bibir bagian bawahnya. "Tuan, anda bosnya. Anda yang menentukan." Hasbiya berucap sekali lagi. Arvi tersenyum tipis bangkit dari duduknya, ia menatap luar jendela membelakangi Hasbiya. "Hasbiya kau tinggal katakan posisi apa yang kau inginkan." "Tuan, saya terserah tuan saja. Posisi apa pun itu saya terima." "Baiklah, kalau begitu untuk sementara waktu kau bisa jadi sekretarisku. Kebetulan sekretarisku cuti melahirkan untuk tiga bulan." "Besok kau bisa mulai bekerja." Pinta Arvi masih dalam posisi yang sama. Hasbiya merekah senyum terbaiknya. "Ah.. sungguh, tuan." Hasbiya berdesah bahagia. Arvi berbalik menoleh. "Hasbiya, aku punya tawaran yang menarik. Berapa pun aku akan berikan." Pria itu berusaha ingin mengatakan maksud hatinya. Tak perduli dengan apa yang Hasbiya anggap setelah ini tentangnya. "Boleh aku bicara." "Tentu, tuan. Ini perusahaan anda." Lirih Hasbiya. "Hasbiya, aku ingin menikah denganku." Kontan Arvi menatap seksama pada wanita itu yang mungkin akan terkejut. Hasbiya melonjak kaget mendengar penuturan Arvi yang tak berpikir panjang. Perempuan itu bangkit dari duduknya. "Apa?!? Menikah.." Jerit Hasbiya. "Ya.. menikah." Arvi berucap dengan tenang. "Tuan, Apa yang ada dalam otak anda. Suami saya baru saja meninggal seminggu yang lalu. Rasanya tidak mungkin untuk menikah dengan pria lain. Apalagi, Saya baru mengenal anda." Ucap Hasbiya berburu dengan satu nafasnya. Setelah berkata, Hasbiya menghembus nafas panjang. Merasa dadanya mengebu-ngebu menahan amarahnya. "Tidak masalah, aku bisa menunggu." Merasa direndahkan Hasbiya memutuskan segera pergi. "Maaf, tuan. Sepertinya.. Anda salah faham. Saya tidak seperti wanita yang dipikirkan anda." Tampik Hasbiya. "Sebaiknya aku pergi dari sini. Permisi." Pamit Hasbiya dengan kesal keluar dari ruangan itu. "Hasbiya tunggu." Panggil Arvi. Namun Hasbiya tidak menggubris sama sekali. Ia tetap melangkah pergi dari tempat itu. "Dia pikir, jangan mentang dia Bos. Bisa menikahiku. Memang siapa dia." Gerutu kesal Hasbiya sendiri. "Hasbiya." Pekik Arvi mengejar Hasbiya yang berjalan laju. "Hasbiya, dengarkan aku dulu." Ucap Arvi mencekat tangan Hasbiya yang berada di lift. "Kalian semua pergi dari sini." Perintah Arvi pada karyawan yang berada di lift itu. Semuanya pergi meninggalkan kedua orang ini. "Anda pikir mentang-mentang saya orang miskin, anda bisa seenaknya." Jengkel Hasbiya menatap penuh kemarahan pada Arvi. "Bukan itu maksudku." "Lalu..?!?" "Hasbiya, aku ingin menikahimu. Tidak dengan menganggapmu seperti wanita diluar sana. Kau baik, memiliki sopan santun. Lihat saja sekarang dalam keadaan marah, kau tetap bersikap baik tidak seperti..." Arvi tidak melanjutkan nama yang ingin disebutnya. Tentunya.. nama istrinya Lintang yang tersirat. Ya, Lintang memang hampir setiap hari berdebat dengannya. Hingga membuat pria itu berpikir ingin mencari wanita lain agar Lintang dapat menghargainya sebagai suami. "Maaf, tuan. Aku tidak bisa." Ketus Hasbiya. Arvi pun tampak harus menyerah. "Baik.. aku tidak akan memaksamu." lunak Arvi. Hasbiya pun bisa bernafas lega. "Kau yakin, tuan." "Ya.. kau hanya bekerja sebagai sekretarisku, tidak lebih." Titah Arvi. Setelah lift terbuka lebar, Hasbiya pergi meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan Arvi ia kembali keruangannya. Ia tak mungkin menyerah begitu saja, dia akan memastikan Hasbiya menikah dengannya. Walau harus berjuang mendapatkan janda berhijab cantik itu. Sepanjang jalan Hasbiya merutuki dirinya masih dalam keadaan bingung, kenapa Arvi bisa ingin menikah dengannya. Seharus pria tampan dan kaya sepertinya mencari wanita lebih dari Hasbiya, Cantik dan sexy misalnya. Sedangkan dirinya hanya wanita sederhana dari kampung. "Ya Allah.. Kenapa harus bertemu pria aneh itu." Hasbiya mengelitik tubuhnya seakan yang bergetar jijik. Pikirnya tiba-tiba melayang pada hutang suaminya yang begitu banyak. Wanita sungguh tidak ingin menikah dengan pria tua, lebih baik menikah dengan Arvi yang tampan daripada Pak Theo. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD