Berprasangka Baik

803 Words
Suara Meresahkan di Kamar Tamu Bab 3 : Berprasangka Baik "Ma, udah selesai belum masaknya? Arka udah lapar .... " Belum sempat Syilvina menjawab pertanyaanku, putra keduaku sudah muncul di hadapan kami sambil mengelus perutnya. "Udah, ayo kita makan malam sama-sama! Kamu sama papa duluan duduk di depan makan, Mama mau manggil Kakak dan adikmu juga Om Riko," ujar istriku sambil melangkah keluar dari dapur. Aku dan Arka duluan duduk di depan meja makan sambil menunggu yang lainnya, namun seribu tanya mulai membebani pikiran ini. Aku masih penasaran dengan kata "beb" yang diucapkan Syilvina, istriku yang cantik dengan body aduhai walau sudah melahirkan tiga anak kami. Ah, pikiran jahat semakin merasuki kepala ini. "Ayo, makan, Bang!" Suara Syilvina mengagetkanku, ternyata semua orang sudah berada di depan meja makan. Tiga anak-anakku, adikku juga istriku. Aku menghela napas berat dan menoleh ke piring yang ternyata sudah lengkap dengan nasi dan lauk. Entah kapan Syilvina mengambilkannya, aku tak sadar. Ternyata aku melamun begitu lama. Oh Tuhan, aku kenapa? Kuusap wajah ini dan berusaha menetralkan hati, membuang semua pikiran jahat dan berpikir positif. Makan malam berlangsung begitu cepat, Riko yang paling cepat selesai dan langsung pamit ke kamarnya. Disusul oleh Arka dan Arsha. Kini hanya tinggal Syilvina yang masih menyuapi Arshi, juga aku yang mendadak begitu susah menghabiskan nasi ini. Aku lapar, tapi tak berselera untuk makan, padahal hidangan di meja ini makanan kesukaanku semuanya. Ada semur ati sapi, cumi krispi dan capcay serta gorengan tapi aku tak bisa menikmati makanan enak ini. Entah apa yang sedang terjadi kepadaku sekarang? "Bang, kok nggak dihabisin makannya?" tanya Syilvina saat aku mendorong piring dan meraih gelas air putih. "Abang udah kenyang," jawabku sambil bangkit dari depan meja makan. "Aci juga udah enyang, Ma," rengek Arshi sambil mengulurkan tangan kepadaku, minta digendong. Kuraih Arshi ke dalam gendongan. Syilvina langsung membereskan piring kotor. "Sayang, malam ini 'abcdefg' ya!" bisikku di telinganya. "Cepat beres-beresnya, abis itu bobokin Arshi." Kukedipkan sebelah mata padanya, mungkin aku begini karena efek udah lama nggak ambil jatah. Iya, mungkin karena hal itu sebab kekurangan vitamin cinta bisa membuat otak error. Pasti hal inilah yang membuatku aneh sekarang. 'Abcdefg' itu adalah kode nganu, hmm ... Es cendol, es campur, berhubungan dengan es batu, eh hubungan suami-istri maksudnya. Sudah tiga minggu aku belum ambil jatah, sebab pas pulang ke rumah, Syilvina selalu sudah tepar. Aku selalu tak tega untuk membangunkannya hanya untuk sekedar ambil jatah, jadi mau tak mau, hasrat selalu dibendung. Syilvina hanya mengangguk dan melempar senyum tipis namun terlihat tidak tulus. Ah, apa-apaan sih aku? Sudahlah, sebaiknya kembali berpikir positif. Berprasangka buruk hanya akan merusak hati dan rumah tangga. Hubungan kami baik-baik saja dan akan terus seperti ini. Kami keluarga bahagia dan sangat jarang bertengkar. Kuantar Arshi ke kamar Arsha, sudah beberapa bulan ini mereka putri bungsuku itu tak tidur bersama kami lagi. "Mimik, Pa," rengek Arshi saat dia kubaringkan di tempat tidur. "Kak, bikinan adek mimik gih!" perintahku kepada Arsha yang saat itu masih sibuk bermain ponsel. "Oke, Pa," jawab putri tertuaku itu sambil beranjak turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. *** Menidurkan Arshi ternyata sangat gampang, pas dikasih botol s**u, dia langsung merem. Arsha juga sudah menyimpan ponselnya lalu menarik selimut untuk mereka. "Selamat tidur, Sayang." Kucium bergantian dahi dua putriku itu sebelum meninggalkan kamar dengan nuansa serba pink dan gambar hello kitty itu. Aku melangkah menuju kamar lalu membuka pintunya dan mencari keberadaan Syilvina, ternyata dia belum masuk ke kamar juga. Ah, akan kubantu dia beres-beres di dapur kalau begitu, kasihan dia. Akan tetapi, baru saja aku hendak keluar dari kamar, Syilvina malah sudah berada di depan pintu. "Eh, udah selesai rupanya. Baru juga Abang mau bantuin kamu beres-beres di dapur," sambutku sambil menggandengnya masuk. Segera kukunci pintu kamar dan mendekati Syilvina. Dia terlihat berkeringat. Kasihan dia, tumpukan piring kotor pasti membuatnya kelelahan. Kuusap keringat di dahinya, lalu tersenyum. Raut wajah istriku malah terlihat tak nyaman. Oh, dia pasti capek tapi aku juga lagi pengen ini. "Sayang, kamu capek, ya?" Kupeluk tubuh idealnya, tak kurus dan tak juga gemuk. Bodynya masih ala gitar spayol. "Nggak kok, Bang. Ayo, deh!" jawab Syilvina sambil melepas pakaiannya. Ah, tanpa menunggu lama lagi, langsung kuterkam dia. Pemanasan dulu, biar semakin membahana. Aku mengerutkan dahi, barang pusaka Syilvina tak seperti biasanya, begitu mudah untuk diterjang. Biasanya kalau sudah tiga minggu itu, akan terasa seperti pengantin baru. Hmm ... Tak hanya itu, di leher Syilvina juga terlihat beberapa tanda warna merah, padahal baru saja aku hendak membuatkannya tanda itu. "Sayang, leher kamu kenapa ini ada yang merah-merah?" tanyaku penasaran. "Eh, iyakah, Bang? Mungkin digigit nyamuk," jawab Syilvina gugup. Dasar aku, sejak tadi selalu saja berpikiran negatif. Radit, berhentilah berprasangka buruk kepada istrimu yang begitu baik! Dia sudah mengurus rumah juga tiga anakmu, berdosa kamu jika menuduhkan hal yang bukan-bukan tanpa sebuah bukti. Aku menasehati diri sendiri. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD